Hari Rabu siang awal bulan Oktober ini, usai shalat Dzuhur, saya diajak teman mengunjungi LP.Sukamiskin. Â Ada sahabat yang ingin ditengoknya. Kata orang bijak, sahabat sejati adalah sahabat bukan hanya saat suka, tetapi juga saat berduka. Siapa sih, yang pernah punya keinginan jadi penghuni Lapas? Mimpi pun tidak mau. Menjadi pesakitan memang menyakitkan.Â
Tetapi penjara, bisa membuat orang menjadi lebih bijak. Penghuni LP, hanya bersalah menurut kaca mata hakim. Â Dari kacamata sejarah belum tentu. Bisa benar-benar salah. Bisa juga benar-benar tidak bersalah. Cipto, Ki Hadjar, Bung Karno, Hatta, Hamka, bahkan Imam Hambali dan Imam Syafii, pernah menjadi penghuni penjara. Juga Nabi Yusuf.
Ketika mobil masuk pintu gerbang, halaman parkir sudah penuh. Maklum, jam kunjungan. Di gardu monyet yang letaknya cukup tinggi dekat pintu gerbang masuk, tampak sebuah sosok dengan cermat mengawasi mobil-mobil yang masuk. Â Sekilas penampilannya seram juga. Pakai topi koboi warna hitam, kaca mata hitam, pakaian atasan juga hitam. Snipper? Â Bisa jadi. Yang saya ingat hanya mulutnya yang tak pernah mengumbar senyum dengan wajah dingin.
"Harus daftar lebih dulu, Gan," jelas tukang parkir dalam lidah Sunda kental, sambil menunjuk sebuah ruangan kira-kira berjarak 70 meter dari tempat parkir samping kiri bangunan Lapas yang menjulang tinggi. Gan, maksudnya Juragan, sebutan penghormatan yang artinya sama dengan Tuan. Dia mungkin orang pertama yang mau tersenyum kepada pengunjung dan melayani pengunjung tanpa mata curiga. Sejak KPK berhasil membongkar gratifikasi Kepala LP Sukamiskin beberapa waktu lalu, standar penerimaan kunjungan tamu LP tampaknya mulai diperketat.
Sebagai warga Bandung, tentu saja saya beberapa kali melewati LP.Sukamiskin. Tetapi  belum pernah melakukan kunjungan ke dalam. Saya mengenal LP.Sukamiskin hanya lewat buku sejarah. Cyndi Adam dalam bukunya, "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat," banyak menceriterakan suka duka Bung Karno saat menjadi penghuni LP.Sukamskin.Â
Pada tanggal 18 Agutus 1930 Bung Karno sebagai tahanan politik Pemerintah Kolonial, mengucapkan pidato pembelaannya yang monumental, "Indonesia Menggugat." Bayangan Bung Karno sedang pidato dengan gayanya yang memukau, masuk ke dalam kepala saya.
"Kami mengetahui bahwa kemerdekaan itu memerlukan waktu untuk mencapainya. Kami mengetahui bahwa kemerdekaan itu tidak akan tercapai dalam satu dua helaan nafas saja. Akan tetapi kami masih saja dituduh, 'menyusun suatu komplotan untuk mengadakan suatu revolusi berdarah dan terbuka agar kami dapat merebut kemerdekaan di tahun 1930?' ucap Bung Karno sebagaimana diceriterakan kepada wartawan Amerika, Cindy Adam.
"Jika tuduhan itu memang benar, penggeledahan masal yang dilakukan di rumah-rumah kami mestinya akan membuktikan adanya persembunyian senjata-senjata gelap. Tapi, bahkan sebilah pisau pun tak pernah ditemukan!" kata Bung Karno membela diri terhadap tuduhan Majelis Hakim bahwa dirinya akan menggulingkan pemerintahan yang sah.
"Golok. Bom. Dinamit! Keterlaluan! Seperti tidak ada senjata yang lebih tajam dari pada golok, bom, dan dinamit itu. Semangat perjuangan rakyat yang berkobar-kobar akan dapat mengancurkan manusia lebih cepat dari pada ribuan armada perang yang dipersenjatai dengan lengkap. Suatu Negara dapat berdiri tanpa tank dan meriam. Akan tetapi suatu Negara tak akan dapat berdiri tanpa kepercayaan.
Ya, kepercayaan! Itulah yang kami punya. Itulah senjata rahasia kami!" kata Bung Karno yang berhasil membuktikan bahwa tuduhan menggulingkan Pemerintah Hindia Belanda melalui revolusi fisik, sama sekali tidak terbukti.
Tapi Bung Karno tetap dihukum 4 tahun potong masa tahanan. Bung Karno harus mendekam dalam salah satu sel di LP.Sukamiskin. Tetapi pidato pembelaannya yang berjudul Indonesia Menggugat, segera tersebar ke seluruh Eropa dan dunia. Pembelaannya diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Tentu saja nama Penjara Sukamiskin, ikut go internasional.Â
Istri tercinta Bung Karno, Inggit kembali harus bersabar untuk selalu menjenguk Bung Karno di penjara Sukamiskin. Penjara yang lokasinya dari tempat tinggalnya, lebih jauh dari penjara sebelumnya, penjara Banceuy yang berada di pusat Kota Bandung.
***
Musim kemarau masih mendera Kota Bandung. Di ruang pendaftaran sedang menunggu sekitar 22 orang. Sebelumnya tentu sudah banyak tamu gelombang pertama yang daftar dan sudah dapat surat ijin masuk.
Tamu wajib mengambil nomor antrian di sebuah meja yang di jaga dua orang petugas. Deretan kursi tunggu rapih berjajar dalam ruangan hampir seluas satu setengah klas anak-anak SMA, menghadap sebuah bar yang ditunggu petugas lengkap dengan komputer, printer, alat sidik jari, dan alat foto elektronik dengan mata lensa sedikit lebih kecil dari bola mata.Â
Di kanan dan kiri bar berdiri gambar petugas LP berseragam lengkap sedang tersenyum. Gambar petugas laki-laki di kiri bar, tertulis kata-kata ucapan selamat dalam bahasa Sunda, Wilujeng Sumping, artinya, Selamat Datang. Gambar petugas wanita di kanan bar, tertulis kata-kata, Hatur Nuhun, artinya, Terima Kasih. Pada dinding ruangan yang menghadap pintu masuk, tercantum papan pemberitahuan tata tertib berkunjung, hari kunjungan, jam kunjungan, pakaian pengunjung, dan larangan mengambil gambar.Â
Kemudian sebuah tulisan pada papan terpisah,"Pengunjung tidak di pungut bayaran." Kesan saya, ruang pendaftaran jauh dari kesan angker, dengan para petugas yang telah terlatih untuk melayani tamu dengan ramah.
'Nomor dua puluh tiga!" terdengar nomor urut dipanggil dari mimbar petugas. Teman saya berdiri, maju ke depan. "Siapa yang akan dikunjungi? Keluarga?" tanya petugas. Teman saya menjawab, "Bukan, hanya sahabat," jawab teman saya sambil menyebutkan sebuah nama. Petugas pun tersenyum, "Sudah banyak sahabat yang mengunjungi beliau hari ini. Tadi pagi ada beberapa rombongan. Bapak berapa orang?" tanya petugas lagi."Hanya dua orang, itu teman saya," jawab teman saya sambil menunjuk saya yang masih duduk di kursi tunggu.
"Bapak di foto dulu dan diambil sidik jarinya, ya," kata petugas tadi, setelah menjelaskan bahwa cukup ketua rombongan saja yang difoto dan diambil sidik jarinya. Kurang dari lima menit, pengambilan foto, sidik jari, dan input data KTP ke dalam komputer selesai. Lalu print out. Ijin kunjungan pada kertas putih setengah halam kuarto, lengkap dengan data dari KTP, foto berwarna sahabat yang akan dijenguk, dan foto teman saya, sudah diserahkan oleh petugas. Kami pun buru-buru keluar ruangan setelah mengucapkan hatur nuhun.
Kami masih harus berjalan sekitar 100 meter untuk sampai di depan pintu utama masuk ke dalam bangunan utama lapas. Saya baru menyadari, ternyata hampir semua tiang-tiang penyangga bangunan diberi cat warna merah, sedang dindingnya warna kelabu sampai kusam. Secara keseluruhan, seperti bangunan kampus dengan tiang-tiang  kokoh.Â
Tak sengaja, terbaca di sebuah dinding sebelah kiri jalan yang saya lewati, sebuah prasasti yang saya baca sambil lalu. Isinya penjelasan, bahwa Penjara Sukamiskin yang kini bernama Lembaga Pemasyarakatan Khusus Dewasa Muda Sukamiskin Bandung itu dibangun pada tahun 1917, dengan gaya arsitektur Eropa dirancang oleh Prof CP Wolff Scjoemaker. Wah, sudah satu abad lebih ya? Â
Sebuah pintu baja bercat merah mirip cat klenteng yang selalu tertutup, berdiri membisu. Melalui sebuah lubang, teman kami mengintip ke dalam, dan bersitatapan dengan sepasang mata lain dari balik pintu besi yang kami tidak ketahui sosoknya. Setelah teman saya menunjukkan ijin kunjungan melalui lubang berbentuk kotak itu, terdengar pintu besi yang dari tadi membisu, terbuka pelan-pelan. Kami cepat menyelinap masuk, sebelum pintu tertutup kembali.
Kami disuruh belok kanan oleh petugas penjaga pintu besi. Di sebuah ruangan sebelah kanan pintu masuk, kami diminta menyerahkan KTP, dan ditukar dengan nomor kunjungan yang dilaminating lengkap dengan pita penggantung, yang harus kami kalungkan di leher, sehingga nomor kunjungan menggantung di dada. Saya lihat nomor kunjungan saya, nomor 754 dan nomor teman saya 753.
Selesai mendapat nomor pengunjung, kami diarahkan petugas masuk ruangan di kiri pintu masuk, dan sampailah di meja yang ditunggu tiga orang petugas, dua wanita, satu laki-laki. Kami diminta menyerahkan HP. Terpaksa dua HP, satu milik saya, satunya milik teman saya, dengan berat hati kami serahkan.Â
Petugas memberi kami sebagai tanda terima kartu kecil warna merah berisi nomor 35, untuk digunakan mengambil HP saat akan pulang. Petugas wanita dengan hati-hati memasukkan kedua HP itu ke dalam amplop, dan menaruhnya dikotak penyimpanan sesuai dengan nomor tanda terima.
Petugas laki-laki lain lagi, mengarahkan kami masuk pintu yang masih di ruangan penitipan HP. Kami pun tiba lagi di sebuah ruangan, langsung berhadapan dengan tiga petugas. Salah satu petugas, menyuruh kami angkat tangan, kemudian kami diperiksa bagian saku baju atas, pinggang, baju bawah, dan saku belakang. Yang dicari bukan dompet.Â
Tapi senjata tajam. Setelah lolos pemeriksaan, kami diarahkan masuk ke sebuah ruang semacam aula darurat. Di situ sudah banyak pengunjung yang duduk di atas kursi menghadap meja panjang, masing-masing bergerombol sendiri-sendiri dan terpisah-pisah.Â
Teman kami menghubungi petugas. Petugas menunjukan sebuah meja panjang di sudut timur, sudah di keliling sekitar 15 orang yang punya maksud sama, yaitu menjenguk sahabat yang akan kami tengok. "Itu Ibunya," kata petugas mengarahkan kami agar bergabung dengan mereka. Yang dimaksud Ibunya, oleh petugas  adalah istri tokoh yang akan kami jenguk. Tokoh itu adalah Pak Dada Rosada, Mantan Wali Kota Bandung dua periode, yang tersandung kasus hukum dan menjadi penghuni LP Sukamiskin.
Istri Pak Dada yang mengenakan jilbab dan pakaian hitam-hitam, menyambut kehadiran kami dengan senyuman. Pembantunya dengan sigap mencarikan tempat duduk untuk kami berdua, bergabung dengan sahabat-sahabat Pak Dada yang lain. Kami pun segera akrab, sambil menunggu Pak Dada yang sedang melaksanakan shalat Dzuhur.Â
Ibu Dada dibantu pembantunya seorang laki-laki, segera sibuk menyiapkan minuman aqua dan makanan kecil. Ada kueh bronis, pisang bakar, pisang rebus, rebusan ketela, dan makan kaya serat lainnya khas kampung Ciparay, kampung Pak Dada. Selain aqua, ada teh poci dari tegal dengan pemanis gula batu, lengkap dengan potongan ceruk nipis dan cangkir-cangkirnya yang kecil-kecil.
Komunitas Pak Dada tersebar luas. Maklum, mantan orang kuat Kota Bandung yang difavoritkan menjadi Jabar-1, jika tidak tersandung kasus. Komunitas Sahabat Pak Dada yang menengok siang itu, bukan hanya datang dari Bandung. Ada juga yang dari Jakarta, bahkan dari Pematangsiantar. Masing-masing punya kepentingan sendiri-sendiri.Â
Ada yang cuma ingin menengok kesehatan beliau. Tapi ada juga yang sedikit serius menenteng map. Tentu bermaksud meminta rekomendasi dan  restu dengan memanfaatkan jaringan Pak Dada yang cukup luas.
Bagi saya, Pak Dada tokoh yang baik, peduli pada kaum guru, sehingga beliau menjadi favorit para guru. Lebih-lebih para guru honorer. Pada saat menjabat Wali Kota Bandung, bukan hanya dana hibah dari pusat yang diterima para guru honorer. Tetapi Pak Dada juga berani mengeluarkan kebijakan daerah menyantuni guru honorer. Tidak besar sih. Hanya Rp.150 ribu/bulan. Tapi bagi rekan-rekan guru honorer, lumayan juga, karena dibayarkan setiap tahun. Tunjangan itu pun terus ditingkatkan tiap tahun anggaran.
Memang dalam mengatur taman, kalah dengan Ridwan Kamil yang seorang arsitek. Tapi kaum guru, lebih-lebih guru honorer merasa mendapat perhatian yang wajar. Pada masa awal Ridwan Kamil menduduki Wali Kota, menggantikan Pak Dada. Alih-alih meneruskan program Pak Dada memperhatikan nasib kaum guru, Ridwal Kamil malah mewacanakan penghapusan tunjangan guru honorer, baik dari pemda maupun hibah dari pusat.Â
Baru setelah para guru honorer turun ke jalan dan berdialog dengan Ridwan Kamil, wacana penghapusan tunjangan guru honorer tidak dilanjutkan. Hibah dari pusat tetap, sekalipun diterima guru sangat terlambat. Tapi yang tunjangan daerah dihapus. Akhirnya usia guru honorer penerima hibah, yang pada jaman Pak Dada tidak pernah ada pembatasan. Pada masa Ridwan Kamil, mulai dibatasi hanya sampai usia pensiun saja, sama dengan PNS.
***
Hanya seminggu tiga kali, Ibu menengok Bapak," jawab Ibu Dada ketika saya tanya apakah setiap hari menjenguk suaminya. Diam-diam saya mengagumi kesetiaan Ibu Dada yang tak kenal lelah dan terus-menerus mendampingi Pak Dada, terutama melayani tamu-tamu Pak Dada yang tidak putus-putusnya berdatangan menjenguk Pak Dada.
Akhirnya, dengan mengenakan kaos krah putih dengan corak hiasan warna hitam, celana hitam, tak melepas kaca mata yang dipakainya, dengan menyungging senyum, Pak Dada, menemui kami yang sudah beberapa saat menunggu. Kami pun berpelukan, sambil mendoakan kesehatan beliau. Dan dia menjawab dengan senyum, "Terima kasih." Menurut saya, wajah, profil, senyuman, dan penampilan Pak Dada tidak banyak berupah, seperti saat masih menjabat jadi orang nomor satu Kota Bandung.
Tidak seperti teman saya yang pernah menjadi anggota tim sukses ketika Pak Dada maju sebagai Calon Walikota Bandung untuk periode yang ke dua kalinya. Saya mengenal Pak Dada hanya sepintas-pintas saja. Misalnya, di Masjid Mujahidin. Usai shalat Jum'at, ada pengajiaan dari sejumlah tokoh yang diundang. Salah satu tokoh itu, adalah Walikota Bandung, Pak Dada Rosada. Juga saat beliau menghadiri Reuni Alumni Tamansiswa Bandung.
Waktu berkunjung yang tinggal 60 menit cepat berlalu. Terdengar suara bell, penanda waktu berunjung sudah habis. Tahu saya sering ke Masjid Mujahidin, saya diminta teman saya dan Pak Dada untuk mimpin doa bersama. Saya menolak, karena ada yang lebih senior, yaitu Pak Ustad Ahmad Jauhari, pegawai tinggi  Depag Pusat. Ternyata beliau mempersilahkan saya untuk mimpin doa. Akhirnya saya pimpin doa. Saya doakan agar Pak Dada tabah, panjang usia, sehat, sabar, dan istiqomah selalu.
Kami kembali saling berpelukan sebelum berpisah. Juga berpamitan pada Ibu Dada. Melihat Ibu Dada dan Pak Dada, tiba-tiba  ingatan saya melayang ke masa lalu. Masa ketika Ibu Inggit, seperti juga Ibu Dada, dengan  setia secara rutin  menjenguk dan mendampingi Bung Karno saat berada di Penjara Sukamiskin. Benar, seperti kata BJ.Habibie, di balik lelaki yang tabah dan tahan uji dalam setuasi seperti apa pun, selalu ada seorang wanita perkasa.Â
Dialah Sang Istri Sejati, Pendamping Setia Suami. Saya kira Ibu Dada dan Ibu Inggit, adalah profil wanita sejati. Dengan ringan, saya dan teman saya, meninggalkan pintu gerbang LP.Sukamiskin, dalam tatapan dingin lelaki berkaca mata hitam di gardu jaga.[15-10-2018]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H