Kami disuruh belok kanan oleh petugas penjaga pintu besi. Di sebuah ruangan sebelah kanan pintu masuk, kami diminta menyerahkan KTP, dan ditukar dengan nomor kunjungan yang dilaminating lengkap dengan pita penggantung, yang harus kami kalungkan di leher, sehingga nomor kunjungan menggantung di dada. Saya lihat nomor kunjungan saya, nomor 754 dan nomor teman saya 753.
Selesai mendapat nomor pengunjung, kami diarahkan petugas masuk ruangan di kiri pintu masuk, dan sampailah di meja yang ditunggu tiga orang petugas, dua wanita, satu laki-laki. Kami diminta menyerahkan HP. Terpaksa dua HP, satu milik saya, satunya milik teman saya, dengan berat hati kami serahkan.Â
Petugas memberi kami sebagai tanda terima kartu kecil warna merah berisi nomor 35, untuk digunakan mengambil HP saat akan pulang. Petugas wanita dengan hati-hati memasukkan kedua HP itu ke dalam amplop, dan menaruhnya dikotak penyimpanan sesuai dengan nomor tanda terima.
Petugas laki-laki lain lagi, mengarahkan kami masuk pintu yang masih di ruangan penitipan HP. Kami pun tiba lagi di sebuah ruangan, langsung berhadapan dengan tiga petugas. Salah satu petugas, menyuruh kami angkat tangan, kemudian kami diperiksa bagian saku baju atas, pinggang, baju bawah, dan saku belakang. Yang dicari bukan dompet.Â
Tapi senjata tajam. Setelah lolos pemeriksaan, kami diarahkan masuk ke sebuah ruang semacam aula darurat. Di situ sudah banyak pengunjung yang duduk di atas kursi menghadap meja panjang, masing-masing bergerombol sendiri-sendiri dan terpisah-pisah.Â
Teman kami menghubungi petugas. Petugas menunjukan sebuah meja panjang di sudut timur, sudah di keliling sekitar 15 orang yang punya maksud sama, yaitu menjenguk sahabat yang akan kami tengok. "Itu Ibunya," kata petugas mengarahkan kami agar bergabung dengan mereka. Yang dimaksud Ibunya, oleh petugas  adalah istri tokoh yang akan kami jenguk. Tokoh itu adalah Pak Dada Rosada, Mantan Wali Kota Bandung dua periode, yang tersandung kasus hukum dan menjadi penghuni LP Sukamiskin.
Istri Pak Dada yang mengenakan jilbab dan pakaian hitam-hitam, menyambut kehadiran kami dengan senyuman. Pembantunya dengan sigap mencarikan tempat duduk untuk kami berdua, bergabung dengan sahabat-sahabat Pak Dada yang lain. Kami pun segera akrab, sambil menunggu Pak Dada yang sedang melaksanakan shalat Dzuhur.Â
Ibu Dada dibantu pembantunya seorang laki-laki, segera sibuk menyiapkan minuman aqua dan makanan kecil. Ada kueh bronis, pisang bakar, pisang rebus, rebusan ketela, dan makan kaya serat lainnya khas kampung Ciparay, kampung Pak Dada. Selain aqua, ada teh poci dari tegal dengan pemanis gula batu, lengkap dengan potongan ceruk nipis dan cangkir-cangkirnya yang kecil-kecil.
Komunitas Pak Dada tersebar luas. Maklum, mantan orang kuat Kota Bandung yang difavoritkan menjadi Jabar-1, jika tidak tersandung kasus. Komunitas Sahabat Pak Dada yang menengok siang itu, bukan hanya datang dari Bandung. Ada juga yang dari Jakarta, bahkan dari Pematangsiantar. Masing-masing punya kepentingan sendiri-sendiri.Â
Ada yang cuma ingin menengok kesehatan beliau. Tapi ada juga yang sedikit serius menenteng map. Tentu bermaksud meminta rekomendasi dan  restu dengan memanfaatkan jaringan Pak Dada yang cukup luas.
Bagi saya, Pak Dada tokoh yang baik, peduli pada kaum guru, sehingga beliau menjadi favorit para guru. Lebih-lebih para guru honorer. Pada saat menjabat Wali Kota Bandung, bukan hanya dana hibah dari pusat yang diterima para guru honorer. Tetapi Pak Dada juga berani mengeluarkan kebijakan daerah menyantuni guru honorer. Tidak besar sih. Hanya Rp.150 ribu/bulan. Tapi bagi rekan-rekan guru honorer, lumayan juga, karena dibayarkan setiap tahun. Tunjangan itu pun terus ditingkatkan tiap tahun anggaran.