Mohon tunggu...
Anjar Firstandy Fadhlurrahman
Anjar Firstandy Fadhlurrahman Mohon Tunggu... Penulis - Law Student at Universitas Indonesia

Law Student

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Legal Opinion Kasus Pengambilalihan Sepihak Tanah HGB PT Dani Tasha Lestari di Atas Tanah HPL oleh BP Batam

1 Agustus 2022   06:42 Diperbarui: 1 Agustus 2022   06:45 5070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 A. Fakta Hukum

  • Bahwa PT Dani Tasha Lestari ("PT DTL") merupakan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia berdomisili di Kota Batam. PT DTL merupakan pemegang Hak Guna Bangunan ("HGB") diatas Tanah Hak Pengelolaan ("HPL") di Kota Batam seluas 10 Ha dan 20 Ha menjadi satu kesatuan dalam Perjanjian Pemberian HGB seluas 30 Ha. 
  • Bahwa Tanah HGB tersebut didapatkan atau dimiliki oleh PT DTL sejak 18 Juni 1993 dengan jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang kembali berdasarkan Pasal 5 Perjanjian No. 264/SPJ/KA-AT/XI/93 antara PT DTL dan Badan Pengusahaan Kota Batam ("BP Batam") selaku Otorita Batam dan pemegang HPL mengenai Pemberian HGB diatas HPL kepada PT DTL untuk pengusahaan kegiatan pariwisata. 
  • Bahwa diatas HGB tersebut, PT DTL telah membangun Hotel dan sarana pendukung untuk keperluan Pariwisata dengan nama Purajaya Beach Resort. 
  • Bahwa berdasarkan pernyataan BP Batam, sejak tahun 2014 Purajaya Beach Resort sudah tidak aktif lagi atau bangkrut sehingga tanah HGB milik PT DTL sudah tidak dimanfaatkan, ditelantarkan, dan tidak didayagunakan lagi sesuai dengan tujuannya yaitu untuk usaha atau kegiatan di bidang Pariwisata. Lebih lanjut, Kepala BP Batam, Djaka Susanto, memberikan bukti dari tangkapan layar Google-Maps yang menunjukkan lokasi dari objek sengketa (Tanah HGB) adalah rawa-rawa.
  • Bahwa karena itu, pada bulan Mei tahun 2020 terjadi sengketa pada tanah HGB tersebut di mana BP Batam mengambil alih secara sepihak atau membatalkan HGB PT DTL pada lahan seluas 20 Ha di Purajaya Beach Resort dan memasang Plang bahwa tanah HGB itu telah menjadi penguasaan BP Batam.[1] 
  • Bahwa tindakan BP Batam tersebut oleh PT DTL sebagai tindakan melawan hukum karena dilakukan tanpa mengikuti proses pencabutan HGB sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, PT DTL sebagai pemegang Sertipikat HGB ("SHGB") baru akan berakhir pada tahun 2023 dan masih bisa diperpanjang kembali. 
  • Bahwa PT DTL menyatakan pihaknya telah mendirikan bangunan sebagai pendukung kegiatan/usaha dari lahan HGB Pura Jaya Beach Resort seluas 100.056,752 m2. Oleh karena itu, PT DTL mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ("PMH") atas perbuatan BP Batam tersebut dengan nomor perkara 92/Pdt.G/2022/PN Btm yang saat ini masih dalam proses perkara. 
  • Dalil PT DTL menyatakan bahwa BP Batam telah melanggar Pasal 3 dan 4 Peraturan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam ("Perka BP Batam") No. 11 Tahun 2016 bahwa tata cara pencabutan alokasi lahan atau dalam pencabutan HGB tersebut, BP Batam seharusnya mengirimkan surat peringatan dahulu secara bertahap 1,2, dan 3 melalui surat pos tercatat serta dilakukan musyawarah dan kesepakatan Para Pihak. Bahwa tindakan ini tidak dilakukan BP Batam sama sekali. 
  • Pihak PT Dani Tasha Lestari ("PT DTL") menyatakan bahwa BP Batam dinilai telah melanggar tata cara pencabutan alokasi lahan dan mengambil lahan alih secara sepihak HGB yang dimiliki PT DTL. 
  • Bahwa PT DTL menyatakan perbuatan BP Batam tersebut telah melanggar ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor 11 tahun 2016. Bahwa tidak benar PT DTL telah menelantarkan tanah HGB yang dipegangnya karena di atas tanah tersebut ada bangunan Hotel Purajaya Beach Resort dan fasilitas penunjang, sarana, dan prasarananya. 
  • Bahwa SHGB PT DTL belum berakhir dan itu pun masih dapat diperpanjang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Perjanjian Pemberian HGB PT DTL dan BP Batam jo. Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria ("UUPA"). 
  • Untuk itu, PT DTL sudah mengajukan permohonan perpanjangan HGB namun permohonan tersebut ditolak oleh BP Batam. Bahwa dalam gugatan PT DTL pada PN Batam tersebut mengajukan tuntutan agar (1) Tindakan BP Batam terbukti PMH; (2) HGB yang dimilikinya dapat diperpanjang; (3) BP Batam memberikan ganti kerugian kepada PT DTL atas perbuatannya tersebut.

B. Pokok Permasalahan

  • Apa yang dimaksud dengan HPL dan HGB dan ruang lingkupnya serta kaitannya dengan kasus? 
  • Bagaimana konsep dan tata cara pembebanan HGB diatas HPL dan kaitannya dengan kasus? 
  • Apakah proses pencabutan HGB atas tanah HPL sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?

C. Analisis Hukum

  • Analisis Konsep HGB Dan HPL Dalam Ketentuan Pertanahan Di Kota Batam

Berdasarkan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, melahirkan Hak Menguasai Negara. Hak Menguasai Negara bersumber dari Hak Bangsa Indonesia sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. Bahwa HPL bersumber dari hak menguasai negara yang terjadi melalui permohonan pemberian hak atas tanah negara.[2] Dalam Pasal 2 ayat (3) huruf f UU 21/1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, HPL berarti hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagai dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagin dari tanah HPL kepada pihak ketiga atau bekerja sama dengan pihak ketiga. Dengan demikian, sederhananya, HPL adalah Hak Menguasai dari Negara yang sebagai kewenangannya dilimpahkan kepada pemegang HPL. Bagian-bagian tanah HPL inilah yang dapat dibebankan hak atas tanah lain di atasnya, salah satunya HGB. 

HGB sendiri merupakan Hak Individu atas tanah yang bersifat sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UUPA. Menurut Pasal 35 UUPA, HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan jangka waktu paling lama 20 tahun, serta dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pemberian HGB diatas HPL dilakukan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional ("BPN") yang berwenang, atas usul pemegang HPL yang bersangkutan. Bahwa dalam kasus, pihak-pihak pemegang hak atas tanah adalah sebagai berikut: 

  • 1. Pemegang HGB adalah PT DTL. 
  • 2. Pemegang HPL adalah BP Batam. 
  • 3. BPN adalah Kantor Pertanahan Kota Batam ("KP Batam").

Apabila jangka waktu dari HGB berakhir maka menurut Pasal 10 Permendagri 1/1977, tanah HGB tersebut harus kembali dalam penguasaan epenuhnya dari pemegang HPL. Berdasarkan fakta, tanah di kota Batam berdasarkan Kepres No. 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam, Presiden memberikan HPL langsung kepada sebuah Badan Otorita Pengelola yang dalam hal ini adalah BP Batam. Untuk itu, tanah di Kota Batam merupakan tanah HPL dengan BP Batam selaku pemegangnya. 

Selanjutnya, adapun kewenangan BP Batam selaku pemegang HPL diatur dalam Pasal 1 Permendagri 1/1977 yaitu untuk: 1) merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan; 2) menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya; 3) menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga yang ditentukan oleh pemegang HPL dengan meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu, dan kegunaannya serta dilakukan oleh pejabat berwenang. 

Merujuk pada peraturan di atas, maka BP Batam berwenang membuat dan menyusun suatu rencana tentang peruntukan dan penggunaan tanah HPL sehingga dapat terlaksana secara optimal dalam rangka untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan fakta, tanah 30 Ha di atas HPL tersebut ditujukan untuk kegiatan atau usaha pariwisata dan diserahkan kepada PT DTL selaku pihak ketiga dengan HGB untuk memenuhi tujuan tersebut dengan jangka waktu 30 tahun dari tahun 1993 hingga 2023. Bahwa pelaksanaan pemberian HGB diatas Tanah HPL telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibuktikan pada Perjanjian No.264/SPJ/KA-AT/XI/93 antara PT DTL dan BP Batam yang dilakukan disahkan oleh PPAT setempat melalui akta otentik dan diterbitkannya SK KP Batam tentang pemberian HGB tersebut, sehingga hal ini telah dilaksanakan secara terang dan tunai. 

PT DTL juga terbukti telah memiliki SHGB dan atas tanah HGB nya itu telah mendirikan Pura Jaya Beach Resort seluas 100.056,752 m2 untuk kegiatan pariwisata di Batam. Pada tahun 1998, PT DTL tercatat sebagai pembayar pajak terbesar di Kota Batam dengan man hal ini bersumber dari penghasilan Pura Jaya Beach Resort tersebut. Untuk itu, PT DTL telah memenuhi tujuan dari HGB yang ia haki dan memenuhi kewajiban dirinya untuk memberikan uang pemasukan kepada BP Batam selaku pemegang HPL. 

2. Analisis Pembebanan HGB Diatas HPL Pada Kasus Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Berlaku

Dasar hukum HGB diatur dalam Pasal 35 - 40, Pasal 50 jo. 52, dan Pasal 55 UUPA dan peraturan pelaksana lainnya. HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah negara atau milik orang lain, selama jangka waktu terbatas. Untuk mendapatkan HGB, terdapat persyaratan yang harus dipenuhi pemohon hak yaitu (a) berstatus Warga Negara Indonesia ("WNI"); atau (b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Lalu, terdapat kewajiban yang harus dipenuhi pemegang HGB yakni:[3] 

  • a. membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya; 
  • b. menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya; 
  • c. memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup 
  • d. menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGB kepada pemegang HPL sesudah HGB tersebut hapus; 
  • e. menyerahkan sertipikat HGB yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat.

Bahwa berkaitan dengan poin (d) pada penjelasan di atas, status tanah HGB dapat hapus karena: 

  • a. tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan Pasal 30, 31, dan 32; atau 
  • b. wanprestasi atas perjanjian pemberian HGB antara pemegang HGB dan pemegang HPL; atau c. putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan fakta pada kasus, terjadinya HGB adalah karena pembebanan diatas tanah HPL selama 30 tahun dari tahun 1993 sampai dengan 2023. Menurut Penulis, pemberian tersebut sesuai dengan hukum pertanahan di mana sudah terdapat perjanjian pemberian HGB antara PT DTL dan BP Batam, didaftarkannya tanah HGB pada Buku Pendaftaran Tanah, dan diterbitkan SHGB atas nama PT DTL oleh KP Batam. Untuk itu, perbuatan PT DTL telah memenuhi ketentuan dalam Permen Agraria 9/1999 terkait dengan permohonan hak dan pendaftaran hak atas tanah. Selanjutnya, Pemegang HGB juga telah sesuai dengan hukum yang berlaku di mana PT DTL merupakan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan Indonesia.

 Lalu, terkait dengan HPL, BP Batam merupakan Badan Otorita Batam yang berdasarkan kewenangan dekonsentrasi dari Negara atas pemberian Hak Menguasai Negara cakap untuk bertindak sebagai Pemegang HPL di Otorita Batam. Terakhir, terkait dengan kewajiban, berdasarkan fakta, PT DTL menyatakan telah melakukan pengusahaan tanah sesuai dengan tujuannya yaitu untuk usaha atau kegiatan pariwisata di Kota Batam. Terbukti, dengan didirikannya Purajaya Beach Resort beserta fasilitas penunjangnya dan melestarikan 30 Ha tanah HGB tersebut. 

3. Analisis Tindakan BP Batam Terhadap Pencabutan SHGB Milik PT DTL Pada Kasus

Semua tanah memiliki fungsi sosial.[4] Artinya, tanah tidak hanya digunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi dan harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat daripada haknya.[5] Untuk itu, PT DTL mengemban kewajiban untuk mengerjakan/mengusahakan sendiri tanah HGB secara aktif dan memelihara tanah HGB seluas 30 Ha tersebut (Pasal 15 UUPA). Apabila tanah HGB tersebut ditelantarkan dan tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya maka pemberian HGB diatas tanah HPL tersebut haruslah dicabut karena melanggar fungsi sosial dan peruntukan dari HGB serta sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian antara PT DTL dan BP Batam. Hal ini didasarkan pada Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 UUPA bahwa hak atas tanah hapus antara lain karena ditelantarkan. 

Oleh sebab itu, menurut Penulis, pada dasarnya pemberian hak atas tanah memang akan berakhir jika jangka waktu hak atas tanah bersangkutan telah berakhir. Dalam hal ini, seharusnya HGB baru dapat dicabut atau dialihkan menjadi penguasaan BP Batam pada tahun 2023. Namun, tetap saja, apabila dalam jangka waktu masih berlaku terdapat kesengajaan atau kelalaian dari pemegang hak atas tanahnya untuk mengusahakan, mengupayakan, dan memanfaatkan tanah tersebut sesuai fungsi dan tujuan yang diberikan, maka harus dilakukan pencabutan hak atas tanahnya. 

Merujuk pada fakta yaitu 'indikasi' BP Batam bahwa tidak dilakukan pengusahaan terhadap areal pada tanah HGB sejak tahun 2014 oleh PT DTL sehingga dapat diartikan telah terjadi wanprestasi terhadap perjanjian Pemberian HGB No. 264/SPJ/KA-AT/XI/93. Penelantaran tanah ini juga berimplikasi pada terhambatnya pencapaian tujuan pembangunan Kota Batam sebagai kawasan strategis industri. 

Terpenuhinya unsur tanah terlantar[6] adalah karena tanah HGB tersebut tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Karena itu, Kepala BP Batam melalui SK-nya pada tahun 2020 membatalkan HGB PT DTL dengan tujuan tanah yang terlantar tersebut dapat ditertibkan dan kemudian dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat dan negara. Berdasarkan Pasal 3 Perka BPN 4/2010 diatur tata cara atau tahapan penertiban tanah terlantar: 

  • Inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi terlantar. Adapun tahapannya yaitu melalui (a) pengumpulan data secara tekstual dan spasial mengenai tanah terlantar; (b) pengelompokan tanah yang terindikasi terlantar; (c) pengadiministratian data hasil inventarisasi untuk keperluan pelaporan, bahan analisis, dan penentuan tindakan selanjutnya; 
  • Identifikasi dan penelitian oleh Panitia C BPN; 
  • Peringatan terhadap pemegang hak. Pemberitahuan peringatan tertulis pertama agar pemegang hak bersangkutan mengusahakan, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya atau dasar penguasaannya. Apabila tidak melaksanakan peringatan pertama dalam waktu satu bulan Kepala KP memberikan peringatan tertulis kedua dan jika tidak dilaksanakan juga maka diberikan peringatan tertulis ketiga yang merupakan peringatan terakhir dengan jangka waktu yang sama;[7] dan
  • Penetapan tanah terlantar. Menurut Pasal 15 ayat (3) Perka a quo maka sanksi yang diberikan kepada pemegang hak adalah tanah hak atau dasar penguasaan atas tanahnya ditetapkan menjadi tanah terlantar, dihapus haknya, putus hubungan hukum dan tanahnya, dan kembali dikuasai oleh Negara. 

Bahwa Keempat tahapan tersebut harus dipahami sebagai syarat kumulatif dan berkelanjutan bukan suatu opsional. Selain itu, Perka BP Batam 11/2016 dalam Pasal 3 dan Pasal 4 juga mengatur mengenai pencabutan HGB ini yaitu harus adanya Peringatan ke-1, ke-2, dan ke-3 melalui surat pos diikuti dengan klarifikasi dan konfirmasi barulah HGB tersebut dapat dicabut. Oleh karena itu, dikaitkan dengan kasus, Penulis melihat bahwa ketentuan dalam Perka a quo tentang penertiban tanah terlantar tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh BP Batam terhadap penelantaran Tanah HGB oleh PT DTL. 

Dari keempat tahapan dan ketentuan di atas, penertiban tanah terlantar hanya dilakukan pada tahap inventarisasi. Terbukti, dari argumen BP Batam yang menyatakan dasar dari surat ketetapannya adalah hasil tangkapan Google-Maps terhadap obyek HGB dan tidak ada laporan yang berisi bahwa PT DTL telah melakukan penelantaran HGB secara spesifik alasan, jangka waktu, dan ketentuan pelanggaran yang telah dilakukan. Selain itu, BP Batam juga tidak memberikan surat peringatan secara bertahap melainkan langsung memasang plang tanah terlantar dan pencabutan HGB melalui SK Kepala BP Batam. 

Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa penelantaran HGB tersebut masih dalam tahap terindikasi bukan telah benar-benar terbukti ditelantarkan, tidak diusahakan, ataupun tidak digunakan oleh PT DTL dengan didasarkan pada laporan, data, dan konfirmasi ataupun tindakan lanjut atas Surat Peringatan yang diberikan. Sehingga, pencabutan HGB PT DTL oleh BP Batam adalah perbuatan melawan hukum. 

BP Batam sebagai institusi berwenang dengan segala perangkatnya semestinya bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari kasus ini, penulis berharap gugatan yang masih dalam proses persidangan sebagaimana diajukan oleh PT DTL seyogianya dapat diputuskan seadil-adilnya oleh majelis hakim PN Batam. Sebab, kawasan Purajaya Beach Resort merupakan aset berharga bagi pariwisata Kota Batam, keberadaanya mempunyai nilai ekonomis bagi tanah HPL Otorita Batam sehingga diperlukan pengembangan yang tepat. 

Dengan demikian, secara keseluruhan, proses pencabutan sepihak tanah HGB milik PT DTL oleh BP Batam tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan SK Kepala BP Batam tentang pencabutan HGB adalah perbuatan melawan hukum. Bagi PT DTL diharapkan dapat membuktikan secara jelas dan kuat bahwa tanah HGB tersebut masih diusahakan dan digunakan sesuai dengan peruntukannya, sehingga keputusan sepihak tersebut dapat dicabut dan terbuka kesempatan untuk perpanjangan HGB tersebut.

 

Referensi

[1] Surat Keputusan Kepala BP Batam No. 89 Tahun 2020 yang dikeluarkan BP Batam pembatalan pengalokasian dan penggunaan tanah atas bagian-bagian tertentu daripada tanah hak pengelolaan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam tertanggal 11 Mei 2020. 

[2] Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa HPL diatur secara implisit sebagai Hak Menguasai dari Negara. 

[3] Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah.

[4] Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

[5] Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

[6] Pasal 1 angka 5 dan 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. 

[7] Pasal 14 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar.

Buku

Anggraeny, Isdian dan Isdiyana Kusuma, Kepastian Hukum atas Hak Pengelolaan Tanah: Solusi atas Tidak Adanya Sinkronisasi Regulasi Bidang Pertanahan di Kota Batam. Banyumas: CV Amerta Media. 2020.

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Jakarta: Universitas Trisakti. 2013. 

 Jurnal

Syarief, Elza dan Agung Prayogo, "Analisis Yuridis Hak Erfpacht Verponding Hak Pengelolaan Lahan Kota Batam," Journal Of Law And Policy Transformation 3, no. 1 (2018). 

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. LN Tahun 1960 Nomor 104. TLN Nomor 2043.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961. UU Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya. LN Tahun 1961 Nomor 288. TLN Nomor 2324. 

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. PP Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah. LN Tahun 1996 Nomor 58. TLN Nomor 3543. 

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010. Perka BPN Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. 

Peraturan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor 11 Tahun 2016. Perka BP Batam Tata Cara Pembatalan Alokasi Lahan Dikarenakan Hal Tertentu dan Pengalokasian atas Lahan yang Dibatalkan.

Internet

Kepri.co.id, "PH Purajaya Minta Majelis Hakim Hadirkan Prinsipal Kepala BP Batam," https://kepri.co.id/26/04/2022/ph-purajaya-minta-majelis-hakim-hadirkan-prinsi pal-kepala-bp-batam/, Diakses pada 12 Mei 2022.

Paskalis RH, "Ambil Alih Hak Pengelolaan Lahan Secara Sepihak, PT Dani Tasha Lestari Gugat BP Batam dan BPN ke PN Batam," https://hmstimes.com/2022/ambil-alih-hak-pengelolaan-lahan-secara-sepihak-pt -dani-tasha-lestari-gugat-bp-batam-dan-bpn-ke-pn-batam/, Diakses pada 12 Mei 2022. 

Penajam, "Melawan Hukum, Pengusaha Gugat BP Batam," https://www.penajamnews.com/melawan-hukum-pengusaha-gugat-bp-batam/, Diakses pada 12 Mei 2022. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun