Mohon tunggu...
Anjar Firstandy Fadhlurrahman
Anjar Firstandy Fadhlurrahman Mohon Tunggu... Penulis - Law Student at Universitas Indonesia

Law Student

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Legal Opinion Kasus Pengambilalihan Sepihak Tanah HGB PT Dani Tasha Lestari di Atas Tanah HPL oleh BP Batam

1 Agustus 2022   06:42 Diperbarui: 1 Agustus 2022   06:45 5070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahwa berkaitan dengan poin (d) pada penjelasan di atas, status tanah HGB dapat hapus karena: 

  • a. tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan Pasal 30, 31, dan 32; atau 
  • b. wanprestasi atas perjanjian pemberian HGB antara pemegang HGB dan pemegang HPL; atau c. putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan fakta pada kasus, terjadinya HGB adalah karena pembebanan diatas tanah HPL selama 30 tahun dari tahun 1993 sampai dengan 2023. Menurut Penulis, pemberian tersebut sesuai dengan hukum pertanahan di mana sudah terdapat perjanjian pemberian HGB antara PT DTL dan BP Batam, didaftarkannya tanah HGB pada Buku Pendaftaran Tanah, dan diterbitkan SHGB atas nama PT DTL oleh KP Batam. Untuk itu, perbuatan PT DTL telah memenuhi ketentuan dalam Permen Agraria 9/1999 terkait dengan permohonan hak dan pendaftaran hak atas tanah. Selanjutnya, Pemegang HGB juga telah sesuai dengan hukum yang berlaku di mana PT DTL merupakan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan Indonesia.

 Lalu, terkait dengan HPL, BP Batam merupakan Badan Otorita Batam yang berdasarkan kewenangan dekonsentrasi dari Negara atas pemberian Hak Menguasai Negara cakap untuk bertindak sebagai Pemegang HPL di Otorita Batam. Terakhir, terkait dengan kewajiban, berdasarkan fakta, PT DTL menyatakan telah melakukan pengusahaan tanah sesuai dengan tujuannya yaitu untuk usaha atau kegiatan pariwisata di Kota Batam. Terbukti, dengan didirikannya Purajaya Beach Resort beserta fasilitas penunjangnya dan melestarikan 30 Ha tanah HGB tersebut. 

3. Analisis Tindakan BP Batam Terhadap Pencabutan SHGB Milik PT DTL Pada Kasus

Semua tanah memiliki fungsi sosial.[4] Artinya, tanah tidak hanya digunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi dan harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat daripada haknya.[5] Untuk itu, PT DTL mengemban kewajiban untuk mengerjakan/mengusahakan sendiri tanah HGB secara aktif dan memelihara tanah HGB seluas 30 Ha tersebut (Pasal 15 UUPA). Apabila tanah HGB tersebut ditelantarkan dan tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya maka pemberian HGB diatas tanah HPL tersebut haruslah dicabut karena melanggar fungsi sosial dan peruntukan dari HGB serta sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian antara PT DTL dan BP Batam. Hal ini didasarkan pada Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 UUPA bahwa hak atas tanah hapus antara lain karena ditelantarkan. 

Oleh sebab itu, menurut Penulis, pada dasarnya pemberian hak atas tanah memang akan berakhir jika jangka waktu hak atas tanah bersangkutan telah berakhir. Dalam hal ini, seharusnya HGB baru dapat dicabut atau dialihkan menjadi penguasaan BP Batam pada tahun 2023. Namun, tetap saja, apabila dalam jangka waktu masih berlaku terdapat kesengajaan atau kelalaian dari pemegang hak atas tanahnya untuk mengusahakan, mengupayakan, dan memanfaatkan tanah tersebut sesuai fungsi dan tujuan yang diberikan, maka harus dilakukan pencabutan hak atas tanahnya. 

Merujuk pada fakta yaitu 'indikasi' BP Batam bahwa tidak dilakukan pengusahaan terhadap areal pada tanah HGB sejak tahun 2014 oleh PT DTL sehingga dapat diartikan telah terjadi wanprestasi terhadap perjanjian Pemberian HGB No. 264/SPJ/KA-AT/XI/93. Penelantaran tanah ini juga berimplikasi pada terhambatnya pencapaian tujuan pembangunan Kota Batam sebagai kawasan strategis industri. 

Terpenuhinya unsur tanah terlantar[6] adalah karena tanah HGB tersebut tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Karena itu, Kepala BP Batam melalui SK-nya pada tahun 2020 membatalkan HGB PT DTL dengan tujuan tanah yang terlantar tersebut dapat ditertibkan dan kemudian dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat dan negara. Berdasarkan Pasal 3 Perka BPN 4/2010 diatur tata cara atau tahapan penertiban tanah terlantar: 

  • Inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi terlantar. Adapun tahapannya yaitu melalui (a) pengumpulan data secara tekstual dan spasial mengenai tanah terlantar; (b) pengelompokan tanah yang terindikasi terlantar; (c) pengadiministratian data hasil inventarisasi untuk keperluan pelaporan, bahan analisis, dan penentuan tindakan selanjutnya; 
  • Identifikasi dan penelitian oleh Panitia C BPN; 
  • Peringatan terhadap pemegang hak. Pemberitahuan peringatan tertulis pertama agar pemegang hak bersangkutan mengusahakan, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya atau dasar penguasaannya. Apabila tidak melaksanakan peringatan pertama dalam waktu satu bulan Kepala KP memberikan peringatan tertulis kedua dan jika tidak dilaksanakan juga maka diberikan peringatan tertulis ketiga yang merupakan peringatan terakhir dengan jangka waktu yang sama;[7] dan
  • Penetapan tanah terlantar. Menurut Pasal 15 ayat (3) Perka a quo maka sanksi yang diberikan kepada pemegang hak adalah tanah hak atau dasar penguasaan atas tanahnya ditetapkan menjadi tanah terlantar, dihapus haknya, putus hubungan hukum dan tanahnya, dan kembali dikuasai oleh Negara. 

Bahwa Keempat tahapan tersebut harus dipahami sebagai syarat kumulatif dan berkelanjutan bukan suatu opsional. Selain itu, Perka BP Batam 11/2016 dalam Pasal 3 dan Pasal 4 juga mengatur mengenai pencabutan HGB ini yaitu harus adanya Peringatan ke-1, ke-2, dan ke-3 melalui surat pos diikuti dengan klarifikasi dan konfirmasi barulah HGB tersebut dapat dicabut. Oleh karena itu, dikaitkan dengan kasus, Penulis melihat bahwa ketentuan dalam Perka a quo tentang penertiban tanah terlantar tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh BP Batam terhadap penelantaran Tanah HGB oleh PT DTL. 

Dari keempat tahapan dan ketentuan di atas, penertiban tanah terlantar hanya dilakukan pada tahap inventarisasi. Terbukti, dari argumen BP Batam yang menyatakan dasar dari surat ketetapannya adalah hasil tangkapan Google-Maps terhadap obyek HGB dan tidak ada laporan yang berisi bahwa PT DTL telah melakukan penelantaran HGB secara spesifik alasan, jangka waktu, dan ketentuan pelanggaran yang telah dilakukan. Selain itu, BP Batam juga tidak memberikan surat peringatan secara bertahap melainkan langsung memasang plang tanah terlantar dan pencabutan HGB melalui SK Kepala BP Batam. 

Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa penelantaran HGB tersebut masih dalam tahap terindikasi bukan telah benar-benar terbukti ditelantarkan, tidak diusahakan, ataupun tidak digunakan oleh PT DTL dengan didasarkan pada laporan, data, dan konfirmasi ataupun tindakan lanjut atas Surat Peringatan yang diberikan. Sehingga, pencabutan HGB PT DTL oleh BP Batam adalah perbuatan melawan hukum. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun