Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Bukti Baru Muncul tentang Genosida China terhadap Uighur

13 Maret 2021   08:22 Diperbarui: 13 Maret 2021   08:31 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang-orang Uighur menunjukkan foto-foto anggota keluarga mereka yang telah hilang atau sedang di dalam penjara dalam sebuah aksi protes melawan China di suatu kota di luar China. | Sumber: Amnesty International

Oleh Veeramalla Anjaiah

Ada sebuah negara bernama Turkistan Timur di Asia Tengah sebelum 1949. Lebih dari 75 persen populasinya adalah Muslim. Orang-orangnya disebut Uighur, yang berasal dari Turki. Negara ini secara geografis berbatasan dengan China, bekas Uni Soviet, Afghanistan, Pakistan dan India.

Baik Uni Soviet maupun China mengincar negara yang kaya akan sumber daya alam ini. Turkistan Timur merupakan negara besar dengan luas 1.66 juta kilometer persegi, sedikit lebih kecil dari luas Indonesia 1.99 juta kilometer persegi, dan terletak pada posisi yang strategis.

Saat ini, negara besar ini tidak muncul di peta mana pun. Apa yang terjadi?

Dalam upaya untuk mencegah Uni Soviet mengambil alih Turkistan Timur, Komunis China mencaplok Turkistan Timur pada tahun 1949 dan memasukkannya ke dalam Republik Rakyat China dengan nama Daerah Otonomi Uighur Xinjiang. Pada tahun 1950, China juga mencaplok negara lain bernama Tibet. Sebelumnya, China juga mencaplok Mongolia Luar pada tahun 1919. China mengungkapkan alasan untuk pencaplokannya bahwa negara-negara ini adalah bagian dari kekaisaran China di masa lalu.

China, yang diperintah oleh Partai Komunis China yang ateis, tidak menyukai Islam dan Uighur, yang bukan etnis China. China ateis ingin menghancurkan agama dan budaya Uighur. Mereka ingin mengubah Muslim Uighur menjadi komunis dan setia kepada China dan budaya China dengan kekerasan dan intimidasi.

Selama bertahun-tahun, China memindahkan jutaan orang suku Han, yang berasal dari kelompok etnis mayoritas di China, ke Xinjiang dengan tujuan menjadikan penduduk asli Uighur sebagai minoritas di tanah air mereka. China memaksa wanita Uighur menikah dengan pria Han. Pemerintah China memberlakukan sterilisasi paksa pada wanita Uighur untuk mengurangi populasi Uighur.

Pada tahun 1949, populasi Xinjiang terdiri dari 76 persen orang Uighur, 6 persen dari Han China dan sisanya 18 persen dari Kazakh, Mongol dan kelompok minoritas lainnya.

Kita akan terkejut melihat komposisi etnis Xinjiang saat ini. Pada tahun 2020, Xinjiang hanya memiliki 42 persen warga Uighur, penurunan drastis dari 76 persen pada tahun 1949, dan 40 persen populasi Han. 

Penindasan terhadap Uighur dan agama serta budaya mereka diintensifkan pada tingkat yang mengkhawatirkan sejak Presiden Xi Jinping mengambil alih kekuasaan pada tahun 2013.

Menurut orang Uighur yang tinggal di luar negeri dan kelompok hak asasi manusia internasional, lebih dari 1 juta orang Uighur saat ini secara sewenang-wenang ditahan di jaringan kamp penjara. Saat ini, ada sekitar 11 juta orang Uighur yang tinggal di Xinjiang. Anak-anak dipisahkan dari orang tua mereka dan dimasukkan ke dalam apa yang disebut sebagai kamp pendidikan ulang untuk anak-anak supaya pemerintahan China mencuci otak orang Uighur di usia muda. Di kamp-kamp ini, anak-anak Uighur diajari untuk mencela Islam, budaya Uighur, dan memuji Partai Komunis dan budaya China. Mereka juga dipaksa belajar bahasa Mandarin.

Muslim Uighur dipaksa makan daging babi dan mengonsumsi alkohol. Beberapa laporan mengatakan bahwa adanya larangan terhadap Muslim Uighur untuk berpuasa selama bulan suci Ramadhan. Mereka tidak diizinkan bebas merayakan festival Muslim. Pemerintah menghancurkan beberapa masjid. Bahkan khutbah Jumat dikontrol dengan ketat oleh otoritas.

Pada tahun 2017, pemerintah lokal Komunis Xinjiang mengeluarkan peraturan yang melarang pria Uighur untuk menumbuhkan jenggot panjang dan wanita mengenakan pakaian Islam seperti kerudung.

Ada laporan kerja paksa oleh Muslim Uighur di banyak pabrik milik negara, terutama industri yang terkait dengan tekstil.

Banyak negara, termasuk AS dan Kanada, dan kelompok hak asasi manusia mengutuk keras Komunis China dan menggambarkan aktivitas kejam China sebagai "genosida" terhadap orang Uighur.

Sebuah laporan mengejutkan, yang dirilis oleh lembaga pemikir Amerika, Newlines Institute for Strategy and Policy pada hari Selasa (9 Maret), telah mengungkap lebih banyak bukti dan analisis otentik tentang kekejaman China terhadap Muslim Uighur.

Laporan yang disiapkan oleh 30 ahli hukum internasional dan kebijakan etnis China, mengatakan bahwa perlakuan China terhadap Muslim Uighur telah melanggar setiap tindakan yang dilarang oleh PBB Konvensi Genosida, konvensi yang ditandatangani oleh China pada tahun 1949 dan diratifikasi pada tahun 1983.

"Orang Uighur menderita luka fisik dan mental yang serius akibat penyiksaan sistematis dan perlakuan kejam, termasuk pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi dan penghinaan publik, di tangan petugas kamp," kata laporan itu.

Konvensi menawarkan beberapa definisi spesifik tentang genosida, seperti dengan sengaja memberlakukan syarat-syarat "yang diperhitungkan akan mengakibatkan kehancuran fisik [suatu kelompok] secara keseluruhan atau sebagian".

Pelanggaran sebagian atau keseluruhan dari Konvensi oleh China dapat dikategorikan sebagai "genosida".

"Orang-orang dan entitas yang melakukan [...] tindakan genosida adalah semua agen atau organ negara - bertindak di bawah kendali efektif negara - yang mewujudkan niat untuk menghancurkan Uighur sebagai sebuah kelompok," jelas laporan itu.

AS menggambarkan tindakan China terhadap Muslim Uighur sebagai genosida.

"Kami menyaksikan upaya sistematis untuk menghancurkan Uighur oleh partai-negara China," kata mantan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo tahun lalu.

Menggemakan pandangan serupa, Menteri Luar Negeri AS yang baru Antony Blinken mengatakan tindakan China terhadap Muslim Uighur tidak dapat diterima.

"Penilaian saya tetap bahwa genosida dilakukan terhadap Uighur dan itu tidak berubah," kata Blinken.

Penyangkalan China

China telah dengan tegas menolak semua tuduhan genosida dan kerja paksa dan menggambarkannya sebagai "sangat tidak masuk akal" dan "kebohongan total".

"Yang disebut 'genosida' di Xinjiang sangat tidak masuk akal. Ini adalah rumor dengan motif tersembunyi dan kebohongan yang lengkap," kutip kantor berita Reuters terhadap perkataan Menteri Luar Negeri China Wang Yi baru-baru ini.

Komunis China, yang sebelumnya menyangkal keberadaan kamp, kini mengakui bahwa ada kamp pendidikan ulang dan pusat pelatihan kejuruan, bukan kamp konsentrasi seperti yang dituduhkan oleh media barat. Tujuan utama kamp dan pusat ini, menurut China, adalah untuk memberantas terorisme, ekstrimisme dan radikalisme agama di kalangan Muslim Uighur.

China sering mengutip contoh serangan teror 2013 dan 2014 oleh beberapa kelompok separatis Uighur. Orang Uighur juga mendirikan pemerintahan di pengasingan Turkistan Timur di Washington DC pada tahun 2004.

Beijing mengatakan bahwa tidak ada diskriminasi terhadap pekerja atas dasar etnis, jenis kelamin atau keyakinan agama , tidak ada pemerkosaan dan penyiksaan di Xinjiang.

Tetapi investigasi media Amerika dan Eropa berdasarkan kesaksian para korban penganiayaan China di Xinjiang mengungkapkan bahwa orang Uighur digunakan untuk kerja paksa dan telah mengungkapkan tuduhan pemerkosaan, penangkapan dan penyiksaan sistematis. Seluruh wilayah di bawah pengawasan ketat dengan kamera CCTV dan pos pemeriksaan polisi di setiap sudut. China melarang televisi BBC World News di China untuk menyiarkan berita tentang masalah Uighur.

Negara-negara Muslim diam

Sangat aneh melihat bahwa hanya negara-negara barat yang mengekspresikan dukungan kepada Muslim Uighur dalam perjuangan mereka melawan Komunis China.

Pada bulan Juli 2019, 22 negara barat menyuarakan keprihatinan dan menuntut China untuk menghentikan penahanan sewenang-wenang di Xinjiang. Segera, 37 negara, termasuk 14 anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), menyatakan dukungan mereka ke China dengan memuji Beijing atas 'prestasinya yang luar biasa di bidang hak asasi manusia'.

Beberapa negara yang disebut sebagai pembela Muslim seperti Arab Saudi, Iran, Turki, Pakistan, Malaysia, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), Qatar dan Aljazair mengabaikan penderitaan Muslim Uighur dan secara terbuka mendukung Komunis dan ateis China dengan kedok memerangi terorisme dan separatisme.

Mengapa ada diskriminasi terhadap Muslim Uighur ini?

Sederhananya, jawabannya adalah uang, uang dan uang. Negara-negara mayoritas Muslim ini lebih mementingkan kepentingan ekonomi mereka daripada penderitaan Muslim Uighur.

Misalnya, Arab Saudi, yang memiliki pengaruh lebih besar di OKI, menjual sepersepuluh minyaknya ke China setiap tahun. Kedua negara mencapai beberapa kesepakatan atau kesepakatan senilai lebih dari $60 miliar.

Iran, yang saat ini berada di bawah sanksi internasional, menjual sepertiga minyaknya ke China. Turki, yang ekonominya sedang dalam kondisi buruk, sangat membutuhkan uang China untuk pemulihan ekonominya.

China adalah penyelamat Pakistan yang berada di ambang kebangkrutan. Pakistan secara terbuka mendukung dan membela tindakan China di Xinjiang.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia, rumah bagi penduduk Muslim terbesar di dunia, tidak tinggal diam terhadap masalah Uighur, kata seorang pejabat senior pemerintah.

"Kami telah berkomunikasi terus menerus dengan pemerintah China untuk mengekspresikan dan meminta informasi mengenai situasi tersebut," Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi mengatakan pada akhir 2019 setelah tuduhan bahwa Indonesia dan organisasi Muslim terbesar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah diam pada masalah Uighur. 

Ia bertemu dengan Menteri Luar Negeri China Wang dan Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian pada bulan Desember 2019.

"Kami telah berbicara cukup lama dengan menteri luar negeri [China], dan kami menekankan tentang pentingnya kebebasan beragama. Jadi tidak benar kita tidak melakukan apa-apa, cek catatan media sosial kita," kata Retno.

Dengan pandangan yang sama datang dari Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Indonesia Mahfud MD mengatakan bahwa Indonesia tidak akan mengganggu urusan China.

"Soft diplomacy artinya kita tidak ikut campur. Kami panggil duta besar, itu soft diplomacy," kata Mahfud kepada wartawan saat itu.

Pada akhir Oktober 2019, 23 negara barat mengecam penindasan Muslim Uighur di Komite PBB untuk Urusan Sosial, Kemanusiaan dan Budaya. Namun China mendapatkan dukungan dari 54 negara, yang memiliki hubungan ekonomi yang kuat dengan Beijing, di forum yang sama. Negara-negara ini memuji China dan kebijakannya di Xinjiang. 

Lalu, siapa yang akan menyelamatkan Muslim Uighur dari tindakan kejam China?

Parlemen Kanada mengecam genosida China terhadap Muslim Uighur baru-baru ini. Hal serupa juga dilakukan DPRnya AS.

Tidak lagi dapat diterima untuk menundukkan Uighur dengan dalih terorisme.

"Menggunakan terorisme untuk membenarkan penindasan adalah teknik klasik rezim otoriter," kata Bndicte Jeannerod, direktur Human Rights Watch Prancis, kepada situs web www.france24.com pada tahun 2019.

"Kehadiran orang Uighur dalam kelompok ekstremis tidak membenarkan penindasan yang sewenang-wenang dan sistematis terhadap lebih dari 1 juta orang Uighur, yang digolongkan sebagai tersangka hanya karena etnis dan agama mereka."

Menjadi negara Muslim terbesar, Indonesia, yang memiliki demokrasi terbesar kedua di Asia, harus mengambil sikap berani untuk mengutuk dan mengecam penganiayaan China terhadap Muslim Uighur di Xinjiang berdasarkan agama, budaya dan etnis mereka. Setiap manusia berhak menjalankan agamanya sendiri dengan bebas. Ini adalah masalah kemanusiaan.

Kita harus bergabung dalam kampanye global untuk mendukung perjuangan Uighur.

Penulis adalah jurnalis senior yang tinggal di Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun