Sangat aneh melihat bahwa hanya negara-negara barat yang mengekspresikan dukungan kepada Muslim Uighur dalam perjuangan mereka melawan Komunis China.
Pada bulan Juli 2019, 22 negara barat menyuarakan keprihatinan dan menuntut China untuk menghentikan penahanan sewenang-wenang di Xinjiang. Segera, 37 negara, termasuk 14 anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), menyatakan dukungan mereka ke China dengan memuji Beijing atas 'prestasinya yang luar biasa di bidang hak asasi manusia'.
Beberapa negara yang disebut sebagai pembela Muslim seperti Arab Saudi, Iran, Turki, Pakistan, Malaysia, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), Qatar dan Aljazair mengabaikan penderitaan Muslim Uighur dan secara terbuka mendukung Komunis dan ateis China dengan kedok memerangi terorisme dan separatisme.
Mengapa ada diskriminasi terhadap Muslim Uighur ini?
Sederhananya, jawabannya adalah uang, uang dan uang. Negara-negara mayoritas Muslim ini lebih mementingkan kepentingan ekonomi mereka daripada penderitaan Muslim Uighur.
Misalnya, Arab Saudi, yang memiliki pengaruh lebih besar di OKI, menjual sepersepuluh minyaknya ke China setiap tahun. Kedua negara mencapai beberapa kesepakatan atau kesepakatan senilai lebih dari $60 miliar.
Iran, yang saat ini berada di bawah sanksi internasional, menjual sepertiga minyaknya ke China. Turki, yang ekonominya sedang dalam kondisi buruk, sangat membutuhkan uang China untuk pemulihan ekonominya.
China adalah penyelamat Pakistan yang berada di ambang kebangkrutan. Pakistan secara terbuka mendukung dan membela tindakan China di Xinjiang.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia, rumah bagi penduduk Muslim terbesar di dunia, tidak tinggal diam terhadap masalah Uighur, kata seorang pejabat senior pemerintah.
"Kami telah berkomunikasi terus menerus dengan pemerintah China untuk mengekspresikan dan meminta informasi mengenai situasi tersebut," Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi mengatakan pada akhir 2019 setelah tuduhan bahwa Indonesia dan organisasi Muslim terbesar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah diam pada masalah Uighur.Â