"Apakah ada wartawan lain yang tahu kalau kalau Ririn anak almarhum bapak?" tanya Om Rahman pula.
Aku menggeleng. "Tidak, Om."
"Pernah bertemu dengan orang yang menganiaya almarhum bapak?" tanya Om Rahman lagi.
Aku kembali menggeleng.
"Dia sekarang sudah menjadi pejabat penting di sini. Dulu dia cuma kepala seksi, saat masih ada almarhum bapak Ririn."
Aku hanya diam mendengarkan cerita Om Rahman. Ada kesedihan mendengar cerita Om Rahman itu.
"Om memberitahu, agar Ririn tahu. Ya, mana tahu suatu saat di sebuah acara atau kegiatan bertemu dengannya. Karena Ririn wartawan dan dia pejabat," ujar Om Rahman.
Aku mengangguk, memahami maksud Om Rahman. Sejujurnya, di sudut hatiku, ada juga tanda tanya tentang kabar orang yang telah menganiaya bapakku hingga akhirnya meninggal itu.
"Kalau tidak salah, setahun setelah dia menganiaya almarhum bapak  Ririn, dia kembali bikin tindak pidana. Dia menganiaya seorang mahasiswa sampai babak belur. Tapi kalau tidak salah, dia cuma dihukum tujuh hari penjara oleh hakim pengadilan," cerita Om Rahman yang mengatakan kalau mahasiswa yang menjadi korban penganiayaan itu merupakan anak tetangganya. Itu sebabnya Om Rahman masih ingat kejadian itu.
"Tujuh hari penjara?" gumamku.
"Iya," kata Om Rahman.
Aku kembali terdiam.
Informasi yang diberikan Om Rahman itu, membuatku jadi ingin tahu lebih detail lagi. Mungkin naluri kewartawanan-ku yang menuntut hal itu.
Selesai membuat berita hasil liputanku di kantor DPRD, aku segera melangkahkan kaki menuju perpustakaan kantor. Masih pukul empat sore. Perpustakaan masih buka.