Akhirnya, aku sampai di sebuah ruangan yang di atas pintunya tertulis Ruang Wartawan. Aku membuka pintu. Hanya nampak seorang lelaki di ruangan itu sedang membaca koran.
Aku pun masuk ke dalam. Saat melihat ada orang yang masuk, lelaki tersebut menatap ke arahku. Aku tersentak. Aku merasa mengenal lelaki itu. Meski rambutnya sudah mulai memutih, tapi wajahnya masih seperti dulu.
Ya, mana mungkin aku bisa lupa dengan lelaki yang se-usia dengan bapakku itu. Saat aku masih berusia empat sampai enam tahun, lelaki itu sudah sering ke rumah, bertemu bapakku. Hampir setiap hari, dia datang, setelah itu pergi bersama bapakku. Mereka kerja di kantor koran yang sama.
Namun, setelah aku sekolah, aku jarang melihatnya datang lagi ke rumah. Kata bapakku, mereka sudah tidak bekerja di koran yang sama. Hanya ketika lebaran, ia tetap datang berkunjung dan selalu memberi uang untukku dan saudara-saudaraku. Salam tempel--istilahnya, biasanya diberikan orang dewasa pada anak-anak setiap hari lebaran.
"Om Rahman," kusapa lelaki itu, yang terkejut mendengar aku menyebut namanya. Aku mendekatinya. Lelaki yang kupanggil Om Rahman, mengerutkan keningnya.
"Saya anak almarhum...," kusebutkan nama bapakku. Kulihat Om Rahman kembali terkejut. Kemudian berganti gurat wajah gembira.
"Iya...iya, yang dulu masih kecil waktu Om sering ke rumah. Siapa ya namanya, Om lupa," ujar Om Rahman. Ia berdiri dari tempat duduknya. Aku mendekati Om Rahman. Menyalam dan mencium tangannya.
"Ririn, Om," jawabku.
"Maklumlah sudah tua, ya Rin," ujar Om Rahman. Aku tersenyum.
"Duduklah, Rin. Ada keperluan apa ke sini?" Kulihat wajah Om Rahman mulai santai. Ia mempersilakan aku duduk di kursi sebelah kanannya. Ia juga duduk kembali di kursinya tadi.
"Ririn menggantikan tugas Rian meliput berita di sini, Om. Rian ngambil cuti."