Kulihat Om Rahman agak terkejut mendengar jawabanku. "Ririn wartawan? Satu media dengan Rian?"
"Iya, Om."
"Wah, hebatlah bisa jadi wartawan di koran itu, Rin. Tidak gampang masuk di situ. Kecuali ada hubungan saudara dengan pemilik korannya," ujar Om Rahman.
Aku hanya tersenyum.
"Diterima jadi wartawan di sana melalui siapa, Rin?" tanya Om Rahman lagi.
"Gak ada melalui siapa-siapa, Om. Ririn mengirim surat lamaran dan dapat panggilan wawancara beberapa hari kemudian," kataku apa adanya.
"Wah, luar biasa. Jarang-jarang ada penerimaan wartawan seperti itu di sana, Rin. Umumnya harus ada hubungan dengan pemilik koran."
"O...begitu ya, Om. Pantesan beberapa kawan di kantor pernah nanya pada Ririn, ada hubungan apa dengan pemilik koran," ujarku sambil tertawa kecil. Aku baru tahu kalau mereka mungkin mengira, aku ada hubungan keluarga dengan pemilik koran tempatku bekerja sekarang.
"Baguslah, Rin. Yang penting pesan dari Om, jaga nama baik almarhum bapak Ririn, ya?"
Mendengar pesan Om Rahman itu, aku seketika merasa terharu. Aku mengangguk pelan. "Iya, Om."
Om Rahman pun menanyakan kabar ibuku dan saudara-saudaraku. Aku menjawab apa adanya.