Mohon tunggu...
Anita Kencanawati
Anita Kencanawati Mohon Tunggu... Penulis - Ketua WPI (Wanita Penulis Indonesia) Sumut

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Jejak Jalan Berkabut Luka (Episode-2)

22 Januari 2022   07:34 Diperbarui: 22 Januari 2022   09:08 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Duka Nestapa Kepergian Bapak

Selama dalam penerbangan di pesawat, aku dan kakak sepupuku--Uni Yeti-- saling tak bicara. Mungkin Uni Yeti memang sengaja tak ingin mengusik kesedihanku.

Ya, aku memang lagi enggan bicara. Aku sedang berusaha menenangkan diri sendiri. Selain sedang berduka yang dalam, ada tanya yang begitu mengusik jiwaku. Tanya yang tak berjawab sejak kemarin. Sakit apa bapak, sehingga meninggal dunia?

Kemarin siang, ketika kakak sepupuku--Uni Dian-- datang ke rumah kos-ku, menyampaikan kabar duka tentang bapak yang meninggal dunia, dalam sedu sedan sempat kutanyakan penyebab bapak meninggal. Tapi Uni Dian mengatakan, ia tak tahu.

Begitu juga ketika aku diajak menginap di rumah Uni Dian, bertemu dengan adik bungsu Uni Dian- Uni Seli, jawabnya juga sama. "Uni ndak tahu sakit apa Om Hermawan, Rin."

Di rumah Uni Dian, semua sepupuku berkumpul. Mereka juga sudah mengupayakan agar aku bisa mendapatkan tiket pesawat kemarin sore. Tapi usaha mereka gagal. Hanya ada pesawat pagi keesokan harinya, untukku.

Itulah sebabnya, aku dan Uni Yeti yang mewakili keluarga bapak dari Padang, berangkat dengan pesawat pagi ini.

"Kita sudah sampai, Rin," kudengar suara Uni Yeti.
Mataku yang membengkak karena terlalu lama menangis, menatap ke luar dari jendela pesawat.

Kami memang sudah sampai di Bandara Polonia, kota kelahiranku, tempat orangtuaku tinggal. Pesawat ternyata sudah mendarat.

Aku terlalu asyik dengan pikiranku sendiri, sehingga tidak menyadari kalau pesawat sudah mendarat.

Aku dan Uni Yeti bergegas turun dari pesawat. Barang yang kami bawa tidak banyak, tidak ada yang masuk bagasi.

Uni Yeti hanya dua hari saja bersamaku. Setelah itu dia akan kembali ke Padang. Uni Yeti harus cepat kembali ke Padang, karena dia harus mengurus keperluan sehari-hari suaminya.

Sedangkan aku, tentu saja tak perlu membawa banyak pakaian, karena bajuku juga ada di rumah orangtuaku.

Aku dan Uni Yeti langsung menuju ke ruang pintu ke luar bandara. Nampak keluarga para penumpang pesawat yang baru mendarat, berkerumun di luar pintu.

Seorang pria gemuk menyongsong aku dan Uni Yeti.
"Uni Yeti," sapa pria gemuk itu memeluk dan mencium pipi Uni Yeti.
"Oh...Wedi yang disuruh menjeput kami, ya?" tanya Uni Yeti.
"Iya, Uni." Bang Wedi, yang juga sepupuku, menjawab pelan. Kemudian Bang Wedi memeluk dan mencium pipiku. Kebiasaan dalam keluarga bapak, memang seperti itu, kalau bertemu saling mencium pipi.

"Sabar ya, Rin." Bang Wedi mencoba memberiku kekuatan.

"Iya, Bang." Suaraku terdengar bergetar, menahan sedih.

Bang Wedi menatapku sejenak. Kemudian dia mengajak kami ke mobilnya, yang diparkir tidak terlalu jauh dari tempat kami bertemu.

Uni Yeti duduk di depan bersama Bang Wedi. Sedangkan aku duduk di belakang. Mobil melaju meninggalkan bandara.

"Jam berapa nanti bapak  dikebumikan, Bang Wed?" tanyaku ingin tahu.
Kulihat Bang Wedi terkejut mendengar pertanyaanku.

"Tidak tahu, Rin. Abang tadi pagi-pagi sekali dari rumah langsung ke bandara. Jadi tidak sempat mampir ke rumah Ririn. Semalam Abang ditelpon Mama, supaya pagi ini menjeput Ririn dan Uni Yeti ke bandara," jawab Bang Wedi.

Aku terdiam. Yang dimaksud mama oleh Bang Wedi adalah ibunya, yang merupakan kakak ipar bapakku. Bapaknya Bang Wedi adalah abang kandung bapakku. Tapi bapaknya Bang Wedi sudah meninggal juga tiga tahun yang lalu.

"Sebenarnya, bapak meninggal dunia karena sakit apa, Bang?" Kembali aku bertanya.

Kulihat Bang Wedi tampak bingung. Dia melirik Uni Yeti. Aku tak bisa menyaksikan reaksi Uni Yeti, karena posisi dudukku tepat di belakangnya.
"Abang juga gak tahu, Rin," jawab Bang Wedi.

Aku menatap ke arah Bang Wedi yang menyetir, dengan pancaran mata penuh keheranan.

"Abang selama seminggu ini di luar kota. Baru pulang semalam karena dapat kabar duka, Om Hermawan meninggal," ujar Bang Wedi dengan suara parau.

Aku tertunduk sedih. Apa sebenarnya penyebab bapak meninggal? Sakit apa bapak? Mengapa setelah meninggal, baru aku diberitahu? Mengapa tidak diberitahu ketika sakit?
Pertanyaan itu bergelayut terus di pikiranku. Menambah kesedihanku.

Rahasia penyebab bapak  meninggal semakin menambah tanda-tanya di hatiku, setelah sampai di rumah. Dari depan pintu rumah, kulihat pemandangan yang sangat menyayat hati.

Ibu kulihat menangis tak henti dengan tubuh sangat lemah. Kakak sulungku yang lagi hamil, jatuh pingsan. Lalu abangku, terdengar berteriak-teriak histeris di kamarnya. Empat adikku yang menangis pilu dan tampak panik menghadapi kondisi ibu, kakak, dan abangku.

Saat itu, aku ingin sekali meluapkan kesedihanku juga. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Tapi, pemandangan yang menyayat hati dengan kondisi ibu, kakak dan abang, membuatku tersentak.

Aku harus kuat. Aku harus memberi kekuatan pada ibu, kakakku dan abangku. Aku harus memberi contoh pada empat adikku, agar melakukan hal yang sama.

Sungguh, aku terpaksa menjadi seperti orang yang paling tegar saat itu. Padahal, batinku sangat tersiksa.

Kesedihanku tak bisa kulepaskan. Kupendam di dalam hati, bersama tanda tanya yang semakin membesar, apa sebenarnya yang telah terjadi?

Seseorang mendekatiku. Dokter Zulkifli. Dia tetangga kami, tetapi masih ada hubungan keluarga dengan bapak. Dia menyalamiku. Aku memanggilnya Om.

"Kamu harus kuat, Rin. Minumlah vitamin ini," katanya memberiku satu kapsul, yang katanya vitamin. Aku tak sempat berfikir, mengapa dokter Zulkifli sudah menyiapkan vitamin untukku. Entah vitamin, entah obat untuk menenangkan, aku juga tak sempat memikirkannya.

Di samping dokter Zulkifli, Tante Tari--isterinya, sudah memegang segelas air putih. "Diminum sekarang ya, Rin," ujar TanteTari memberikan gelas berisi air putih itu kepadaku.
Aku mengangguk. Kemudian meminum vitamin yang diberikan dokter Zulkifli.

Setelah itu, aku mendekati ibu. Ibu terkejut melihatku sudah sampai. Ibu memelukku, sambil menangis tersedu. Tapi tak ada kata yang diucapkan. Aku pun tak sanggup bertanya.

Suasana begitu menyedihkan. Sebagian famili, termasuk Uni Yeti bersama tetangga masih mengurus kakakku yang pingsan. Sebagian lagi mencoba menyabarkan abangku, yang tak henti meninjukan tangannya ke dinding kamarnya. Abangku seperti orang yang kesurupan.

"Sabar Darwin, istighfar," begitu orang-orang mencoba menenangkan abangku, Darwin.

Ada apa sebenarnya? Lalu, mana jenazah bapak? Sudah dikebumikan-kah? Kembali pertanyaan mengusikku. Aku kebingungan sendiri.

Tapi aku harus bertanya pada siapa? Tidak mungkin pada ibuku yang masih menangis tak henti, di sampingku. Tidak mungkin pada kakakku, abangku dan adik-adikku yang semuanya tampak sedang dilanda duka yang dalam.

Tetiba aku melihat dokter Zulkifli yang baru ke luar dari kamar, menenangkan Bang Darwin.

Aku melepaskan dekapanku dari tubuh ibu. "Sebentar ya, Bu," kataku pada ibu. Kusandarkan tubuh ibu ke dinding.

Uni Yeti yang melihatku akan meninggalkan ibu, datang mendekat. Uni Yeti duduk di samping ibu. Ia menggantikanku, mendekap ibu yang tampak sangat lemah dalam kesedihannya.

"Om Zul, apakah bapak sudah dikebumikan?" tanyaku menghampiri dokter Zulkifli yang sudah duduk di ruang tamu.

Dokter Zulkifli tampak sangat berhati-hati menjawab pertanyaanku. Dia sejenak memperhatikan wajahku.

"Kemarin sore sudah dikebumikan, Rin," kata dokter Zulkifli pelan sambil memegang pundakku. Sepertinya, dia berjaga-jaga jika aku tiba-tiba pingsan.

Aku memang sangat terkejut. Bapak meninggal kemarin siang, kenapa buru-buru dikebumikan sore harinya?

Betapa malangnya nasibku, tidak bertemu jenazah bapak, tidak ikut menyolatkan, tidak ikut mengantar ke pemakaman, bahkan tak ikut merawat ketika bapak sakit sampai ajal menjeputnya.

Bulir bening jatuh deras di pipiku. Aku merasa menjadi anak yang paling malang di dunia. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun