Seseorang mendekatiku. Dokter Zulkifli. Dia tetangga kami, tetapi masih ada hubungan keluarga dengan bapak. Dia menyalamiku. Aku memanggilnya Om.
"Kamu harus kuat, Rin. Minumlah vitamin ini," katanya memberiku satu kapsul, yang katanya vitamin. Aku tak sempat berfikir, mengapa dokter Zulkifli sudah menyiapkan vitamin untukku. Entah vitamin, entah obat untuk menenangkan, aku juga tak sempat memikirkannya.
Di samping dokter Zulkifli, Tante Tari--isterinya, sudah memegang segelas air putih. "Diminum sekarang ya, Rin," ujar TanteTari memberikan gelas berisi air putih itu kepadaku.
Aku mengangguk. Kemudian meminum vitamin yang diberikan dokter Zulkifli.
Setelah itu, aku mendekati ibu. Ibu terkejut melihatku sudah sampai. Ibu memelukku, sambil menangis tersedu. Tapi tak ada kata yang diucapkan. Aku pun tak sanggup bertanya.
Suasana begitu menyedihkan. Sebagian famili, termasuk Uni Yeti bersama tetangga masih mengurus kakakku yang pingsan. Sebagian lagi mencoba menyabarkan abangku, yang tak henti meninjukan tangannya ke dinding kamarnya. Abangku seperti orang yang kesurupan.
"Sabar Darwin, istighfar," begitu orang-orang mencoba menenangkan abangku, Darwin.
Ada apa sebenarnya? Lalu, mana jenazah bapak? Sudah dikebumikan-kah? Kembali pertanyaan mengusikku. Aku kebingungan sendiri.
Tapi aku harus bertanya pada siapa? Tidak mungkin pada ibuku yang masih menangis tak henti, di sampingku. Tidak mungkin pada kakakku, abangku dan adik-adikku yang semuanya tampak sedang dilanda duka yang dalam.
Tetiba aku melihat dokter Zulkifli yang baru ke luar dari kamar, menenangkan Bang Darwin.
Aku melepaskan dekapanku dari tubuh ibu. "Sebentar ya, Bu," kataku pada ibu. Kusandarkan tubuh ibu ke dinding.
Uni Yeti yang melihatku akan meninggalkan ibu, datang mendekat. Uni Yeti duduk di samping ibu. Ia menggantikanku, mendekap ibu yang tampak sangat lemah dalam kesedihannya.