Mohon tunggu...
Anita Kencanawati
Anita Kencanawati Mohon Tunggu... Penulis - Ketua WPI (Wanita Penulis Indonesia) Sumut

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Jejak Jalan Berkabut Luka (Episode-2)

22 Januari 2022   07:34 Diperbarui: 22 Januari 2022   09:08 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seseorang mendekatiku. Dokter Zulkifli. Dia tetangga kami, tetapi masih ada hubungan keluarga dengan bapak. Dia menyalamiku. Aku memanggilnya Om.

"Kamu harus kuat, Rin. Minumlah vitamin ini," katanya memberiku satu kapsul, yang katanya vitamin. Aku tak sempat berfikir, mengapa dokter Zulkifli sudah menyiapkan vitamin untukku. Entah vitamin, entah obat untuk menenangkan, aku juga tak sempat memikirkannya.

Di samping dokter Zulkifli, Tante Tari--isterinya, sudah memegang segelas air putih. "Diminum sekarang ya, Rin," ujar TanteTari memberikan gelas berisi air putih itu kepadaku.
Aku mengangguk. Kemudian meminum vitamin yang diberikan dokter Zulkifli.

Setelah itu, aku mendekati ibu. Ibu terkejut melihatku sudah sampai. Ibu memelukku, sambil menangis tersedu. Tapi tak ada kata yang diucapkan. Aku pun tak sanggup bertanya.

Suasana begitu menyedihkan. Sebagian famili, termasuk Uni Yeti bersama tetangga masih mengurus kakakku yang pingsan. Sebagian lagi mencoba menyabarkan abangku, yang tak henti meninjukan tangannya ke dinding kamarnya. Abangku seperti orang yang kesurupan.

"Sabar Darwin, istighfar," begitu orang-orang mencoba menenangkan abangku, Darwin.

Ada apa sebenarnya? Lalu, mana jenazah bapak? Sudah dikebumikan-kah? Kembali pertanyaan mengusikku. Aku kebingungan sendiri.

Tapi aku harus bertanya pada siapa? Tidak mungkin pada ibuku yang masih menangis tak henti, di sampingku. Tidak mungkin pada kakakku, abangku dan adik-adikku yang semuanya tampak sedang dilanda duka yang dalam.

Tetiba aku melihat dokter Zulkifli yang baru ke luar dari kamar, menenangkan Bang Darwin.

Aku melepaskan dekapanku dari tubuh ibu. "Sebentar ya, Bu," kataku pada ibu. Kusandarkan tubuh ibu ke dinding.

Uni Yeti yang melihatku akan meninggalkan ibu, datang mendekat. Uni Yeti duduk di samping ibu. Ia menggantikanku, mendekap ibu yang tampak sangat lemah dalam kesedihannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun