"Sebenarnya, bapak meninggal dunia karena sakit apa, Bang?" Kembali aku bertanya.
Kulihat Bang Wedi tampak bingung. Dia melirik Uni Yeti. Aku tak bisa menyaksikan reaksi Uni Yeti, karena posisi dudukku tepat di belakangnya.
"Abang juga gak tahu, Rin," jawab Bang Wedi.
Aku menatap ke arah Bang Wedi yang menyetir, dengan pancaran mata penuh keheranan.
"Abang selama seminggu ini di luar kota. Baru pulang semalam karena dapat kabar duka, Om Hermawan meninggal," ujar Bang Wedi dengan suara parau.
Aku tertunduk sedih. Apa sebenarnya penyebab bapak meninggal? Sakit apa bapak? Mengapa setelah meninggal, baru aku diberitahu? Mengapa tidak diberitahu ketika sakit?
Pertanyaan itu bergelayut terus di pikiranku. Menambah kesedihanku.
Rahasia penyebab bapak  meninggal semakin menambah tanda-tanya di hatiku, setelah sampai di rumah. Dari depan pintu rumah, kulihat pemandangan yang sangat menyayat hati.
Ibu kulihat menangis tak henti dengan tubuh sangat lemah. Kakak sulungku yang lagi hamil, jatuh pingsan. Lalu abangku, terdengar berteriak-teriak histeris di kamarnya. Empat adikku yang menangis pilu dan tampak panik menghadapi kondisi ibu, kakak, dan abangku.
Saat itu, aku ingin sekali meluapkan kesedihanku juga. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Tapi, pemandangan yang menyayat hati dengan kondisi ibu, kakak dan abang, membuatku tersentak.
Aku harus kuat. Aku harus memberi kekuatan pada ibu, kakakku dan abangku. Aku harus memberi contoh pada empat adikku, agar melakukan hal yang sama.
Sungguh, aku terpaksa menjadi seperti orang yang paling tegar saat itu. Padahal, batinku sangat tersiksa.
Kesedihanku tak bisa kulepaskan. Kupendam di dalam hati, bersama tanda tanya yang semakin membesar, apa sebenarnya yang telah terjadi?