“Lalu bedanya dengan pesawat itu apa? Kan sama-sama bisa terbang.” tanya lagi Allysa.
“Kalau pesawat itu benda mati, hanya saja didalamnya memiliki mesin dan ada manusia yang mengoperasikan yang disebut pilot sehingga bisa terbang.” jawab Ibu dengan lembut.
Setiap hari Ibunya selalu mengajar Allysa dengan penuh rasa sabar. Terkadang Ibunya pun pernah merasa sulit untuk menggambarkan suatu benda yang tak bisa Allysa raba. Namun ternyata Allysa memiliki imajinasi yang kuat dan pikirannya pun pandai dan kritis.
Beberapa hari kemudian, Allysa diajak Ibunya untuk mengikuti les alat musik disalah satu tempat les, karena Ibunya ingin Allysa bisa bermain alat musik dengan profesional. Begitupun dengan kemauannya Allysa. Saat itu Allysa memang belum bisa memainkan gitar akustiknya, karena tak ada yang bisa mengajarkannya.
“Mohon maaf bu, saya tidak sanggup mengajar anak ibu. Karena cukup sulit untuk mengajarkan anak yang memiliki kebutuhan khusus. Mungkin ibu bisa cari tempat les lain saja.” kata guru les.
Mendengar perbincangan guru les tersebut dengan Ibunya, Allysa merasa kecewa, sakit hati dan sedih.
***
15 tahun kemudian…
Disebuah Café dengan diiringi musik jazz serta suara tepuk tangan pengunjung yang ramai. Ibunya Allysa sedang duduk sambil menikmati musik yang merdu. Dia duduk bersebelahan dengan seorang pria salah satu pengunjung café.
“Main musiknya keren ya bu. Udah cantik, main gitarnya jago, suaranya bagus, tapi sayangnya dia gak bisa lihat.” kata pria itu.
“Iya, tapi setidaknya dia merasa senang bisa mendengar suara tepuk tangan yang ramai pertanda musiknya diapresiasi.” jawab Ibunya sambil tersenyum.