Kanker masih menjadi momok yang sangat menakutkan bagi masyarakat kita. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh karena informasi yang masih terbatas di masyarakat, namun juga cenderung simpang siur.Â
Di samping itu, masyarakat umumnya tidak peduli dengan berbagai informasi tentang kanker sebelum dirinya atau keluarganya didiagnosis pernyakit ini. Itulah sebabnya, ketika mereka dideteksi mengalami kanker, dunia seakan kiamat dan mereka diselimuti ketakutan vonis kematian yang seakan pasti menanti tanpa dapat dihindari. Kenyataannya tidaklah demikian.
Berdamai dengan Kanker
Sebagai keluarga dari seorang penyintas kanker, saya telah berkecimpung dalam dunia kanker dan mengabdikan diri sebagai relawan di Cancer Information and Support Center (CISC) untuk mendampingi para pasien dan keluarganya sejak tahun 2004.Â
Selama periode lebih dari 15 tahun ini, saya menemukan banyak fakta lapangan keberhasilan para penyintas kanker berdamai dengan penyakitnya dan bertahan hidup hingga puluhan tahun dengan sehat. Beberapa figur publik di Indonesia juga menjadi bukti bahwa kanker bukan vonis mati, termasuk Rima Melati, Titiek Puspa, Andien, dan lainnya. Â
"Kesedihan dan duka seringkali dieksploitasi sedemikian rupa demi menarik minat masyarakat dan memperoleh rating yang tinggi."
Berdamai dengan kanker tentu bukan hal yang mudah. Di samping terapi yang tepat dan benar secara medis sesuai dengan saran tim dokter yang menangani, diperlukan disiplin, komitmen, dan konsistensi dari para pasien, serta semangat hidup yang tinggi.
Namun, bagaimana dengan kasus di mana kanker yang telah dinyatakan bersih kemudian kembali menyerang, bahkan hingga mengakibatkan kematian sebagaimana dialami oleh beberapa figur publik lainnya, seperti Ria Irawan dan Julia Perez?Â
Kanker memang bukan vonis mati, namun tim medis yang menangani kanker selalu mengingatkan para pasien yang telah dinyatakan bersih untuk menjaga kesehatanan dan gaya hidup untuk mencegah kanker menjadi aktif kembali.Â
Hal ini disebabkan karena pada dasarnya semua orang memiliki sel kanker dalam tubuhnya yang akan aktif dan mengganggu kesehatan ketika sel tersebut bermutasi dan berkembang secara abnormal.
Ketika sel tersebut telah bermutasi, kemungkinan untuk dapat terpacu menjadi aktif kembali meningkat dibanding dengan orang yang belum pernah mendapatkan diagnosis kanker.
Itulah sebabnya, para pasien kanker yang telah dinyatakan bersih sering menyebut pengalaman mereka sebagai "berdamai dengan kanker" dan menyebut dirinya sebagai "penyintas" kanker.
Sampai saat ini, para dokter belum dapat memberikan kepastian tentang faktor pemicu aktifnya sel kanker. Namun, beberapa faktor yang seringkali didapati di antaranya adalah pola hidup dan lingkungan yang kurang sehat, stres berkepanjangan, serta faktor genetik (meskipun persentasinya sangat kecil). Oleh karena itu, kanker dapat terjadi pada siapa saja tanpa memandang usia maupun tingkat sosial ekonomi. Walau demikian, kanker tidak perlu dipandang sebagai suatu teror yang berlebihan.
Sebagaimana penyakit tidak menular lainnya seperti diabetes, hipertensi, dan jantung, kanker selayaknya dipandang sebagai penyakit kronis yang dapat diatasi bila mendapatkan penanganan yang tepat, cepat, dan serius oleh tim medis yang kompeten, serta pola hidup yang sehat. Dengan demikian, niscaya para pasien akan dapat berdamai dengan penyakit yang tinggal di dalamnya dan tetap hidup sehat dalam jangka waktu yang panjang.
Media dalam Konstruksi Sosial terhadap Kanker
Media memegang peranan besar dalam terbentuknya persepsi menakutkan di masyarakat terhadap diagnosis kanker. Berbagai informasi medis terkait penyakit kanker yang beredar di masyarakat seringkali kalah dengan persepsi bias dan simpang siur yang dibentuk oleh media mainstream.Â
Bentuk dan metode penyampaian yang cenderung kaku dan sangat teknis mengakibatkan kurangnya minat masyarakat untuk menerima informasi dan penjelasan ilmiah dari para dokter. Pada akhirnya, secara tidak sadar persepsi masyarakat atas kanker justru lebih banyak dibentuk berdasarkan tayangan-tayangan hiburan yang populer, seperti sinetron, infotainment, dan variety show.
Sinetron, infotainment, dan variety show merupakan beberapa tayangan yang sangat populer dan efektif dalam membangun konstruksi berpikir kebanyakan masyarakat Indonesia, terutama kelas pendidikan dan ekonomi menengah ke bawah.
Sayangnya, ketiga tayangan ini sangat menggantungkan kesuksesannya pada capaian rating dari masyarakat, sementara masyarakat cenderung mengakses tayangan yang bersifat sebagai sarana hiburan ketimbang pendidikan. Akibatnya, tayangan yang bersifat menghibur dan mengolah emosi justru mendapatkan tingkat penerimaan dan rating yang tinggi di masyarakat, sekalipun secara keakuratan konten seringkali menjadi pertanyaan.
Kesedihan dan duka seringkali dieksploitasi sedemikian rupa demi menarik minat masyarakat dan memperoleh rating yang tinggi.
Hal ini yang kemudian menyebabkan sinetron, infotainment, dan variety show cenderung gencar mengisahkan kisah-kisah duka dari kanker, seperti kematian figur publik, penyakit kanker pada tokoh protagonis di sinetron untuk menambah simpati masyarakat akan kemalangan hidupnya, variety show yang mengekspolitasi derita pasien kanker, dan lain sebagainya.Â
Disadari atau tidak, hal itu membangun persepsi di alam bawah sadar audiens akan korelasi kanker dengan kematian.
Di sisi lain, Survei Indeks Kualitas Program Televisi yang dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyebutkan bahwa sinetron, infotainment, dan variety show menempati kedudukan yang paling rendah dibanding delapan jenis program yang dikaji.
Survei yang digelar pada Januari-Maret 2018 menyatakan bahwa meski ketiganya kerap mendapatkan rating tinggi dan mendatangkan pemasukan dari iklan yang sangat besar, skor yang didapatkan berdasarkan kualitas siaran berkisar pada 2,3-2,5 atau di bawah standar KPI sekitar 0,5-0,7 poin. Survei ini dilakukan dengan melibatkan 120 panel ahli dan 1.200 responden.Â
Dengan demikian, diperlukan kesadaran dari masyarakat bahwa ketiga tayangan tersebut merupakan sumber informasi dan persepsi yang tidak layak untuk dijadikan rujukan.
Kanker dan Tanggung Jawab Media
Bersikap positif dengan semangat hidup tinggi adalah segala-galanya dalam memenangkan perjuangan berdamai dengan kanker. Ketika terdiagnosis kanker, sangat penting bagi pasien dan keluarga untuk segera bangkit dan mengumpulkan semangat juang mencari informasi medis yang sebaik-baiknya tanpa tenggelam pada berbagai persepsi bias dan simpang siur yang ada pada media mainstream.
Oleh karena itu, media juga perlu ikut bertanggung jawab dalam memperbaiki kualitas siarannya dan ikut ambil bagian dalam mencerdaskan masyarakat melalui pembentukan konstruksi sosial yang tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung, media televisi dapat ikut serta dalam mengedukasi masyarakat dengan menyelenggarakan program-program kesehatan yang mengundang para dokter maupun penyintas dan keluarga pasien kanker untuk memberikan pemahaman terhadap kanker serta membangun persepsi yang berimbang dan positif terhadap bagaimana menghadapi kanker. Salah satu contoh program yang sudah ada dan dapat dikembangkan adalah tayangan Dr. OZ di Trans TV.
Di samping itu, bahkan saat ini telah hadir satu saluran TV yang secara khusus berkomitmen menyajikan informasi kesehatan yang akurat dan terpercaya serta membahas mitos dan fakta seputar kesehatan, yaitu InaHealth TV, yang mengusung slogan "Trusted Health Channel".
Tidak kalah penting dari itu, media juga mempunyai potensi besar dalam membentuk konstruksi sosial dan membangun persepsi positif masyarakat terhadap kanker melalui metode tidak langsung.
Metode tidak langsung dapat dilakukan dengan menyelipkan konten-konten edukasi yang tepat pada program-program yang populer di masyarakat, seperti seperti sinetron, infotainment, dan variety show.
Hal ini penting untuk dilakukan sebagai strategi "jemput bola" mengingat kebanyakan dari persepsi yang salah atas kanker lahir pada masyarakat yang tidak merasa perlu untuk mencari informasi lebih jauh terkait kanker, misalnya karena tidak memiliki keluarga atau kerabat yang bersinggungan langsung dengan kanker.
Di samping itu, kebanyakan dari kelompok ini berasal dari masyarakat dengan latar belakang pendidikan menengah ke bawah yang memiliki ketertarikan rendah terhadap program-program yang bersifat terlalu menggurui. Oleh karena itu, unsur edukasi perlu diselipkan ke dalam program-program populer tersebut.Â
Beberapa cara yang dapat dilakukan misalnya dengan menyelipkan percakapan yang meluruskan persepsi atas kanker pada tayangan sinetron, menampilkan seorang dokter sungguhan atau artis penyintas kanker yang memberikan penjelasan yang tepat, maupun secara drastis mengubah plot cerita dengan mengisahkan pasien kanker yang dapat kembali pulih.
Strategi serupa dapat juga diterapkan pada variety show populer seperti Opera van Java, Ini Talkshow, dan sebagainya dengan mendatangkan narasumber dokter sungguhan atau artis penyintas kanker untuk berbagai pengalaman dan semangat positif mereka.Â
Dalam hal tayangan infotainment, gaya pemberitaan perlu sangat diperhatikan, di mana para figur publik yang menderita kanker perlu diberitakan dengan lebih positif ketimbang menjual kesedihan. Lebih dari itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga perlu ikut terlibat aktif dalam mengawasi dan menegur bentuk siaran yang membangun kontruksi berpikir yang kontra-produktif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H