Mohon tunggu...
Ani Siti Rohani
Ani Siti Rohani Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan penikmat sunyi

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Prasangka Cinta

19 Mei 2019   15:40 Diperbarui: 19 Mei 2019   15:47 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pixabay.com


"Kamu mau menikah denganku?" Wajah Maryam bersemu merah. 

Lelaki di hadapannya bukanlah lelaki kriterianya. Namun walau bagaimana pun, momen seperti ini akan tetap menjadi momen yang mengharukan bagi kaum wanita.

"Kalau Abang memang serius padaku, datanglah langsung ke rumah dan bicarakan dengan kedua orang tuaku," balas Maryam dengan wajah tertunduk malu.

Malam itu langit seolah berubah dipenuhi awan-awan putih berarak. Rembulan yang tak sempurna dalam bentuknya pun seolah berubah menjadi purnama dengan menampilkan cahaya terang menawan. Seterang hati Maryam.

Tak lama untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Sebulan setelah itu, akhirnya Maryam menjadi ratu sehari. Ia duduk di singgasana pelaminan bersama lelaki yang kini akan menjadi penguasa hatinya.

Suasana tampak meriah. Kedua anggota keluarga tampak bahagia dengan acara resepsi pernikahan sepasang sejoli itu. Pun Maryam, wanita Sholehah, pendiam, anggun nan jelita itu tampak bahagia. Meski lelaki yang menjadi suaminya itu tergolong lelaki yang biasa saja, tetapi Maryam percaya seiring berjalannya waktu Ahmad pasti bisa berubah menjadi lelaki sholeh. Dia tidak terlalu buruk sebagai seorang lelaki. Hanya kurang sholeh, itu saja. Demikian Maryam berpikir tentang lelakinya.

Maryam bahagia melewati kehidupan barunya dengan Ahmad. Kebersamaan membuat rasa cinta tumbuh di hati mereka. Benar kata pepatah, witing tresno jalaran soko kulino. Apalagi sifat Maryam yang memang pada dasarnya lembut, taat, sabar dan penyayang. Itu membuat Ahmad semakin yakin bahwa ia tak salah dengan pilihannya. Ahmad semakin mencintai wanitanya.

"Bang, lihat! Sepertinya istrimu yang manis ini sebentar lagi akan melahirkan. Besar sekali perutku, Bang. Bulan ini sudah menginjak bulan ke 9 usia kehamilanku," ucap Maryam bermanja dengan bersandar di pundak suaminya malam itu.

"Benar, tapi kenapa kamu selalu menolak setiap kali Abang menyuruhmu USG?" tanya Ahmad.

"Maryam tidak mau, Bang. Biarlah ini menjadi kejutan untuk kita nantinya," balas Maryam memandang wajah suaminya sekilas.

Malam itu hati Maryam seperti dihiasi bunga-bunga indah. Berwarna-warni. Kebahagiaan baru kembali menanti. Ahmad mencium kening istrinya sebelum akhirnya mereka tidur.


***
"Hahh, kembar tiga?" Ahmad yang sedari tadi was-was dengan kondisi istrinya kaget mendengar info yang diberikan dokter padanya saat proses persalinan selesai.

Ia berlenggang memasuki ruangan tempat istrinya berada. Di ruangan itu, Ahmad melihat Maryam tengah tersenyum menggendong dan menciumi salah satu bayinya.

"Bang, lihatlah! Begitu hebat kuasa Allah. Allah memberi kita tiga pangeran kecil yang sangat tampan sekaligus," wajah Maryam tampak berbinar.

Ahmad mendekatinya, memandangi kedua bayinya yang lain kemudian menggendong salah satunya. Tak lama berganti menggendong ke yang lainnya. Ahmad sempat tak percaya dengan apa yang dikatakan dokter barusan, tapi setelah ia sendiri melihatnya ia mempercayainya. Tiga pangeran mungil itu kemudian diadzankan satu persatu olehnya.


***

Wajah Maryam tampak lelah. Ia kebingungan mengurusi ketiga pangeran kecilnya yang tiba-tiba menangis secara bersamaan. Namun dengan penuh kesabaran Maryam berusaha keras untuk memperhatikan ketiganya. Dua pangeran ia gendong, satu lagi ia baringkan dan tak ketinggalan membelai lembut dan mengelus rambutnya. Ahmad, selalu sibuk bekerja. Tak bisa membantu Maryam mengurusi ketiga anaknya. Tak mengapa, itu memang kewajiban seorang suami. Mencari nafkah untuk anak istrinya, demikian pikir Maryam.

"Ada kopi untukku, Maryam?" tanya Ahmad sedikit berteriak. Ia baru saja pulang dari tempat kerjanya.

"Maryam...." teriaknya lagi. Tapi masih tak ada jawaban. Ahmad berjalan menuju kamarnya.

Hanya butuh waktu beberapa detik saja dari ruang depan menuju kamar. Rumah mereka sangat sederhana. Tak begitu besar. Dilihatnya Maryam dengan ketiga bocah kecilnya tertidur pulas. Ahmad kembali keluar dari kamar. Menyeduh kopinya sendiri. Beberapa minggu ini, ia merasa seperti kembali hidup sendiri. Tak ada yang menyiapkan kopi, menyediakan sarapan, bahkan urusan ranjang tak lagi ia dapat.

Ahmad duduk di teras depan rumah. Menikmati indah langit sore dengan ditemani secangkir kopi. Tatapannya menerawang jauh, entah apa yang dipikirkan. Ia berusaha menampik perasaan kesal yang dipendam beberapa hari ini. Maryam berubah, tak lagi sama seperti dulu, bisiknya dalam hati.

"Bang...," seru Maryam. 

Ahmad yang sedang melamun sedikit kaget dengan kemunculan istrinya secara tiba-tiba. Istrinya tengah menggendong seorang bayinya yang kini berusia 3 bulanan.

"Maafkan Maryam, Bang," ucap Maryam pelan.

"Kamu berubah, Maryam. Kamu benar-benar berubah. Kamu sekarang tidak memperhatikanku, tidak melayaniku padahal kamu dulu begitu sangat memperhatikan segalanya tentangku," ucap Ahmad.

"Bang, Maryam tidak berubah. Maryam masih Maryam yang dulu. Maryam mencintai Abang," balas Maryam.

"Kalau kamu masih mencintaiku, kamu tidak mungkin mengabaikanku seperti ini, Maryam. Atau jangan-jangan ada laki-laki lain di hatimu?" tuduh Ahmad.

Seketika Hati Maryam seperti ditohok. Ia tak percaya suaminya menuduhnya seperti itu.

"Abang kenapa bicara begitu?" tanya Maryam.

"Kamu tentu menyadarinya, Maryam. Kenapa aku bicara seperti itu. Kamu sudah sangat berubah. Kamu dulu begitu memperhatikanku tapi sekarang bahkan menyentuh jemariku saja sepertinya enggan. Tidak pernah lagi membuatkan kopi untukku, jarang dan hampir tak pernah menyiapkan makan untukku apalagi menemaniku makan," ucap Ahmad dengan nada yang tinggi.

Maryam berlenggang pergi menuju kamar. Hatinya seperti dicabik-cabik. Ia tak kuasa menahan air matanya. Ia menangis. Semakin menambah repot lagi ketika mendadak ketiga pangerannya ikut berteriak menangis. Seperti tahu apa yang tengah dirasakan ibunya. Maryam kembali sibuk mengurusi ketiga anaknya.

Sesakit apa pun perasaan Maryam atas pernyataan suaminya Maryam harus berusaha melupakan semua itu. Maryam tak ingin berlarut dalam kesedihan. Ia memiliki tanggung jawab besar yang tidak bisa ia abaikan, yaitu mengurus ketiga anaknya. Tapi tetap saja, Maryam terus memikirkan tuduhan-tuduhan itu. Dan itu membuatnya semakin rapuh. Ia menjadi lupa dengan kondisinya sendiri. Meski sibuk mengurus ketiga buah hatinya tapi Mayam biasanya tak lupa juga memperhatikan kesehatannya. Sayangnya, saat ini berbagai pikiran membuat ia hampir melupakan keadaannya sendiri. Ia bahkan melupakan perihal makan. Ia tak berselera. Sangat tidak berselera.

Ahmad, dia lebih lagi. Dia hanya sibuk dengan pekerjaannya. Tak sedikit pun memperhatikan kondisi Maryam. Tak pernah membantu sedikit pun urusan Maryam. Pada dasarnya karakternya memang seperti itu, cuek. Tapi seharusnya dia memperhatikan Maryam. Seharusnya dia mau melihat sedikit saja kesibukan Maryam. Tapi yang ada Ahmad justru menuduh Maryam.

Suasana kamar gaduh. Suara tangis memecah keheningan. Ahmad yang tadinya sedang menikmati secangkir kopi di teras depan rumah terpaksa masuk untuk melihat anak-anaknya.

Kenapa berisik sekali, apa yang sedang dilakukan Maryam, tanyanya dalam hati. Ahmad membuka pintu secara perlahan. Sedikit kikuk karena sudah beberapa hari hubungannya dengan Maryam tak baik. Malam pun kadang ia tidur di luar menginap di rumah teman. Jika pun di rumah ia memilih tidur di ruang depan.

"Maryam, kenapa kamu malah tidur? Dengarlah mereka menangis, Maryam!"

 "Maryam..."

"Maryam...."

Berulang kali Ahmad mencoba membangunkan Maryam tapi Maryam tetap diam. Ahmad menjadi panik. Tak salah lagi, Maryam bukan sedang tidur tapi dia sedang tak sadarkan diri. Pingsan.


***

Sudah tiga hari Maryam tak sadarkan diri. Ahmad baru mengerti kenapa Maryam begitu tak memperhatikannya selama ini. Ahmad mengurus ketiga anaknya sendiri selama Maryam masih tak sadarkan diri. Ia harus bolak-balik dari rumah ke rumah sakit. Belum lagi ketiga buah hatinya sering sekali menangis. Ditambah ia harus menyuapi, memandikan, mengganti popok. Ternyata sesibuk ini, sesal Ahmad. Ia baru mengerti semuanya. Ya, itulah mengapa Maryam tak memiliki waktu untuk memperhatikannya. Ia lelah, terlalu lelah. Apalagi ditambah tak diperhatikan suaminya sama sekali. Suaminya yang selalu merasa paling sibuk dengan pekerjaannya. Suaminya yang menuduhnya berselingkuh. Itu sebabnya kondisi Maryam menjadi seperti saat ini.

"Bang...." Ahmad segera mendongakkan kepalanya yang sejak tadi memeluk dan menciumi jemari istrinya.

"Maryam, kamu sudah sadar?"

"Bang, anak-anak di mana?"

"Mereka Abang titipkan ke rumah Ibu, Maryam." Ahmad tersenyum melihat keadaan istrinya yang sudah sadarkan diri. Kekhawatirannya hilang.

"Maryam, maafkan Abang. Bukan kamu yang tak memperhatikan Abang tapi Abang yang tak memperhatikanmu, Maryam." Tanpa sadar bulir bening menetes di pipi Ahmad.

Sesalnya begitu besar karena sudah menuduh Maryam tidak benar. Maryam masih sama seperti dulu. Maryam tidak berubah. Maryam masih mencintainya. Kesibukanlah yang menyita waktunya sehingga ia tak bisa lagi seperhatian dulu. Maryam tersenyum lembut melihat Ahmad.

"Aku mencintaimu, Maryam."

"Aku juga mencintaimu, Bang."

Taiwan_

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun