Mohon tunggu...
Ani Siti Rohani
Ani Siti Rohani Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan penikmat sunyi

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Harta Terindah

5 Mei 2019   08:18 Diperbarui: 5 Mei 2019   08:25 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu Rusmi namanya. Wanita usia menjelang enam puluh tahunan itu sudah lama sekali memiliki usaha warung di rumahnya, sebelum akhirnya tutup oleh sesuatu hal yang tak pernah ia sangka.

Mentari telah hampir berada di tengah-tengah, ketika bu Rusmi mematung di depan warung. Hanya bola matanya yang kerap kali berputar melirik ke kiri dan ke kanan, melihat orang-orang berseliweran melewati warung miliknya. 

Kebanyakan dari mereka dulunya adalah pelanggan setia bu Rusmi, namun kini mereka enggan bahkan hanya untuk sekedar melirik dagangannya sekalipun.

Berpuluh tahun sudah bu Rusmi membuka usaha warung. Tak pernah ia mengalami kesulitan sesulit sekarang ini. Para pesaing yang mulai berjejeran bukan suatu penghalang. Sebab ia sudah memiliki banyak pelanggan. Namun entah mengapa beberapa minggu ini warungnya mendadak sepi, tak satu pun pelanggan yang mau mampir. Jika lama-lama seperti ini, bisa-bisa ia bangkrut.

"Ibu kenapa melamun?" sebuah suara mengagetkan bu Rusmi. Laksmi, anak perempuannya yang saat ini masih tinggal bersamanya.

"Enggak, nak. Ibu enggak melamun," balas bu Rusmi berbohong.

"Ibu jangan bohong. Ayo cerita sama Laksmi ada apa?" balas Laksmi. 

Direngkuhnya pundak bu Rusmi.

"Ibu Cuma heran, nak. Kenapa orang-orang sekarang tidak ada yang mau mampir di warung ibu," cerita bu Rusmi.

"Tidak apa-apa bu, mungkin belum rezeki ibu. Lagi pula kan kalau tidak ada yang beli ya biar saja buat stok makan kita," balas Laksmi menyimpulkan tawa kecil, menghibur bu Rusmi.

"Kamu ini bisa saja jawabnya," balas bu Rusmi.

Laksmi semakin erat merangkul ibunya. Lalu menyenderkan kepala ke bahu satu-satunya orang tua yang masih dimilikinya itu.

"Ibu tidak perlu buka warung lagi saja. Ibu kan lihat sekarang banyak sekali yang buka warung. Di depan rumah kita, di samping kanan, kiri, di belakang. Wajar juga kan bu, mungkin giliran rezeki mereka makanya warung ibu sepi," ucap Laksmi.

"Terus kalau ibu tidak buka warung ibu mau ngapain?" tanya bu Rusmi.

"Ibu cukup diam di rumah, Istirahat. Oke?" balas Laksmi tersenyum sembari menatap mata ibunya lekat-lekat.

Laksmi bukan satu-satunya anak bu Rusmi. Ia memiliki tiga orang anak lagi. Semuanya perempuan. Ketiga anaknya sudah menikah, memiliki anak dan memiliki rumah sendiri-sendiri. Hanya Laksmi yang masih sendiri dan tinggal bersamanya. 

Laksmi adalah anak bungsu, usianya 25 tahun. Ia seorang guru di Sekolah Menengah Atas. Suami bu Rusmi meninggal empat tahun silam. Dengan kesederhanaan, bu Rusmi dan suami mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi. 

Bisa dibilang, keempat anaknya telah menjadi orang kini. Tiga anak perempuan yang sudah menikah sudah mampu hidup mapan bersama anak dan suami. Dan Laksmi, meski hanya seorang guru tetapi hidupnya sudah terbilang berkecukupan. Ajaran kehidupan yang bu Rusmi berikan kepada anak-anaknya mampu menjadikan mereka manusia yang terampil dan pandai bersyukur.

"Ibu ingin aku tanyakan ke salah satu dari mereka?" tanya Laksmi ketika tiba-tiba terbersit pula rasa penasaran yang juga dirasakan oleh ibunya.

Bu Rusmi memandang anaknya. Mengerutkan dahi, kemudian mengangguk dengan senyuman.

Tak lama, ketika dilihatnya seseorang melintas di depan warung, Laksmi berhambur mencegat.

"Bu, boleh Laksmi tanya-tanya dulu sebentar?" tanya Laksmi pada seorang wanita bernama Murni.

Diajaknya bu Murni duduk di dipan yang ada di sebelah dalam warung tempat Laksmi tadi berbincang dengan ibunya.

"Tanya apa Laksmi?" tanya bu Murni.

"Maaf kalau Laksmi tidak sopan bu. Laksmi Cuma mau tanya, kenapa sekarang ibu jarang mampir belanja ke sini?" Tanya Laksmi hati-hati.

Bu Murni mengerutkan kening. Seolah pertanyaan Laksmi adalah pertanyaan yang aneh. Bu Rusmi yang memang sedari tadi berada di situ tampak antusias menunggu tanggapan bu Murni.

"Kenapa bu?" tanya Bu Rusmi membuka suara.

"Kalian ini kok lucu. Saya mana mungkin belanja ke tempat yang warungnya kosong melompong begini, toh?" balas bu Murni.

Laksmi dan bu Rusmi terbengong mendengar jawaban bu Murni.

"Kosong? Warung saya penuh sayur dan jajanan loh bu?" tanya bu Rusmi heran.
Bu Murni justru tertawa mendengar jawaban bu Rusmi.

"Aduh bu Rusmi, wong kosong begini kok dibilang banyak sayur dan jajanan," balas bu Murni masih tertawa, menampik ucapan bu Rusmi.

"Maksud ibu, warung ibuku kosong? Tak ada apa-apa sama sekali?" tanya Laksmi bertambah penasaran.

"Ya iya toh. Kalian ini kenapa kok jadi aneh begini," balas bu Murni berbalik terheran dengan yang ditanyakan Laksmi dan bu Rusmi.

"Sudah siang Laksmi, bu Rusmi, saya harus pulang dulu mau masak. Anak-anak sebentar lagi pulang sekolah. Kasihan kalau belum ada makanan," ucap bu Murni kemudian.

Ia bangkit dari duduk  untuk beranjak pulang.

"Terima kasih, bu. Assalamu'alaikum," ucap Laksmi sebelum bu Murni berjalan pulang.

"Wa'alaikumsalam. Saya pamit pulang dulu," balas bu Murni. 

Sementara Laksmi dan bu Rusmi, hanya bengong dengan segala yang barusan mereka dengar. Kosong? Tak ada dagangan? Lalu selama beberapa minggu ini, karena alasan itukah makanya para pelanggan warung ibu tak ada yang mau mampir seorang pun? Laksmi bergidik memikirkan hal itu.

"Rupa-rupanya ada yang nakal," ucap bu Rusmi.

"Ya sudah bu, warung kita tutup saja. Kita masuk. Ibu ingat? Hari ini Kak Arini sama yang lain mau datang bukan? Sudah jam 11, mereka pasti sebentar lagi datang," ucap Laksmi mengalihkan pembicaraan.

Laksmi kemudian menutup warung dan membawa masuk bu Rusmi. Mengajaknya duduk di ruang tamu, menunggu anak-anak, menantu dan cucu-cucunya datang.

"Makanan sudah siap, Laksmi?" tanya bu Rusmi.

"Sudah bu, tenang saja. Tadi Laksmi masak masakan spesial untuk mereka," balas Rusmi tersenyum.

Tak lama, tiga mobil berhenti di depan rumah. Tak biasanya mereka datang berbarengan. Barangkali mereka sengaja janjian. Bu Rusmi membuka pintu lebar-lebar, menyambut anak, menantu serta cucu-cucu kesayangan datang.

"Nenek ...," teriak kelima cucu bu Rusmi berbarengan. 

Mereka berebut pelukan. Dua anak perempuan dari Arini, anak sulung bu Rusmi. Satu anak lelaki dari Dewi anak nomor dua. Serta satu anak lelaki dan satu anak perempuan Rita, anak nomor tiga bu Rusmi.

Di rumah sederhana itu, mereka terbiasa berkumpul. Meski anak-anak bu Rusmi telah bahagia dengan kehidupan keluarga sendiri-sendiri, mereka tidak pernah lupa dengan orang tua yang mereka miliki. 

Setiap ada hari libur mereka datang. Tempat tinggal yang lumayan jauh dari kampung halaman di masa kecil, tak menjadi hambatan untuk mereka setia berkunjung. Sebab ibu mereka adalah ibu luar biasa yang tak akan mungkin pernah mereka lupakan.

Hari ini, bu Rusmi memahami sebuah pelajaran hidup yang luar biasa besar. Bahwa memiliki anak-anak yang berbakti adalah sebenar-benar rezeki dari illahi. Mereka adalah harta terindah.

Kaohsiung, 5 Mei 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun