Aku tidak mengada-ada. Sungguh. Lelaki bernama Rizki itu memang pernah bicara seperti itu padaku. Meski entah lah. Antara yakin dan tak yakin. Sedangkan bertemu saja belum pernah. Apa semudah itu aku harus mempercayainya. Apa dia tampan, jelek, kurus, gendut, aku tidak memikirkan hal itu. Sama sekali tidak. Â Hafidz bilang dia seorang ustadz sekaligus penceramah. Jika yang dikatakan Hafidz benar bahwa dia laki-laki alim, itu saja sudah lebih dari cukup bagiku. Umurku berapa? Tidak ada waktu untuk memilih-milih ukuran fisik. Yang penting ibu bahagia bisa secepatnya memiliki menantu. Itu.
***
Cuaca sangat panas. Tapi aku justru memilih naik bus kelas ekonomi hari ini. Aku mudah bosan. Berganti suasana akan lebih menyenangkan. Berjejal. Hari Senin memang selalu padat penumpang. Untunglah aku mendapat tempat duduk di sisi jendela sebelah kanan.
"Boleh aku duduk di sini?" suara seorang lelaki mengagetkanku yang tengah melamun memandangi suasana kota Bandung dari balik jendela.
"Boleh," balasku cuek.
Lelaki itu tengah menunduk sibuk menyimpan tas gendongnya di bawah jok. Aku kembali mengarahkan pandanganku di luar jendela.
"Hana?"
"Ya," balasku setengah kaget. Kini lelaki itu sudah duduk di sampingku. Lelaki bertubuh agak kurus tinggi dengan wajah bersih.
"Hafidz. Sebenarnya kau tinggal di mana? Aktivitasmu apa? Kalau kau menetap di Bandung kenapa baru sekarang-sekarang ini aku bertemu denganmu lagi?" tanyaku penasaran. Sungguh. Sedangkan aku sudah dari kecil menetap di Bandung. Hafidz? Setahuku sejak lulus SMA dia hilang kabar entah ke mana rimbanya.
"Aku di Bandung. Aku tidak ke mana-mana," balasnya santai. Seperti biasa setiap perkataannya selalu di akhiri senyuman. Menjengkelkan.
"Mana mungkin," balasku lirih. Hampir tak terdengar. Dan entah dia dengar atau tidak.