Dengan bodoh aku memperlihatkan nomor di handphone ku. Lalu dia menyalinnya ke secarik kertas dan menyimpannya entah di mana. Dia memasukkannya ke dalam tas gendongnya. Lalu segera bergegas turun. Kereta memang berhenti beberapa detik yang lalu saat Hafidz sibuk mencatat nomorku. Stasiun Cimindi. Apa dia tinggal di daerah Cimindi? Entahlah.
***
Aku menarik nafas dalam-dalam. Mencoba menghilangkan segala penat yang sering kali mendera. Sudah kucoba atur jadwal sedemikian rupa agar waktuku padat dengan berbagai kesibukan. Namun tetap saja aku harus bertemu rumah. Keinginan untuk kos sendiri tidak memungkinkan. Yang ada ibu malah akan marah besar. Buat apa? Tempat kerja masih bisa dijangkau. Bisa dengan naik angkot, bus, kereta. Pemborosan. Kata-kata seperti itu pasti akan keluar dari mulut ibu. Tapi aku lelah. Ya Allah, bantu aku bersabar mendengar ceramah ibuku mengenai jodoh yang tak kunjung datang.
"Hana, kemarin ibu ketemu teman lama ibu. Dia memiliki anak laki-laki. Duda sih. Apa mau jika nanti ibu berniat menjodohkanmu dengannya?"
Aku kembali menarik nafas dalam-dalam. Bukankah sudah biasa? Tak perlu marah Hana, tak perlu.
"Ibu, aku punya kenalan laki-laki. Dia bilang kalau cocok nanti dia akan melamarku," balasku kemudian.
Rizki. Ya, laki-laki yang Hafidz kenalkan padaku. Beberapa hari ini aku berhubungan dengannya. Meski hanya lewat sms sih. Itu pun jarang. Sangat jarang. Hafidz bilang, dia laki-laki alim. Tidak mau kalau sampai sering-sering berkhalwat dengan yang belum resmi menjadi istri. Dosa.
"Siapa? Apa kau mengenalnya dengan baik?" tanya ibu.
"Insya Allah dia laki-laki yang baik, Bu," balasku pura-pura tahu. Padahal bertemu saja belum pernah.
"Terus kapan dia mau melamar?"
"Insya Allah secepatnya, Bu. Dia bilang kalau memang cocok nanti sekitar dua atau tiga bulan akan ke sini melamarku."