Aku mengerti apa yang diinginkan mereka. Kehidupan di Taiwan bebas. Aku paham betul karena sebelumnya pun ada teman laki-laki yang kukenal waktu SMP yang sekarang bekerja di Taiwan mengajak hal demikian. Memalukan.
"Hanya untuk selingan saja. Tunanganmu loh tidak akan tahu," bujuknya lagi.Â
Sementara laki-laki yang bernama Ihsan itu tengah memandangiku dengan memegang sebuah botol di tangannya. Bir.
"Maaf, aku bukan wanita seperti itu. Sebaiknya kalian batalkan niat kalian. Tidak usah terus merayuku," jawabku memberi pengertian.
"Mau berapa? 20.000 NT? 30.000 NT? atau berapa sebut saja. Ihsan pasti mau kasih berapa pun untukmu."
Dadaku memanas. Nafas pun terengah. Bukan lelah tapi marah. Aku tak menjawab. Langsung berdiri dan mencoba beranjak pergi.
"Mau ke mana?" tanya laki-laki yang bernama Deni itu.Â
Sementara teman Deni yang bernama Ihsan hanya diam. Ia tengah tak sadarkan diri. Mabuk.
"Maaf ya, Mas, sudah hampir Maghrib aku harus pulang," pamitku berusaha menyembunyikan amarah.
"Tunggu dulu. Sebut kau mau berapa. Untuk selingan saja. Tunanganmu tidak akan tahu. Lagi pula nanti kau dapat enak, dapat uang pula," ucap laki-laki itu lagi masih saja merayuku.
"Maaf ya, aku bukan wanita murahan seperti yang Anda pikirkan." Akhirnya aku berhasil meluapkan amarah. Suaraku terdengar sangat keras. Setelah itu, aku langsung bergegas pergi mendorong kakek yang duduk di kursi roda.