Adzan subuh berkumandang. Aku segera membelalakkan mata lalu meraih ponsel. Pukul 03:35. Aku diam sesaat. Melamun. Masih setengah sadar. Satu menit kemudian bangkit bergegas menuju kamar mandi, gosok gigi, wudhu, di lanjut Shalat shubuh. Usai Shalat, aku meraih Al Qur'an di atas meja yang ada di sisi ranjang dan melantunkannya dengan lirih.
Lagi-lagi aku tak sahur. Sudah ketiga kalinya aku terlambat bangun untuk sahur. Sepertinya aktivitas membaca sudah meracuniku. Suara teriakan tak terdengar seperti biasanya. Kakek tidur lelap. Aku berhamdalah. Biasanya aku susah tidur karena berisik.Â
Tiga hari ini kakek tidur nyenyak. Wajar saja jika aku pun bisa ikut tidur nyenyak. Apalagi hampir tiap malam sering lupa waktu. Membaca hingga larut. Padahal Shubuh datang lebih awal karena musim panas. Jika tidak telat bangun aku biasa sahur pukul 02:30.
Sekitar dua tahun lebih yang lalu aku menginjakkan kaki di bumi Formosa. Untuk pertama kalinya memberanikan diri berangkat ke luar negeri. Tanpa bekal pengalaman apa pun sebelumnya. Takut. Tentu saja perasaan itu muncul dalam diriku.Â
Tak ada siapa-siapa di sini. Tak ada sanak keluarga. Aku sendiri berada di tengah-tengah keluarga yang belum kukenal sebelumnya. Dengan suku bangsa yang berbeda, rumpun bahasa yang berbeda. Semua demi keluarga.
Sebelum berangkat aku menjalani proses, belajar bahasa mandarin di sebuah Kantor PTJKI, PT Esdema Mandiri namanya. Sebuah kantor yang terletak di daerah Cimanggis, Depok.Â
Lokasinya dekat dengan lokasi syuting sinetron-sinetron Indonesia, salah satunya sinetron 'Tukang Bubur Naik Haji'. Area kantor sendiri pernah dipergunakan sebagai lokasi syuting FTV yang tayang di SCTV.Â
Aktornya Dimas Aditya waktu itu. Anak-anak berlomba berebut foto dengan artis ganteng tersebut. Tapi tidak denganku. Dulu aku pun sempat mengidolakan Dimas Aditya, tapi anehnya aku sudah tidak tertarik lagi untuk mengidolakan artis.Â
Tidak penting, begitu pikirku. Nabi Muhammad saja tidak diidolakan bagaimana bisa mau mengidolakan artis? Pertanyaan itu sering muncul dalam diriku. Kosong. Entah apa yang kupikirkan.
Pertama kali datang, aku singgah di kota Yilan. Sebuah kota asri yang ada di daerah Taiwan. Terhampar sawah-sawah di setiap sisi jalan, bukit-bukit, pantai menjadikan kota Yilan sebagai kota wisata yang indah. Banyak tempat wisata yang sudah aku kunjungi selama tinggal di Taiwan.Â
Beruntung karena aku memiliki majikan yang sering mengajak jalan-jalan. Aku tidak hanya tinggal di kota Yilan saja. Setiap dua minggu sekali aku harus pindah ke Taipei. Menyenangkan bisa tinggal di dua kota sekaligus. Setidaknya bisa sedikit menghilangkan rasa jenuh.
***
"Kenalkan, ini Ihsan," ucap seorang laki-laki yang duduk di sebelahku.Â
Orang Indonesia. Aku mengenalnya beberapa minggu yang lalu saat aku sedang mengajak kakek yang kujaga ke taman. Setiap pagi dan sore memang sudah tugas rutinku mengajak kakek jalan-jalan. Apartemen tempatku tinggal, dekat dengan sebuah taman yang bersebelahan dengan pasar malam.Â
Sebuah papan bertuliskan 'Luodong Night Market' terpampang di gerbang masuk pasar. Pasar yang cukup besar. Setiap malam selalu ramai. Terutama jika malam minggu datang. Berubah menjadi lautan manusia. Di tamannya pun sering sekali diadakan pertunjukkan-pertunjukan. Seperti misalnya pertunjukkan tarian daerah atau pertunjukkan musik atau yang lainnya.
"Kamu mau pacaran sama Ihsan?" tanya laki-laki itu kemudian.
"Pacaran?"
"Ia. Tenang saja dia masih bujangan. Belum pernah berhubungan sama sekali sebelumnya."
"Maksudnya?"
Aku merasa bingung dengan yang dikatakan laki-laki itu. Pacaran? Bujangan? Tidak pernah berhubungan? Lalu apa peduliku?
"Ihsan butuh teman. Kasihan masih sendiri selama di Taiwan. Baru datang beberapa bulan yang lalu sih," jawabnya.
"Maaf ya aku sudah punya tunangan," balasku mencoba menolak dengan sopan.
Aku mengerti apa yang diinginkan mereka. Kehidupan di Taiwan bebas. Aku paham betul karena sebelumnya pun ada teman laki-laki yang kukenal waktu SMP yang sekarang bekerja di Taiwan mengajak hal demikian. Memalukan.
"Hanya untuk selingan saja. Tunanganmu loh tidak akan tahu," bujuknya lagi.Â
Sementara laki-laki yang bernama Ihsan itu tengah memandangiku dengan memegang sebuah botol di tangannya. Bir.
"Maaf, aku bukan wanita seperti itu. Sebaiknya kalian batalkan niat kalian. Tidak usah terus merayuku," jawabku memberi pengertian.
"Mau berapa? 20.000 NT? 30.000 NT? atau berapa sebut saja. Ihsan pasti mau kasih berapa pun untukmu."
Dadaku memanas. Nafas pun terengah. Bukan lelah tapi marah. Aku tak menjawab. Langsung berdiri dan mencoba beranjak pergi.
"Mau ke mana?" tanya laki-laki yang bernama Deni itu.Â
Sementara teman Deni yang bernama Ihsan hanya diam. Ia tengah tak sadarkan diri. Mabuk.
"Maaf ya, Mas, sudah hampir Maghrib aku harus pulang," pamitku berusaha menyembunyikan amarah.
"Tunggu dulu. Sebut kau mau berapa. Untuk selingan saja. Tunanganmu tidak akan tahu. Lagi pula nanti kau dapat enak, dapat uang pula," ucap laki-laki itu lagi masih saja merayuku.
"Maaf ya, aku bukan wanita murahan seperti yang Anda pikirkan." Akhirnya aku berhasil meluapkan amarah. Suaraku terdengar sangat keras. Setelah itu, aku langsung bergegas pergi mendorong kakek yang duduk di kursi roda.
"Kau mau beli apa? Katakan padaku ...,"
Aku tak menghiraukannya. Aku terus berjalan meninggalkan kedua laki-laki itu. Beginikah pergaulan mereka di negara orang? Tidak lagi! Lebih baik tak banyak teman daripada harus terjerumus dalam pergaulan menyesatkan seperti itu. Apakah mereka tak melihat pakaian dan jilbabku?
Teman-teman wanita yang kadang mengajakku merokok atau minum masih bisa kumaafkan. Yang penting aku tak mengikuti pergaulan mereka itu sudah cukup. Tapi ajakan untuk pergi ke hotel, dibayar tentu sebuah kesalahan besar yang tidak bisa kumaafkan.Â
Sejak saat itu, aku tak pernah sedikit pun memiliki keinginan untuk berteman dengan laki-laki yang tinggal di Taiwan. Setitik nila rusak susu sebelangga. Meski tak semua laki-laki Indonesia yang tinggal di Taiwan berkelakuan seperti itu, tapi aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak sama sekali menghiraukan setiap mereka yang meminta kenalan atau pun sekedar menyapa. Cukup jawab seperlunya. Sudah.
Empat bulan setelah kedatanganku di Taiwan, aku memang meminta untuk memakai jilbab. Entah kekuatan dari mana hingga aku mampu mengungkapkan keinginan itu. Padahal sebelumnya aku pun harus dengan penuh perjuangan saat meminta menjalankan ibadah puasa selama sebulan di bulan Ramadhan.
"Tidak perlu. Nanti saja kalau kau pulang di Indonesia baru memakainya lagi," suara lantang majikan membuatku tertunduk takut. Kusembunyikan air mata yang perlahan mulai menetes.
"Orang Islam itu aneh. Mau-maunya menyiksa diri dengan tidak makan. Mau-maunya tidak makan babi. Mau-maunya memakai pakaian aneh yang membuatnya terlihat jelek."Â
Hinaan demi hinaan terlontarkan. Aku hanya mendengarkan tak membalas sepatah kata pun.
Di kamar aku menangis sejadi-jadinya. Aku mencurahkan isi hati kepada sang Kholik. Berdoa memohon agar dimudahkan segala urusan. Aku menyesali diri. Menyesali keadaanku dulu yang sering lalai mengingat Allah.Â
Bayangan aku tengah malas-malasan saat terdengar lantunan suara adzan. Bayangan aku meninggalkan Shalat tanpa berat. Bayangan aku melepas jilbab seenak jidat. Semuanya berkelebat begitu saja di memoriku.Â
Sementara di sini, di negara dengan penduduk mayoritas penganut Buddha ini, aku harus berjuang mati-matian untuk menjalankan semua itu. Harus rela mendengar cacian yang bertubi-tubi. Bukan hanya sekali dua kali tapi berkali-kali dari orang yang berbeda. Hingga saat ini.Â
Dua tahun lebih keberadaanku di sini. Terkadang, aku masih saja mendapat kritikan dari beberapa orang sebab penampilanku, juga agamaku. Â Tapi banyak pula dari mereka yang memuji dan menghargaiku sebagai Muslim. Termasuk sorang wanita yang kerap kujumpa. Dia selalu memuji penampilanku.
"Ni hen piaoliang."
Kata-kata itu selalu terucap setiap hari dari bibir seorang ibu yang tidur di seberang apartemen tempat tinggalku di Taipei. Ia wanita jalanan yang tak punya tempat tinggal.
*Ni hen piaoliang : Kamu sangat cantik.
Taipei, Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H