"Apa yang dia lakukan terhadapmu?"
Aku terperanjat oleh sebuah suara. Tak sempat menyembunyikan tangis. Suara itu, aku begitu mengenalnya. Tapi mengapa? Mengapa harus aku kembali dipertemukan dengannya? Terlebih dalam keadaan seperti ini.
"Ini bukan urusanmu!" balasku ketus.
Beranjak dari tempat berdiri, kulangkahkan kaki dengan cepat  memasuki sebuah bus yang kebetulan berhenti di hadapan. Tidak butuh waktu satu menit, bus meluncur membawaku menjauh darinya, lelaki bermata tajam yang pernah meruntuhkan hati.
                   ***
Seperti tersayat belati tajam. Hatiku kembali terkoyak. Perih. Harus sesedih inikah hidupku? Setelah gagal dalam sebuah pernikahan, hidupku kian berantakan. Ini salahku, benar. Memilih secepat itu mencari pengganti. Berharap hati mampu terobati. Namun nyatanya, bukan obat yang kudapat melainkan racun yang semakin lama semakin membuat hatiku mati rasa. Seluruh ruang di jiwaku seakan hampa. Aku seperti tak lagi menemukan bahagia. Bertumpuk beban tak jua mereda, yang ada justru semakin bertambah duka.
Aku menatap sayu rinai hujan. Mencoba melebur bersama langit yang tengah kelam, sekelam perasaanku saat ini. Aku butuh teman. Tak mengapa jika itu hanya rerintik hujan. Bersama aroma petrichor, mereka benar-benar mampu memberi damai.
                     ***
"Aku tidak bisa, Raina. Kau harus bisa mendapatkan yang lebih baik dari padaku," ucapnya.
"Kenapa? Kenapa tidak sejak dari awal saja kau mengatakan ini!" balasku.
Dia menunduk. Barangkali, menyetujui apa yang kuucap.
"Maafkan aku," lirihnya.
"Maaf? Semudah itu, heh?"
Sakit. Bagaimana tidak. Hari pernikahan sudah tepat di hadapan, tetapi dia seolah itu hanya sebuah permainan. Berusaha membatalkan dengan alasan yang tak masuk akal. Takut aku menderita? Takut aku tak bahagia? Alasan macam apa itu!
Dadaku berguncang. Tangis yang sengaja kutahan sejak tadi akhirnya pecah. Sementara ia, ia hanya menunduk tak berani menatapku walau sejenak.
"Kau tahu, kau bukan saja menyakitiku, Al!" ucapku menatap dirinya yang masih tertunduk.
"Kau menyakitiku, kau menyakiti keluargaku, kau juga menyakiti keluargamu. Kau tahu itu bukan!"
Aku kian berteriak hebat. Meluapkan segala emosi. Mungkin dengan cara ini, perasaanku akan sedikit melega. Tetapi ia, ia masih tetap bungkam tak mampu memberi balasan.
"Pergi!" usirku dengan suara lantang.
Akhirnya dia memberi tanggapan. Dia menatap mataku, menelan ludah mencoba mengucap sebuah kata.
"Maafkan, aku." Dan lagi, hanya itu kata yang mampu terucap dari bibirnya.
"Pergi!" bentakku lagi.
Aku kemudian menghamburkan tumpukan undangan yang sejak tadi tertata di meja. Tangis semakin pecah, sedang ia masih kokoh berdiri menatapku dengan tatapan bodoh.
Aku masuk ke kamar untuk meninggalkannya. Muak. Muak sekali rasanya harus berlama-lama berada di hadapannya. Lelaki keparat yang dengan begitu tega membuatku sekarat.
                   ***
Aku masih tak beranjak dari tempatku. Duduk di tepian jendela, menatapi rerintik hujan yang tak kunjung reda. Aku menyukainya. Setiap bunyi tetesnya memberi ketenangan.
Aku menutup mata. Sembari menghirup aroma pertichor. Semakin dalam kurasa semakin harum aroma yang tercium.
"Raina."
Sebuah suara memaksaku membuka mata. Suara ibu.
"Ada Al di depan."
Al? Untuk apa dia datang? Aku bangkit dari tempat duduk. Sementara ibu masih mematung di kamar. Kulihat ia menelan ludah. Aku tahu apa yang ada di pikirannya. Pasti sama dengan apa yang ada di pikiranku.
"Dia di depan, Bu?" tanyaku.
"Iya, Nak. Dia menunggu di ruang tamu," balas ibu.
Aku berlalu sebelum ibu keluar dari kamar.
"Ada apa kemari?" tanyaku saat sampai di ruang tamu.
Al sedikit terkejut. Dia bangkit dari tempatnya duduk.
"Aku ingin bicara denganmu, Raina," ucapnya.
"Duduklah," balasku menyuruhnya duduk kembali.
"Kau mau kopi?" tanyaku menawari.
"Tidak perlu," balasnya.
"Apa yang ingin kau tanyakan?" tanyaku.
"Kau tidak bahagia dengan lelaki itu bukan?" tanya Al lancang.
Aku menelan ludah, tak langsung menjawab. Ada sesak yang menghimpit di dada.
"Lalu apa pedulimu?" tanyaku balik.
"Kau tahu aku melepaskanmu untuk sebuah kebahagiaan. Lalu apa artinya jika kenyataannya aku harus melihat kau lebih menderita bersama lelaki lain?"
Mengapa? Mengapa harus dia menyaksikan semuanya? Saat kemarin, saat Adam menamparku di sisi jalan. Saat Adam mempermalukanku di tengah keramaian?
"Kau tidak tahu apa-apa. Aku bahagia dengannya, asal kau tahu itu!" balasku berbohong.
"Kau hanya berpura-pura bahagia, Raina!" balasnya menatap tajam mataku.
"Aku tidak akan membiarkanmu menjalani hidup seperti itu," lanjutnya lagi.
"Kau pikir kau lebih baik darinya, heh? Kau yang membuatku seperti ini. Kau yang sudah membuat hidupku hancur berantakan!" Aku berteriak, pecah bersama tangis yang tak bisa kutahan.
Aku membencinya, aku sangat membencinya. Aku membencimu, Al.
Rasanya, tak kuat lagi aku berhadapan dengannya. Aku mencoba melangkah pergi. Aku tak peduli, sama sekali sudah tidak lagi peduli padanya.
"Raina, maafkan aku," ucapnya menarik lenganku.
Dia menatapku tajam. Mata itu, aku begitu merindukannya. Tapi dia bukan sesiapa. Sudah ada Adam di kehidupanku. Meski, dia pun terlalu sering menyakitiku.
Al merengkuhku. Dia menarik paksa tubuhku ke dalam pelukannya. Apa lagi ini? Kehangatan tubuhnya, sungguh aku begitu merindukannya.
"Menikahlah denganku," ucapnya lirih.
Sementara aku, hanya menatap kosong ruangan. Masih utuh dalam pelukan lelaki yang pernah mematahkanku. Lantas, begitukah cara dia membalas semua kesalahan yang pernah diperbuat terhadapku? Atau dia hanya ingin mematahkan hatiku sekali lagi?
Kaohsiung, 15 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H