Aku kemudian menghamburkan tumpukan undangan yang sejak tadi tertata di meja. Tangis semakin pecah, sedang ia masih kokoh berdiri menatapku dengan tatapan bodoh.
Aku masuk ke kamar untuk meninggalkannya. Muak. Muak sekali rasanya harus berlama-lama berada di hadapannya. Lelaki keparat yang dengan begitu tega membuatku sekarat.
                   ***
Aku masih tak beranjak dari tempatku. Duduk di tepian jendela, menatapi rerintik hujan yang tak kunjung reda. Aku menyukainya. Setiap bunyi tetesnya memberi ketenangan.
Aku menutup mata. Sembari menghirup aroma pertichor. Semakin dalam kurasa semakin harum aroma yang tercium.
"Raina."
Sebuah suara memaksaku membuka mata. Suara ibu.
"Ada Al di depan."
Al? Untuk apa dia datang? Aku bangkit dari tempat duduk. Sementara ibu masih mematung di kamar. Kulihat ia menelan ludah. Aku tahu apa yang ada di pikirannya. Pasti sama dengan apa yang ada di pikiranku.
"Dia di depan, Bu?" tanyaku.
"Iya, Nak. Dia menunggu di ruang tamu," balas ibu.