Mohon tunggu...
Anisa Rahmasari
Anisa Rahmasari Mohon Tunggu... Penerjemah - Penikmat hal klise dan sederhana

Menikmati waktu senggang dengan bermimpi dan menonton serial televisi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Badai di Kepala Kita

9 Februari 2021   16:54 Diperbarui: 10 Februari 2021   04:02 1260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (Photo by Rich Soul on Unsplash)

Saya kerap tertawa pada hujan; mereka merintik dengan sunyi dan membawa dingin seperti hembusan badai basah yang menertawakan geliat kehidupan di bumi. 

Hujan turun dengan pongah dan beku, seakan mereka datang dan mampu menyergap saya tanpa tahu kamu yang sudah duduk di sebelah saya, tertawa cerah dengan setumpuk roti lapis dan kopi susu murah dalam cangkir kertas.

Uap dalam cangkirmu mengepul di udara ketika bahu saya kamu tepuk keras-keras. Saya tak tahu apa saya sudah sempat menoleh. Kamu mulai berceloteh dengan hangat, mengalahkan risau rintik hujan di luar.

“Kita bisa berangkat setelah agak reda,” kamu menyeruput kopi itu, “setelahnya, sampai ketemu nanti malam, ya.”

Mata saya buram, dan akan semakin buram kala leburan rintik hujan di luar jendela terus saya pandangi. 

Saya belum kuat untuk menoleh dan memandangimu penuh dengan segala perhatian; saya tidak suka dengan fakta kalau saya harus melihat wajah segarmu di pagi ini, dengan bibir tipis dan mata bersinar, untuk kembali membandingkannya dengan apa yang akan saya lihat nanti malam.

“Jangan terlalu malam. Saya akan jemput kamu sebelum pukul sepuluh.”—sebelum saya harus menyambut mata cekung dan napas hangatmu di muka rumah saya. 

Sebelum saya harus membentangkan selimut untuk punggungmu yang melengkung karena kamu akan rubuh di meja dengan buku terbuka; kembali berdusta bisa menyelesaikan semuanya, kembali memperpanjang rentang penyelesaian proyek kita.

Petir menggelegar di langit dan saya merasakan kamu tersentak kecil.

Sepertinya kamu peka akan hal itu—hal-hal kecil itu, tentang saya yang khawatir dengan banyak hal tentang keselamatan dan kewarasan kamu. 

Saya mendengar kamu terkekeh dalam kunyahan roti, dalam gelegar petir, seakan semuanya  hanyalah angin lalu; seakan kekhawatiran saya adalah sesuatu yang bisa kamu letakkan di belakang kepala dan lupakan. 

Perasaan marah menggelegak di benak saya. Saya memutuskan menoleh dan mengacuhkan hujan, membuat mata saya tertuju pada wajahmu yang menyamping.

Cantik, tapi ... 

“Saya serius,”

Kamu malah tersenyum makin lebar selagi masih mengunyah. Saya tidak mengerti dari mana yang lucu perihal pemikiran seseorang dalam memforsir dirinya sendiri; bahwa kerja penuh waktumu adalah gurauan, bahwa kerja di hari liburmu adalah sesuatu yang sepele, bahwa memberi makan 3 adik perempuan adalah sepenuhnya beban yang hanya bisa kamu tanggung seorang diri, di saat kamu bahkan belum punya secuil waktu senggang untuk memperbaiki dirimu sendiri.

“Aku juga serius,” Senyumanmu belum pudar, namun hati saya mengerang. “Malam ini stock opname-nya selesai. Aku pastikan akan pulang tepat waktu. Proyek kita akan selesai dengan baik.”

Rintik hujan makin menggila, deras, dan tak kenal ampun. Saya tidak bisa menyergah pandangan saya walau desisan mereka memanggil saya untuk memandang jauh ke luar jendela dan mulai berhenti mengasihani kamu. Saya membungkam. 

Putaran perasaan getir membumbung di atas mulut saya dengan amat menyesakkan, dan makin menyesakkan ketika bungkus roti lain kamu haturkan ke atas lutut saya.

Saya menunduk. Mungkin saya akan menerimanya; membuka bungkusnya di depanmu, mengunyahnya dengan berat dan kehausan. 

Tumpukan roti kasar itu akan tertampung di lambung saya bersama sepiring menu sarapan lengkap yang telah saya telan sejam yang lalu di atas meja makan yang membara oleh amarah pagi ayah.

Saya meremas roti itu seolah semua sarapan saya bisa terperas hilang. 

“Roti isi keju gula, tidak cocok dengan perut orang kaya, eh?”

Mata saya belum mampu melepasmu; belum mau menoleh keluar. Mata saya belum mampu berhenti memandang wajahmu yang berbinar seolah ikut tertawa bersama olokan yang kamu utarakan.

Bibir saya ikut tersenyum, “Saya makan.”

Sebelum roti itu benar-benar terpotong, sebelum kunyahannya mendarat di perut, saya hanya tahu ada hangat yang menggenggam jemari saya. Hangat yang menyebar dari genggamanmu hingga saya sadar saya sangat kedinginan. 

Ada banyak waktu di mana saya menahan untuk tidak menggengam jarimu yang kurus sepanjang perjalanan di dalam mobil--kala kamu kelelahan dan sayu sepulang shift malammu; atau ketika kamu berdiri di sisi pintu ruang administrasi kampus dengan kaki yang bimbang, menunggu panggilan pengurusan biaya bulanan. 

Saya rasa kamu juga kedinginan, kala itu, dan saya yang meragu adalah saya yang tidak mampu membagi hangat saya padamu.

Genggaman tanganmu tak berubah, tak bergerak, dan tak pernah ragu. Jejari saya melengkung demi membalas rengkuhan yang sama, sesekali sembari mengelus kulit tanganmu perlahan seolah ketakutan kamu akan menjauhkannya.

Dinginnya dunia belum memberi ampunan. Hujan di luar belum mereda. Kelas dimulai tiga puluh menit lagi, namun yang saya lakukan adalah menikmati hangatnya genggaman tanganmu seolah dunia yang beku bukanlah apa-apa.

“I’m thinking only of my illness and my health, though both, the first as well as the second, are you.”
― Franz Kafka - Letters to Milena

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun