Saya kerap tertawa pada hujan; mereka merintik dengan sunyi dan membawa dingin seperti hembusan badai basah yang menertawakan geliat kehidupan di bumi.
Hujan turun dengan pongah dan beku, seakan mereka datang dan mampu menyergap saya tanpa tahu kamu yang sudah duduk di sebelah saya, tertawa cerah dengan setumpuk roti lapis dan kopi susu murah dalam cangkir kertas.
Uap dalam cangkirmu mengepul di udara ketika bahu saya kamu tepuk keras-keras. Saya tak tahu apa saya sudah sempat menoleh. Kamu mulai berceloteh dengan hangat, mengalahkan risau rintik hujan di luar.
“Kita bisa berangkat setelah agak reda,” kamu menyeruput kopi itu, “setelahnya, sampai ketemu nanti malam, ya.”
Mata saya buram, dan akan semakin buram kala leburan rintik hujan di luar jendela terus saya pandangi.
Saya belum kuat untuk menoleh dan memandangimu penuh dengan segala perhatian; saya tidak suka dengan fakta kalau saya harus melihat wajah segarmu di pagi ini, dengan bibir tipis dan mata bersinar, untuk kembali membandingkannya dengan apa yang akan saya lihat nanti malam.
“Jangan terlalu malam. Saya akan jemput kamu sebelum pukul sepuluh.”—sebelum saya harus menyambut mata cekung dan napas hangatmu di muka rumah saya.
Sebelum saya harus membentangkan selimut untuk punggungmu yang melengkung karena kamu akan rubuh di meja dengan buku terbuka; kembali berdusta bisa menyelesaikan semuanya, kembali memperpanjang rentang penyelesaian proyek kita.
Petir menggelegar di langit dan saya merasakan kamu tersentak kecil.
Sepertinya kamu peka akan hal itu—hal-hal kecil itu, tentang saya yang khawatir dengan banyak hal tentang keselamatan dan kewarasan kamu.