Saya mendengar kamu terkekeh dalam kunyahan roti, dalam gelegar petir, seakan semuanya hanyalah angin lalu; seakan kekhawatiran saya adalah sesuatu yang bisa kamu letakkan di belakang kepala dan lupakan.
Perasaan marah menggelegak di benak saya. Saya memutuskan menoleh dan mengacuhkan hujan, membuat mata saya tertuju pada wajahmu yang menyamping.
Cantik, tapi ...
“Saya serius,”
Kamu malah tersenyum makin lebar selagi masih mengunyah. Saya tidak mengerti dari mana yang lucu perihal pemikiran seseorang dalam memforsir dirinya sendiri; bahwa kerja penuh waktumu adalah gurauan, bahwa kerja di hari liburmu adalah sesuatu yang sepele, bahwa memberi makan 3 adik perempuan adalah sepenuhnya beban yang hanya bisa kamu tanggung seorang diri, di saat kamu bahkan belum punya secuil waktu senggang untuk memperbaiki dirimu sendiri.
“Aku juga serius,” Senyumanmu belum pudar, namun hati saya mengerang. “Malam ini stock opname-nya selesai. Aku pastikan akan pulang tepat waktu. Proyek kita akan selesai dengan baik.”
Rintik hujan makin menggila, deras, dan tak kenal ampun. Saya tidak bisa menyergah pandangan saya walau desisan mereka memanggil saya untuk memandang jauh ke luar jendela dan mulai berhenti mengasihani kamu. Saya membungkam.
Putaran perasaan getir membumbung di atas mulut saya dengan amat menyesakkan, dan makin menyesakkan ketika bungkus roti lain kamu haturkan ke atas lutut saya.
Saya menunduk. Mungkin saya akan menerimanya; membuka bungkusnya di depanmu, mengunyahnya dengan berat dan kehausan.
Tumpukan roti kasar itu akan tertampung di lambung saya bersama sepiring menu sarapan lengkap yang telah saya telan sejam yang lalu di atas meja makan yang membara oleh amarah pagi ayah.
Saya meremas roti itu seolah semua sarapan saya bisa terperas hilang.