“Roti isi keju gula, tidak cocok dengan perut orang kaya, eh?”
Mata saya belum mampu melepasmu; belum mau menoleh keluar. Mata saya belum mampu berhenti memandang wajahmu yang berbinar seolah ikut tertawa bersama olokan yang kamu utarakan.
Bibir saya ikut tersenyum, “Saya makan.”
Sebelum roti itu benar-benar terpotong, sebelum kunyahannya mendarat di perut, saya hanya tahu ada hangat yang menggenggam jemari saya. Hangat yang menyebar dari genggamanmu hingga saya sadar saya sangat kedinginan.
Ada banyak waktu di mana saya menahan untuk tidak menggengam jarimu yang kurus sepanjang perjalanan di dalam mobil--kala kamu kelelahan dan sayu sepulang shift malammu; atau ketika kamu berdiri di sisi pintu ruang administrasi kampus dengan kaki yang bimbang, menunggu panggilan pengurusan biaya bulanan.
Saya rasa kamu juga kedinginan, kala itu, dan saya yang meragu adalah saya yang tidak mampu membagi hangat saya padamu.
Genggaman tanganmu tak berubah, tak bergerak, dan tak pernah ragu. Jejari saya melengkung demi membalas rengkuhan yang sama, sesekali sembari mengelus kulit tanganmu perlahan seolah ketakutan kamu akan menjauhkannya.
Dinginnya dunia belum memberi ampunan. Hujan di luar belum mereda. Kelas dimulai tiga puluh menit lagi, namun yang saya lakukan adalah menikmati hangatnya genggaman tanganmu seolah dunia yang beku bukanlah apa-apa.
“I’m thinking only of my illness and my health, though both, the first as well as the second, are you.”
― Franz Kafka - Letters to Milena
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H