Seorang anak perempuan dengan rambut kusut terikat asal menjadi satu sedikit terayun karena tubuhnya terus melangkah mundur. Dengan radius tidak lebih dari lima meter dihadapannya, seorang pria dan wanita dewasa sedang bertengkar dengan hebat. Saling memaki, berkata kasar, serta saling pukul.Â
Membuat gadis itu terus melangkah mundur ke sudut ruangan. Berharap bahwa telinganya tak lagi mampu mendengar. Berharap bahwa penglihatannya tidak lagi dapat melihat. Hari ini, gadis itu terlalu membenci dunia. Ingin rasanya gadis itu mencaci dan berkata kasar pada takdirnya hari ini. Keheningan, dan ketenangan sangat ia butuhkan. Menjauh dari hiruk pikuk pertengkaran.
Netra gadis itu terpejam rapat saat kakinya tidak lagi mampu melangkah. Tubuhnya tertahan oleh dinding besar rumahnya. Memaksa gadis itu untuk tetap berada pada suasana mengerikan di ruangan itu. Boneka kelinci usang yang sedari tadi ia dekap tak lagi mampu menenangkan hatinya. Semua amarah dan kecewa seolah menyerang dan mengepung. Tidak mengijinkan sedikitpun gadis itu untuk pergi.
Brak!
Entah pukulan atau bantingan yang gadis itu dengar kali ini. Netra itu semakin ia rapatkan. Enggan melihat kekacauan yang pastinya bertambah buruk saat ini.
"Cukup! Dengan perlakuan kasar ini, saya tidak ingin lagi mengenal kamu! Saya ingin berpisah dengan kamu!" Kata demi katanya semakin meninggi. Juga dengan napas yang mulai tersegal. Menandakan bahwa wanita dewasa itu tidak lagi dapat mengontrol emosinya.
"Baik, sekarang pergi kamu dari sini!" Tunjukkan tangan ke arah pintu keluar itu membuat wanita dewasa dengan mata sembab semakin yakin bahwa keputusannya benar.
Wanita itu menatap gadis berparas manis di sudut ruangan. Sama seperti dirinya, gadis mungil itu juga bermata sembab. Menandakan bahwa ada rasa yang sama di sana. Walaupun tanpa kata, ekspresi gadis itu bisa menunjukkan dengan sempurna bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.
"Mama, jangan pergi." Gadis mungil itu berlari. Memeluk erat kaki wanita dewasa yang ia panggil 'Mama'. Menjatuhkan boneka kelinci usang yang sedari tadi menemaninya.
"Sayang, maaf. Mama harus pergi. Kamu di sini jagain papa. Jangan nakal. Mama janji kalau kamu sudah besar, mama akan sering kirim surat untuk kamu."Â
Kecupan hangat mendarat tepat di kening gadis mungil itu. Dengan air mata yang masih mengalir, wanita dewasa itu memberikan senyuman kepada anaknya. Menunjukkan bahwa wanita dewasa itu kuat. Tidak serapuh penampilannya saat ini. Gadis mungil itu berharap bahwa ia segera bangun dari mimpi buruknya. Kembali dengan kebahagiaan di dunia nyata. Kembali dengan keluarga hangatnya.
"Mama!"
Panggilan itu terdengar melengking. Sayang itu hanya sebatas angin yang menggiring hening. Tidak ada jawaban yang gadis itu dengar. Wanita dewasa itu tetap melangkah pergi. Meninggalkan gadis kecil dengan perasaan yang entah bagaimana menceritakannya. Tanpa sebuah kalimat 'selamat tinggal', wanita itu melangkah menjauh. Di hari itu juga, gadis mungil bernama Asya melihat wanita yang ia panggil 'Mama' untuk yang terakhir kalinya.
November 2007
***
Kejadian hitam dengan segudang bindam itu seolah menghantam. Hidupnya karam di dasar lautan. Belum lagi Tuan Darma ayahnya. Sosok yang Asya kenal baik itu tidak lagi sebaik namanya. Lengkung indah yang memancar sinar bahagia seolah sirna. Berganti dengan benci dan amarah. Kejadian demi kejadian itu membuat Asya pergi dari kediaman Tuan Darma. Hidup sederhana dengan neneknya. Dengan sebuah kisah yang membuatnya lupa akan trauma.
Bagaimana selanjutnya ? Sebuah mimpi buruk kembali menguliti. Kala sebuah fakta mengerikan kembali menikam. Fakta yang sampai saat ini enggan ia dengar. Fakta yang membuatnya semakin benci pada dunia dan takdirnya. Fakta jika wanita dewasa yang ia panggil 'Mama', telah pergi jauh meninggalkannya. Membuat sang nenek harus bekerja lebih keras untuk mengembalikan lengkung manis bibirnya.
Detik berganti menit, menit berganti jam. Waktu telah membawa gadis mungil itu beranjak remaja. Namun, ada satu hal dari sana yang tidak pernah berubah dari Asya. Ia tidak pernah melupakan sosok Mama dan janjinya. Itu tidak masalah. Setidaknya, kerja keras sang nenek membuahkan hasil. Asya, gadis dengan paras cantik dan berperilaku selayaknya remaja pada umumnya. Asya adalah murid biasa. Memiliki pemikiran yang luas. Saking luasnya, hanya dia yang mengerti.
Asya bilang, ada dua orang yang mengerti pemikirannya. Dia sendiri, dan seseorang yang tidak ada satupun yang tau. Kecuali Asya tentunya.
Suasana istirahat yang ramai membuat Asya ingin melebur di sana. Mata bening Asya berkelana dibalik jendela. Mengamati remaja-remaja seusianya yang sedang bercengkerama. Tangan mungilnya bergerak. Meraba lubang kecil dibawah mejanya. Tepat saat ia menarik buku tulis dari lubang itu, ada sesuatu yang jatuh dari sana. Sebuah amplop coklat dengan tulisan di sudut kiri atas amplop.
Untuk: ASYA
Dengan segera gadis itu membuka isi amplop yang sudah jelas untuknya. Kerutan di dahinya menunjukkan dengan jelas tentang kebingungan. Darimana asal surat ini ?
'Perasaan yang terlupakan'
Alis gadis itu bertaut sempurna. Apa maksudnya ? Ada teka-teki disini. Atau, hanya sebuah surat iseng dari teman-temannya ?
"Siapa, yang menaruh surat ini?" Lengking suara Asya berkelana. Membuat tatap mata teman kelas mengarah padanya.
"Siapa?" Suara itu kembali terdengar kala tidak ada balasan dari temannya. Hanya tatapan heran dan jengah dari teman satu kelasnya yang ia dapatkan. Apa maksudnya ini? Asya meremat  kertas itu . Menyimpannya pada saku rok abu-abu yang ia kenakan. Dengusan dan gerutuan terdengar halus keluar dari bibir Asya.
***
Saat bel pulang berkumandang, Asya tidak langsung pulang menuju rumahnya. Hari ini, ia ingin pergi ke perpustakaan kota. Ada buku yang harus ia pinjam . Entahlah. Minggu-minggu ini tugas begitu menumpuk. Tidak ada waktu untuknya beristirahat.
Kumpulan buku sejarah di barisan rak paling belakang. Membuatnya harus berjalan menyusuri rak yang berbaris rapih dihadapan. Hingga langkahnya terhenti pada sebuah amplop yang menjorok ke depan di antara buku-buku barisan. Amplop yang sama persis seperti yang ia temukan di laci tadi siang.
Untuk: ASYA
Lagi. Tulisan itu persis seperti apa yang ia lihat tadi. Segera ia menarik dan membuka isi amplop itu.
'Matahari hanya terbit setelah malam'
"Apa lagi ini?" Asya mengusap wajahnya gemas. Ada yang tidak beres ini. Iseng? Niat sekali sampai harus mengikutinya ke perpustakaan kota.
Asya mencoba menanyakannya kepada petugas perpustakaan tentang surat itu. Namun nihil. Tidak ada jawaban  yang memuaskan dari petugas. Bahkan, petugas itu bersih kukuh bahwa lembaran itu milik Asya. Bukan milik orang lain yang sengaja ditinggalkan.
Asya merogoh saku roknya. Mengambil rematan kertas yang belum sempat ia buang. Membuka kembali rematan surat misterius itu. Melipatnya menjadi satu dengan surat yang baru saja ia dapatkan. Asya mengurungkan niatan membuang kertas-kertas itu. Membawanya pulang dengan segudang penasaran.
***
Gadis itu kembali dengan wajah lelahnya. Entah kenapa petugas perpustakaan pelit hari ini. Buku-buku untuk hari ini tidak boleh dibawa pulang. Dengan alasan buku itu baru datang dan belum masuk daftar. Membuat Asya harus menghabiskan waktunya di sana. Menyelesaikan tugas yang esok hari harus berada di meja ruang guru.
"Ya Tuhan! Nenek!" Pekik Asya dengan langkah kaki sedikit mundur menjauhi sang Nenek. Baru saja ia membuka pintu rumah, ia sudah dikejutkan dengan wajah yang di pasang datar oleh neneknya. "Nenek, jangan membuat Asya terkejut."
Nenek hanya menghendikkan bahunya acuh. Tidak menghiraukan protes Asya atas dirinya. "Sya, ada surat di depan pintu kamarmu."
"Untuk, Asya?"
"Tidak tau. Tidak ada keterangan untuk siapa. Suratnya nenek letakkan di atas laci di depan kamarmu."
Asya berjalan menuju laci yang dimaksud neneknya. Ada rasa penasaran sekaligus heran di sana. Segera ia menarik kertas dari dalam amplop yang lagi-lagi sama seperti yang ia temukan di laci sekolah, dan rak perpustakaan.
'Punahnya semangat raja hutan hanya karena seekor elang.'
Januari 2017
Apa maksudnya? Gadis itu mengambil dua surat di saku roknya. Menatap lembaran demi lembaran di atas laci itu. Semua kalimat itu tidak saling berkaitan. Apa maksudnya? Gadis itu bergeming untuk beberapa saat. Mencerna setiap kata yang terangkai di setiap lembaran surat mesterius.
Tunggu.
Mata gadis itu memicing. Ada yang janggal dari tulisan disetiap surat itu. Ada huruf yang digaris bawahi.
Pertama 'Perasaan yang terlupakan'
Kedua 'Matahari hanya terbit setelah malam'
Ketiga 'Punahnya semangat raja hutan hanya karena seekor elang'
"Jika disambung, 'Sayang, Mama, Pulang.'" Asya terdiam sejenak. Netranya mengerjap untuk beberapa saat. Apa benar? Apa benar ibunya kembali? "Nek! Nenek!" Teriak Asya sembari membawa tiga lembar surat itu. Wajahnya berbinar. Bahagia merasuki tubuhnya. Lelah yang tadinya mengepung seolah terbang bersama wulung. Digantikan dengan lengkung manis di wajahnya.
"Ada apa, Saya?"
"Nek, lihat ini. Mama pulang. Mama kirim surat untuk Asya." Asya berteriak senang sembari memeluk dan menunjukkan surat itu kepada neneknya. Membuat raut wajah nenek berubah seketika.
Nenek mengambil lembaran-lembaran yang sudah sedikit tak berentuk dan membacanya. Wajah wanita berumur itu sulit untuk diartikan. Ada yang harus beliau sampaikan. Tentang sebuah rahasia dan fakta yang harus tersampaikan. Tentang sebuah kenyataan yang harus ditunjukkan. Namun, bagaimana beliau menyampaikan? Sementara, beliau tidak ingin merusak kebahagiaan cucunya saat ini. Jiwanya bertarung. Memilih antara menyampaikan atau membiarkan. Lagi-lagi, nenek menarik napasnya dalam.
"Asya, mau janji sama nenek?" Nenek memegang erat kedua bahu Asya menguatkan. Dengan netra yang menatap cucunya lekat-lekat.
"Janji apa, Nek?" Kening Asya berkerut heran. Menatap neneknya yang berwajah serius. Sangat berbeda dengannya yang memancarkan sinar bahagia.
"Tolong janji sama nenek. Berhenti mencari mamamu. Mamamu tidak kan pernah kembali lagi. Kembalipun itu mustahil."
Hening diantara mereka. Tarikan napas dalam nenek terdengar jelas. Menggambarkan bahwa wanita tua itu sudah lelah dengan sikap cucunya.
"Janji sama nenek. Berhenti berkhayal, dan berhenti menulis surat yang kamu tunjukkan untuk dirimu sendiri. Nenek mohon, Asya." Ini bukan kejadian pertama bagi mereka. Trauma yang membuat asya bertindak seperti ini.
Asya menatap neneknya dalam. Ceria itu hilang. Bersamaan dengan tawa yang memudar. Asya tertegun sejenak. Memikirkan setiap kata yang kini berputar memenuhi otaknya. Tepat seperti tangan besar yang menampar, ucapan itu tepat mengenai sasaran. "Aku, melakukannya lagi, Nek?" suara itu terdengar melemah. Menyusup memasuki indra pendengaran nenek. " Mama, tidak akan pernah kembali?"
"Lupakan mama. Masa depanmu masih panjang. Jangan  habiskan masa hidupmu untuk memikirkan seseorang yang tidak akan pernah kembali. Mamamu sudah tenang di sisi Tuhan." Tak banyak yang bisa dilakukan nenek. Beliau hanya mengusap pundak Asya menguatkan. Beliau tau kali ini Asya akan kembali rapuh. Namun, membiarkan Asya bahagia dengan imajinasinya akan menambah buruk keadaan. Biarkan Asya rapuh. Biarkan Asya menangis. Biarkan Asya marah. Biarkan Asya membenci takdirnya. Setidaknya untuk beberapa saat. Bukan untuk selamanya.
Gadis itu sudah bergetar dengan suara isakan. Surat-surat yang tadinya ia genggam kini berjatuhan. Seperti daun yang terlepas dari pohonnya. Dentuman guntur seolah membaur. Belum lagi air langit yang juga ikut turun. Menemani Asya menangis dengan ceritanya.
Malam ini, tepat menginjak sepuluh tahun ia berharap bahwa ibunya akan kembali. Malam dimana semua imajinasinya hancur begitu saja. Trauma itu menyiksanya.
***SELESAI***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H