Asya mencoba menanyakannya kepada petugas perpustakaan tentang surat itu. Namun nihil. Tidak ada jawaban  yang memuaskan dari petugas. Bahkan, petugas itu bersih kukuh bahwa lembaran itu milik Asya. Bukan milik orang lain yang sengaja ditinggalkan.
Asya merogoh saku roknya. Mengambil rematan kertas yang belum sempat ia buang. Membuka kembali rematan surat misterius itu. Melipatnya menjadi satu dengan surat yang baru saja ia dapatkan. Asya mengurungkan niatan membuang kertas-kertas itu. Membawanya pulang dengan segudang penasaran.
***
Gadis itu kembali dengan wajah lelahnya. Entah kenapa petugas perpustakaan pelit hari ini. Buku-buku untuk hari ini tidak boleh dibawa pulang. Dengan alasan buku itu baru datang dan belum masuk daftar. Membuat Asya harus menghabiskan waktunya di sana. Menyelesaikan tugas yang esok hari harus berada di meja ruang guru.
"Ya Tuhan! Nenek!" Pekik Asya dengan langkah kaki sedikit mundur menjauhi sang Nenek. Baru saja ia membuka pintu rumah, ia sudah dikejutkan dengan wajah yang di pasang datar oleh neneknya. "Nenek, jangan membuat Asya terkejut."
Nenek hanya menghendikkan bahunya acuh. Tidak menghiraukan protes Asya atas dirinya. "Sya, ada surat di depan pintu kamarmu."
"Untuk, Asya?"
"Tidak tau. Tidak ada keterangan untuk siapa. Suratnya nenek letakkan di atas laci di depan kamarmu."
Asya berjalan menuju laci yang dimaksud neneknya. Ada rasa penasaran sekaligus heran di sana. Segera ia menarik kertas dari dalam amplop yang lagi-lagi sama seperti yang ia temukan di laci sekolah, dan rak perpustakaan.
'Punahnya semangat raja hutan hanya karena seekor elang.'
Januari 2017