Bebatuan, ilalang, hamparan rumput, ceruk, suara jatuhnya air adalah hal yang paling dirindukan Mbak Day untuk selalu berlama di Dam Licin. Dari terbit fajar hingga tenggelam mentari, untuk sempurna menikmati sering Mbak Day menginap di rumah bu carik demi berburu matahari terbit.
Nyaman yang tiada tara. Makan, minum, menulis berita yang dikirim reporter bisa dilakukan dari tempat itu. Ditemani Shadeeq yang suka memancing ikan, lalu membakar dan menyantap berdua, menyenangkan. Bekerja sekaligus merasakan keindahan, Dam Licin dan Shadeeq, dua hal yang selalu dirindukan.
Tapi menikah? Hal yang sedikitpun tak berani dibayangkan, apalagi dengan bujang yang terpaut hanya 7 tahunan dari sulung jagoan anaknya.
"Ayolah, kita ke pak Modin ya."
Mbak Day masih terpana, tak tahu harus menjawab apa. Bayangan pelaminan, ranjang pengantin yang tlah dilupakan,  kenikmatan, cibiran orang, amarah anak  silih berganti muncul menjadi pertimbangan.
Shadeeq meraih pundak mbak Day, meletakkan kepala mungil itu di pundaknya, sejenak rasa nyaman menjalari relung mbak Day. Perlakuan Shadeeq tak terduga, baru sekali ini setelah ratusan hari dilalui.
Dentam batin dan otak sambung menyambung. "Menikah atau tidak ya?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H