Shadeeq mengutarakan niat menikahi janda yang usianya lebih tua 20 tahun darinya, perempuan yang sering ditemuinya sendiri duduk diantara bebatuan padas sungai  Dam Licin.
Langit belumlah gelap saatTanpa basa basi, langsung mengatakan pada janda mungil yang lama dikenalnya sebagai orang yang suka duduk di sungai itu.
" Ayok ke Pak Modin," percaya diri nada suaranya memantul.
"Untuk apa?" tanya si wanita terperangah, mendapati Sadeeq yang sekonyong-konyong duduk di sampingnya.
"Ya nikah."
Perempuan  itu masih bingung, dalam kenikmatan menatap air jatuh dari dinding bebatuan. Pemandangan yang mampu menumbuhkan relaksasi setelah seharian terbelenggu pekerjaan menatap gawai, menulis liputan.
"Aduh, kok nikah?"
"Iya, aku mau nikahi kamu."
"Tapi kenapa nikah?"
"Supaya aku bisa mendampingimu terus, memelukmu, melakukan banyak hal bersamamu, tidak kamu tinggal-tinggal lagi."
"Jangan bercanda, aku serius."
" Aku dua rius," mata Shadeeq membola, menatap tajam perempuan yang masih tak percaya pada ajakannya menikah.
Tidak ada yang istimewa dalam hubungan keduanya selama satu tahun ini. Perempuan yang biasa dipanggil Mbak Day oleh Shadeeq itu dikenalnya karena Dam Licin, sungai elok dengan banyak air terjun mini yang sempat viral sebelum pandemi. Perempuan yang oleh Kadesnya diminta datang menulis Dam Licin sebagai bahan liputan.
Kemudian, dia menjadi akrab dengan tubuh Mbak Day, selalu terpesona dengan setiap yang keluar dari bibirnya. Membelai telinga, memaku pandangan untuk hanya fokus pada tempat keluarnya kalimat. Ingin melumat, menumbuhkan hasrat.
Hah, tidak ada jalan lain kecuali harus menikahinya. Mbak Day telah memenuhi otak sepanjang hirupan napas Shadeeq. Bangun tidur, mandi, makan, main bola, hingga bermimpipun Mbak Day membayang di mata. Menumbuhkan ingin sangat menjadi lelaki seutuhnya. Sesuatu yang tak pernah muncul selama 29 tahun umur dilalui, menjalani kehidupan.
Ditembak bujang, Mbak Day kelimpungan riang, ini menyenangkan tentu. Bukan suami orang, bukan duda beranak seperti yang biasanya meminang. Minim resiko, paling hanya cibiran orang mempertanyakan ketimpangan usia. Diterima atau tidak, mbak Day belum bisa memutuskan.
Baginya, Shadeeq itu pemuda asik. Rela menjadi pemandu setia  menuntaskan segala keinginan mengetahui seluk beluk Dam Licin. Bukan hanya sungai pun keadaan penduduk yang mendiami sekitar  lokasi. Menjadikan liputannya terasa eksklusif.
Jatuh cinta pada Dam Licin itu betul, tapi pada Shadeeq? Mbak Day masih tak habis pikir. Selama ini dia hanya membalas saja kalau mendapat segombal kata, menganggap bercanda.
" Besok antar aku keliling Dam Licin ya, kamu ada acarakah?"
" Siap, ada acara sebetulnya latihan sepak bola sama anak kampung, tapi akan kubatalkan demi Mbak seorang."
"Aih manisnya, tapi ya jangan dibatalkan. Gak enak sama kawan-kawanmu nanti."
"Tak apa mbak, bersama mereka bisa sewaktu-waktu. Berdua sama mbak selalu kutunggu, biar mereka tak mengganggu kita, malah bagus kan?"
Celoteh Shadeeq membuat mbak Day mengulum senyum. Dia memang berbeda, pandai menyenangkan hati, merasa sangat berharga bila pemuda jangkung itu mendampingi.
Bebatuan, ilalang, hamparan rumput, ceruk, suara jatuhnya air adalah hal yang paling dirindukan Mbak Day untuk selalu berlama di Dam Licin. Dari terbit fajar hingga tenggelam mentari, untuk sempurna menikmati sering Mbak Day menginap di rumah bu carik demi berburu matahari terbit.
Nyaman yang tiada tara. Makan, minum, menulis berita yang dikirim reporter bisa dilakukan dari tempat itu. Ditemani Shadeeq yang suka memancing ikan, lalu membakar dan menyantap berdua, menyenangkan. Bekerja sekaligus merasakan keindahan, Dam Licin dan Shadeeq, dua hal yang selalu dirindukan.
Tapi menikah? Hal yang sedikitpun tak berani dibayangkan, apalagi dengan bujang yang terpaut hanya 7 tahunan dari sulung jagoan anaknya.
"Ayolah, kita ke pak Modin ya."
Mbak Day masih terpana, tak tahu harus menjawab apa. Bayangan pelaminan, ranjang pengantin yang tlah dilupakan,  kenikmatan, cibiran orang, amarah anak  silih berganti muncul menjadi pertimbangan.
Shadeeq meraih pundak mbak Day, meletakkan kepala mungil itu di pundaknya, sejenak rasa nyaman menjalari relung mbak Day. Perlakuan Shadeeq tak terduga, baru sekali ini setelah ratusan hari dilalui.
Dentam batin dan otak sambung menyambung. "Menikah atau tidak ya?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H