" Aku bukan lonte! Jhon tolong jangan bersikap seperti ini."
Kesadaranku pulih beberapa saat, menepis dengus dan sapuan jemari John yang mulai nakal.
"Kalau lonte, tak mungkin aku datang ke negerimu. I fall in love with you. Sudah berapa kali kukatakan itu."
Segera bangkit dari posisi duduk di atas kasur. Itu yang kulakukan agar jauh dari badan kekar John.
Tapi tangan John yang panjang bisa meraih pergelangan tanganku ketika sudah posisi berdiri. Persis adegan film india dengan kali ini nyata tanpa nyanyian atau tarian.
Sedikit hentakan aku telah terbujur rebah mlumah. John yang mukanya tepat di hadapan menatap dalam.
"I come to you honey, please don't reject me."
"It's forbidden for us. Please don't do it."
"Why? We love each other right?"
Situasi yang sulit. Sukurlah, isak tangisku diiringi deraian air mata yang makin deras mampu menghentikan pergerakan John. Segera aku meloncat. Merapikan hijab dan pakaian. Tidak ada yang terlepas, bahkan kaos kaki coklat masih menempel lekat di kaki. Bukti aku masih suci.
Ah, apa iya? Suci?
Bergegas aku menuju pintu, tangisku tak terbendung lagi. Kesedihan ini kurasakan betul. Bertahun kujaga tiap jengkal badan agar tak ada sentuhan. Meski cap perawan tua di usia hampir 40 ini kerap kuterima. Tubuhku masih suci, tak pernah ada pergumulan seperti tadi.
"Kau tak kan bisa membukanya sayang, kunci ada padaku."
Setengah ketakutan aku masih berdiri di dekat pintu. Mematung hingga John datang menghampiri.
"Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu. Kita bicara ya."Â Nada suara lembut, ditingkah mesra usapan pada pipiku. Sedikit menenangkanku.
Digamitnya lengan tanganku, dia ajak duduk di kursi sofa panjang dalam kamar. Korden dibuka. Kaca bening  lebar menampilkan pemandangan menakjubkan Kuningan malam. Cahaya di mana-mana. Belum lagi kerlip bintang yang memenuhi langit Jakarta. Keelokan sempurna peluruh kesedihan.
" Kita makan malam ya." Ucap John penuh kelembutan saat aku mulai bisa menghentikan tangisan.
Anggukanku mengisyaratkan setuju. Sedikit melupakan kejadian mengerikan yang tadi hampir kualami.
Hantaran makan malam telah datang. Pelayan hotel menatanya di meja kami duduk. Ada lilin juga bunga selain menu utama. John pria romantis ternyata.
Kutatap meja tak berkedip, John memesankan aku nasi putih. Menyesuaikan kebiasaan perutku katanya. Ada aneka cah sayur, sup iga dan steak untuknya.
"Spyci sauce kupesan khusus untukmu."
Air putih di gelas berleher kuteguk dahulu sebelum memulai makan. Kugunakan sendok garpu, sementara John tambah dengan pisau pula untuk memotong-motong irisan daging steaknya.
"Kuputar musik ya, kau suka lagu apa?"
"India boleh? Mohabbatain." Kataku disambut senyum John. Lagu yang paling kusuka meski telah puluhan tahun berlalu. Ingat jaman sekolah dulu.
"Iya aku ingat, kau penggemar film-film hindi. Akan kuputarkan untukmu. Sebentar ya?"
Hum Ko Humise Churalo memenuhi ruangan. Mewarnai makan malam kami berdua. Perasaan indah itu muncul lagi. Stelan kemeja biru muda dan celana biru dongker yang dikenakan menyita mataku. Tampan benar dia. Sebingkai kaca mata nangkring manis di hidung menambah pesona. Rambut legam belah kanan rapi dia sisir. Perlente, tak nampak sedikitpun pernah melakukan kenakalan padaku.
Kenyamanan kudapatkan, tak lagi ingin pergi darinya. Bahkan hingga makan malam berakhir, masih pula aku ingin bersamanya.
"Jakarta sungguh menakjubkan ternyata." Gumam John sembari menatap pemandangan luar ke arah luar jendela kaca.
"Iya, aku setuju denganmu. Indahnya ketika malam begini. Penuh cahaya."
"Kau suka?"
"Iya, tentu saja."
"Kalau begitu kita ambil gambar ya. Mendekatlah padaku."
Dia geser meja di depan kami agak jauh. Di letakkan gawainya di meja itu. Penyangga kecil yang dibawa menjadi piranti mengabadikan momen kebersamaan kami. View Jakarta malam, pun suasana romantis terabadikan di gawai itu.
Cekrak-cekrek berulang, entah berapa puluh gambar telah dihasilkan. Tak hanya itu, video gelak tawa juga canda cengkerama kami juga ada. Lupa sudah pada kejadian ingin pergi yang hampir menimpa.
Puas bertingkah canda tawa cengkerama, kuutarakan kantukku.
"Aku ngantuk John, pesankan aku kamar berbeda ya."
"Untuk apa, kau bisa tidur di sini denganku. Lihatlah itu king size. Cukup buat kita."
"Maaf, aku tidak bisa tidur dengan laki-laki. Mengertilah. Aku takut nanti akan terjadi seperti tadi."
"Baiklah, aku janji tidak akan melakukan apa-apa padamu. Atau aku akan tidur di sofa saja. Kau yang di tempat tidur. Bagaimana?"
Kali ini aku melihatnya bukan sebagai lelaki yang tadi pernah akan melumatku. Sepertinya janji itu bisa dipertimbangkan. Tapi apa iya aku akan aman?
Timpukan  alasan memukuli kepala. Hatiku ingin terus bersamanya, namun ketakutan diapa-apakan juga memberatkan pengambilan keputusan. Apa yang sebaiknya kulakukan?
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H