Sebuah pertanyaan yang mungkin bisa kalian jawab sendiri, tergantung dilihat dari sisi mana dan dari industri manakah kalian bermain.
Mengamati 14 tahun perkembangan industri wedding sejak tahun 2010, berhadapan dengan ratusan klien, ratusan ribu file, dan dengan segala perdrama'annya, aku melihat banyak sekali yang berubah di industri wedding, terutama di bagian fotografi ini.
Ke depannya, industri wedding bakal menjadi makin kompetitif, yang sudah dimulai sejak jaman pandemi yang banyak mengubah landscape dari wedding industri ini.Â
Di zaman yang makin kompetitif ini, kualitas saja sudah tidak cukup untuk bisa bersaing di industri, menjadi berbeda atau membuat personal brand kuat menjadi suatu kebutuhan di masa sekarang ini.
Di lihat dari sisi marketing pun sudah banyak berubah. Dahulu kita sangat mengandalkan portfolio, dan marketing dari mulut ke mulut. Biasanya klien yang puas akan merekomendasikan hasil kerja kita ke teman/bride's maidnya.Â
Di masa sekarang ini bahkan words of mouth yang dulunya merupakan marketing tools paling kuat, sudah tidak terlalu berlaku, dikarenakan banjirnya informasi, baik itu informasi yang benar maupun misleading.
Contohnya simplenya, dulu calon klien kita direkomen oleh temannya yang sudah menggunakan jasa kita. Sekarang ini, rekomendasi itu datang bukan hanya dari temannya, tapi juga dari sosial media baik melalui soft selling, atau jasa endorse yang dilakukan oleh influencer untuk mempromosikan jasa/produk tertentu. Jadi, kita bersaing bukan hanya dengan hasil yang kita miliki, tapi juga dengan review-review orang lain.
Tingginya Ekspektasi Klien
Dulu, hanya dengan menyajikan sebuah foto yang bagus, tajam dan indah saja sudah cukup untuk bisa melakukan pekerjaan kita. Sekarang ini, hal tersebut sudah tidak lagi cukup, dikarenakan perkembangan teknologi yang sangat massive terutama di bidang smartphone yang mampu menghasilkan foto yang bagus hanya dengan sekali klik.
Permintaan klien pun sekarang beragam, bukan hanya foto video, tapi juga mereka expect untuk membuat video vertical, video untuk reels, photo slide, belum juga termasuk style-style tertentu dari fotografer lain yang harus diakomodasi oleh kita sebagai pelaku.
Dulu aku sempat berpikir "Kalau foto si orang A tersebut bagus, kenapa ga hire mereka aja? Daripada memaksakan kita mengadopsi style photo si A tersebut, yang hasilnya kemungkinan besar pasti tidak akan bisa sebagus si A (alias yang original)."
Meski saat ini, aku masih memegang prinsip tersebut, perlahan aku mulai paham juga kalau hal tersebut mau tidak mau pasti akan terjadi. Sama juga dengan cara kita berkarya yang dulu hanya memiliki informasi terbatas, sekarang kita dapat berkara dengan imajinasi dan style yang tidak terbatas, klien juga berhak memiliki referensi yang tidak terbatas juga. Â
Makanya kalau klien suka A, ya hire fotografer A karena keterbatasan informasi fotografer B, C, D. Sekarang ini, meski si kliensuka dengan fotografer A, tapi dia sendiri mendapatkan banyak informasi dari sosmed style fotografer B, C, D, yang mereka juga suka. Menyebabkan si A ini memiliki tanggung jawab untuk mengakomodasi kemauan klien ini.
Value Sebuah Foto
Hal yang cukup abstrak dan ambigu untuk dibicarakan, yaitu bagaimana value sebuah foto di zaman yang sekarang serba digital ini?
Konsumsi foto (dan video) sudah menjadi keseharian di zaman sekarang ini. Menurut survey, dalam sehari kita dipertontonkan dengan 4.000 hingga 10.000 foto setiap harinya, mencakup iklan, foto di sosmed instagram, tiktok, facebook, dll.
Hal ini membuat konsumsi foto menjadi hal yang sangat biasa, maka dari itu konten video, dewasa ini meningkat sangat jauh jika dibandingkan foto. Menurut hipotesaku, Hal ini membuat nilai "Foto" menjadi devaluasi. Mirip mungkin dengan konsep inflasi di ekonomi..
Jadi apakah value sebuah foto di zaman sekarang masih sama seperti 10 tahun yang lalu?
Menurutku, value sebuah foto sangat berkurang di masyarakat awam dengan banyaknya paparan konten. Jika kita terapkan ke industri wedding fotografi. Klien kemungkinan besar melihat foto tidak seberharga di jaman dulu dikarenakan mereka sendiri sudah terlalu banyak melihat foto wedding dari orang lain, teman-temannya, dan juga yang bertebaran di dunia online, maka dari itu harga foto wedding pun menjadi devaluasi seiring dengan waktu. Jika kalian punya hipotesa lain, mungkin bisa ditambahkan ya..
Menaikkan Value Sebuah Foto
Jika kalian seorang wedding fotografer, pasti kalian sudah sering mendengar pernyataan kalau yang tersisa dari sebuah wedding itu hanyalah tinggal sebuah foto. Dekorasi dibongkar, makanan enak juga dibuang, make up juga dihapus dalam sehari, musik dan entertainment berlalu begitu saja, meninggalkan sebuah foto dan video yang masih bisa dikenang sampai tua. Pernyataan tersebut tidak salah dan masih berlaku bahkan sampai hari ini.Â
Menurutku, kita sebagai fotografer wedding, perlu untuk memberikan value lebih bagi klien, dan mengedukasi mereka bukan hanya menyimpan file foto digital saja yang kemungkinan besar mereka akan kehilangan file tersebut di kemudian hari juga tapi juga harus mencetak foto tersebut, baik dalam bentuk kanvas, album, postcard, maupun pigura.Â
Menjadikan suatu hal yang intangible, menjadi tangible itu sangant penting di dunia yang makin modern ini. Hal tersebut akan membuat kita menjadi berbeda dengan fotografer lainnya jika bisa memberikan value yang lebih.
Marketing dalam Dunia Wedding
Dulu, di saat teknologi belum berkembang, membuat portfolio online itu merupakan hal yang tidak bisa dilakukan semua orang, tetapi dengan berkembangnya jaman, sekarang portfolio bisa di display dimanapun, baik di sosial media, maupun di website yang mudah untuk dibuat juga.
Hal ini berimbas ke cara marketing yang berubah dari 10 tahun lalu dan sekarang. Kemajuan teknologi ini seakan menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, mempermudah kita untuk melakukan editing, administrasi, dan cataloging, membuat kita memiliki lebih banyak waktu untuk memotret dan melakukan hal yang produktif. Tapi di sisi lain, karena mudahnnya akses, semua orang juga melakukan hal yang sama.
Tantangan ke Depannya di Dunia Wedding Fotografi
Seiring dengan berubahnya cara pikir masyarakat mengenai wedding yang makin lama makin kecil skalanya, tidak seperti dulu yang kalau wedding biasanya dilakukan di gedung yang mewah, dengan jumlah tamu yang massive juga.Â
Ditambah dengan kuantitas wedding sendiri terutama di kota-kota besar yang makin berkurang dikarenakan banyak yang memutuskan tidak menikah, atau menunda pernikahan mereka. Sementara di lain sisi jumlah fotografer yang makin banyak, dengan barrier to entry yang rendah, membuat persaingan menjadi semakin ketat. Ketidakseimbangan ini membuat supply dan demand menjadi tidak berimbang.Â
Aku sendiri masih belum tahu solusi secara pasti untuk ke depannya, tapi melihat landscape dunia perweddingan ini, memiliki self branding yang kuat menjadi sangat penting, terutama untuk fotografer yang baru terjun di dunia wedding, maupun pemain lama. Penting juga untuk menentukan market kalian mau bermain dimana, karena tidak ada regulasi yang pasti harus berapa foto wedding dihargai.Â
Perihal AI, wedding tidak perlu takut sama sekali, karena AI justru akan membantu kita para fotografer untuk bisa menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Sedangkan foto liputan, dalam waktu dekat dan menengah tetap tidak akan tergantikan oleh AI. (beda cerita dengan foto2 produk dan makanan yang akan sangat terganggu oleh market AI dan stock foto).
Tantangan di Masing-Masing Segmen
Yang bermain di market low & middle low menurutku market akan terus bertahan dan paling massive dengan demand yang banyak juga. Tantangan di market ini adalah supply nya yang overloaded, dengan murahnya harga kamera, terutama kamera-kamera second, dan makin mudahnya kamera digunakan, di sini adalah titik entry point hampir semua fotografer, maka dari itu, di sini akan terjadi banyak perang dan banting-bantingan harga.
Market middle low ini sebenarnya bukan market yang sulit untuk digarap dikarenakan biasa permintaan mereka juga tidak aneh-aneh, atau dengan kata lain "yang penting ada dokumentasinya dan terang"..Â
Tantangannya buat para pemain di level ini adalah menjaga kualitas hasil foto dari team nya (baik itu freelance nya, atau videografernya). Dikarenakan budget yang tidak terlalu besar, mengakibatkan vendor juga tidak bisa meng'hire freelancer foto atau videografer yang berpengalaman juga.
...
Di market middle, menurutku fotografer yang mencapai atau bermain di titik ini, tidak akan bisa bertahan lama karena di suatu titik, nanti kalian harus memilih untuk naik kelas, bermain di kelas upper, ataupun turun ke kelas middle low, dan bermain perang harga dengan banyak fotografer lainnya. Sama seperti ekonomi, kelas middle ini merupakan kelas yang paling rentan untuk hilang.
Kelas middle ini biasa memiliki taste foto yang sudah mulai matang, sehingga mereka paling banyak melihat-lihat referensi dari sosial media (weddingnya si anu, fotografernya si anu, dll).Â
Maka dari itu biasanya di market ini juga yang paling mempunyai banyak request tapi juga menuntut harga yang semurah-murahnya dikarenakan, Â fotografi biasanya tidak terlalu masuk ke skala prioritas wedding mereka, jika dibandingkan dengan dekorasi yang bagus, dan dress yang indah. Sehingga harga menjadi cukup ditekan di market ini.
Di titik ini, tantangan tertinggi seorang vendor fotografer adalah di budgeting dan komunikasi. Bagaimana bisa mengakali dengan budget yang secukupnya tapi bisa menghasilkan hasil yang sesuai dengan standard kita. Dan juga komunikasi, serta edukasi klien adalah hal yang paling crucial di kelas ini.Â
Bagaimana kita bisa menjelaskan apa yang bisa didapat dengan budget sekian, mana yang tidak mungkin dilakukan dengan budget sekian, dan jika ada request tertentu, berapa harga penambahan yang wajar diberikan ke klien, semua ini perhitungannya harus taktis dan akurat.Â
Supply dan demand yang ada di market ini cukup seimbang, meski belakangan ini sejak covid, supply nya menjadi bertambah dikarenakan barrier to entry di titik ini juga tergolong tidak sulit.Â
Menurut pengalaman beberapa teman-temanku, harga yang ada di market ini cenderung stuck sejak covid hingga sekarang, padahal kebutuhan makin tahun makin meningkat bukan?
...
Di market upper class ini, merupakan puncak piramida, dimana marketnya sedikit, tapi pemain wedding di kelas ini juga tidak banyak. Meskipun banyak dari fotografer kelas middle yang mulai menyentuh ke market ini, tapi barrier to entry nya sangat tinggi di market ini. Barrier to entry yang kumaksud adalah di market ini, biasanya klien sudah bukan mencari harga atau style tertentu saja, tapi membeli "taste" suatu vendor atau fotografer.
Klien di level ini, biasanya tidak memiliki banyak request dikarenakan mereka membeli "taste" dari style foto kita, terlepas berapapun harga yang kita kasi ke mereka.Â
Selain itu di market upper ini, sangat niche sehingga biasanya vendornya/fotografernya juga itu-itu saja yang memang sudah lama bermain di kelas niche ini.Â
Di sisi lain, mereka sangat percaya dengan rekomendasi dari temannya yang sudah menggunakan jasa fotografer sebelumnya. Disini peran "word of mouth" sangat penting, dan juga menjaga kredibilitas sudah menjadi hal yang mutlak.Â
Etika kerja kita sangat diuji di market ini, mulai dari penamilan atas kepala hingga kaki. Di level ini, alat fotografi bukan menjadi hal yang utama lagi tapi gimana cara kita bertutur, bergaul dengan klien, memiliki level percakapan yang sama dengan klien menjadi kunci dalam suksesnya fotografer di kelas ini.
....
Kalau kita tarik lebih jauh lagi, ada lagi kelas Ultra Upper, ini merupakan top 1% class yang rela membayar berapapun harga yang kita berikan. Di market ini, yang mereka beli sudah bukanlah jasa kita, atau taste kita semata, tapi mereka membeli trust (kepercayaan) & nama besar seorang fotografer. Tentunya self branding menjadi kunci dan mungkin pemain di level ini bisa dihitung dengan jari di indonesia ini.
Semangat terus untuk berkarya teman-teman fotografer :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H