Mohon tunggu...
Cerita Pemilih

3 Alasan Mengapa Saya Yakin Ahok Pasti Tumbang di Pilgub DKI 2017

12 Februari 2017   02:50 Diperbarui: 12 Februari 2017   03:24 2789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

[Satu]**Tiga Kekuatan Politik Dalam Sejarah Indonesia**

Mungkin sebagian pembaca setia Kompasiana pernah membaca artikel saya awal Desember lalu dimana saya mengulas akar kekuatan politik di tanah air kita sejak zaman kemerdekaan hingga zaman Jokowi.

Dalam arikel itu saya paparkan bahwa di Indonesia ini sebenarnya kekuatan politik yang ada yang paling dominan sepanjang sejarah perjalanan bangsa hanya ada 3 yaitu :  Kalangan Islam, Kalangan Nasionalis dan Kalangan Militer.  3 kekuatan inilah yang sangat mendominasi pucuk pimpinan tertinggi negeri ini selama puluhan tahun.

Pada zaman Kemerdekaan nama-nama KH Hasyim Azhari dan KH Ahmad Dahlan mewakili kekuatan Kalangan Islam yang berperan besar dalam masa kemerdekaan. Soekarno, Syahrir, Hatta dan lainnya dari kalangan Nasionalis. Sementara masih berdiri dipinggir kekuasaan adanya kekuatan militer yang dipimpin Jendral Soedirman.

Soekarno yang tadinya didukung oleh kalangan nasionalis dan Islam akhirnya terdepak karena kalangan Islam merasa dikecewakan akibat kedekatan Soekarno dengan kekuatan politik baru yaitu PKI. Kekuatan Islam kemudian membiarkan pergerakan  kalangan militer mengambil alih kekuasaan. Sukarno pun terjungkal.

Berikutnya, Soeharto yang tadinya didukung oleh kekuatan militer ditambah kalangan Islam dan beberapa kalangan nasionalis akhirnya terhempas juga ketika kalangan Islam ditekan sedemikian rupa dan akhirnya memberontak.  Kalangan nasionalis membantunya sehingga kekuatan militer tak berdaya lagi.

3 kekuatan tersebut memang sangat dipahami oleh Soeharto sehingga pada zaman Soeharto ketiga kekuatan itu direpresentasikan dalam 3 Partai Besar :  PPP, PDI dan Golkar. PPP mewakili kalangan Islam, PDI mewakili kaum nasionalis sementara Golkar adalah kekuatan militer yang disamarkan.

Zaman Reformasipun bergulir. Begitu Soeharto jatuh maka elit dari kalangan Nasionalis dan elit dari kalangan Islam berebut kekuasaan.  PDIP yang menang besar karena rakyat berpikir PDIP akan membawa kemakmuran bagi negeri ini akhirnya tidak berdaya dikendalikan kekuatan Islam.

Meski menang Pemilu Megawati tidak berhasil menjadi Presiden. Kalangan Islam tidak merestuinya dan akhirnya dipilihlah Presiden versi MPR  yaitu Presiden Gus Dur. Sayangnya Gus Dur akhirnya mengecewakan Elit kalangan Islam lainnya sehingga dilengserkan.

Pada Pemilu 2004 kembali terjadi perebutan kekuasaan. SBY yang didukung kalangan militer dan Islam akhirnya mampu menjungkalkan Megawati. Kepemimpinan Megawati sangat mengecewakan sebagian kaum Nasionalis. Oleh sebab itu SBY dengan mudah mempecundangi Megawati di tahun 2004 dan tahun 2009.

Tahun 2014 kembali lagi terjadi perputaran kekuasaan.  Kekecewaan masyarakat pada SBY dimanfaatkan oleh elit-elit nasionalis. Sebagian besar kalangan Islam pun cukup terpesona melihat si Rising Star Jokowi. Dengan dukungan kedua kekuatan tersebut ditambah kekecewaan masyarakat pada SBY akhirnya kekuatan militer tak berdaya dan Jokowi pun berhasil  menjadi Presiden.

Begitulah yang terjadi, bagaimana ketiga kekuatan ini secara bergantian menguasai negeri ini.

Sebenarnya sejak tahun 2014 itu juga timbul kekuatan politik baru. Kekuatan politik ini sudah lama ingin tampil di pentas politik. Akhirnya beberapa elitnya mendekati PDIP dan mendukung kuat Jokowi untuk menjadi Presiden. Kekuatan politik ini adalah Kepolisian.

Pertarungan di Pilgub DKI 2017 memperlihatkan bagaimana 4 kekuatan politik ini bermain. Ahok didukung sebagian kalangan nasionalis. Ada PDIP, Golkar dan Nasdem. Disamping itu Ahok didukung kekuatan politik baru yaitu Kepolisian.

Sementara Agus Yudhoyono adalah representasi  dari gabungan kekuatan kalangan militer ditambah  mayoritas kalangan Islam dan sedikit kalangan nasionalis.  Sementara Anies Baswedan juga serupa.  Didukung oleh Kekuatan kalangan Islam ditambah sedikit kalangan militer dan sedikit kalangan nasionalis.

Adanya 3 kutub itulah yang membuat pertarungan di Pilgub DKI 2017  terjadi sangat keras. Di sisi lain dalam perhitungan saya bila seluruh kekuatan Nasionalis ditambah Kepolisian berhadapan dengan kekuatan kalangan militer ditambah kekuatan kalangan Islam kemungkinan besar kekuatan Nasionalis akan kalah. Perhitungan itu berdasarkan data sejarah yang telah terjadi. Perbandingan kedua kekuatan itu kira-kira 40% : 60%.

Sekarang tinggal dihitung saja. Pendukung Ahok dari kalangan nasionalis sebenarnya hanya 75% karena Gerindra dan Demokrat tidak bersamanya. Sementara kekuatan Islam dan Militer juga sementara sedang terpecah dua, sebagian pada AHY dan sebagian pada Anies.

Jadi sejak awal memang  3 kekuatan politik dari masing-masing Paslon memang sangat berimbang. Dan kuncinya memang ada pada Kalangan Islam. Bila kalangan Islam memprioritaskan Agus Yudhoyono maka AHY yang akan jadi Gubernur. Sebaliknya bila kalangan Islam memprioritaskan Anies maka Anies Baswedan yang akan jadi Gubernur.

Putaran pertama sepertinya sulit terjadi AHY atau Anies akan bisa unggul telak. Kalaupun unggul paling unggul tipis dari Ahok. Tetapi pada Putaran Kedua dengan memperhitungkan 3 Kekuatan politik yang ada dipastikan Ahok pasti terjungkal di Putaran Kedua.

Itulah alasan pertama mengapa saya katakan  Ahok pasti tumbang di Pilgub DKI 2017 ini.

[Dua]**Dipastikan Mesin Politik Pendukung Ahok Tidak Akan Solid**

Dari 4 partai yang mendukung Ahok yang memiliki massa fanatic di Jakarta sebenarnya  memang hanya PDIP. Itupun sulit diharap karena sebenarnya di hati kecil para kader PDIP DKI kurang rela mendukung Ahok. Mereka sebenarnya (apalagi yang Muslim) pasti lebih suka mendukung Djarot ataupun tokoh PDIP lainnya. Bahkan ketika terjadi perseteruan antara PDIP DKI dengan Ahok sempat terdengar lagu “Ahok Pasti Tumbang”.

Nasdem pun demikian. Surya Paloh sempat ragu meneruskan dukungannya pada Ahok ketika Ahok sudah menjadi Tersangka. Hanya karena malu saja akhirnya Nasdem tetap meneruskan dukungannya.

Sementara Golkar juga tidak punya massa fanatic di Jakarta jadi sulit diharapkan.

Kesimpulan untuk dukungan mesin parpol sepertinya Ahok tidak bisa berharap banyak dari mesin parpol. Ahok hanya bisa berharap dari dukungan relawannya  yang mayoritas pengurus organisasi remaja gereja atau dari  organisasi warga tionghoa. Diluar dari itu rasanya akan sulit diharapkan militansinya.

Yang paling kuat dari sisi massa kemungkinan besar malah kubu Anies Baswedan. Jangan ditanya soal solidnya kader PKS di DKI. Begitu juga dengan massa Gerindra yang fanatic.

Jadi dalam perhitungan saya, dari ketiga Paslon yang bertarung yang paling solid Mesin Parpolnya adalah Paslon Nomor Urut 3, Paslon nomor urut 1 barulah nomor urut 2.

Inilah alasan kedua saya yang memastikan Ahok pasti tumbang di Pilgub DKI 2017.

***Pemilih di Pilgub DKI  Cenderung Akan Mencari Damai***

Jangan pernah percaya 100% pada lembaga-lembaga Survey yang ada. Semua Lembaga Survey itu bisa dibeli dan dikendalikan oleh kontestan Pemilu/Pilkada. Tetapi bukan berarti semuanya hasil surveynya tidak ada yang benar.  Bukan begitu maksudnya.

Beberapa Lembaga Survey sangat baik dalam melakukan surveynya. Secara pribadi ada beberapa yang saya prioritaskan.

Tetapi satu hal, saya tidak akan pernah percaya Hasil Survey pada saat Injury Time yang dilakukan oleh Lembaga Survey manapun. Pengalaman yang lalu-lalu, Hasil Survey Lembaga Survey apapun untuk 2 minggu sebelum Pilkada biasanya ngawur. Mungkin saja sudah terkontaminasi pesanan dari Kontestan.

Pilgub DKI 2012 dan Pilgub Jateng 2013 menjadi bukti ngawurnya hasil survey dari lembaga survey.

Biasanya Hasil Akurat dari Lembaga Survey yang bagus hanyalah pada Quick Count dan pada saat sebulan sebelum Pilkada berlangsung. Angka-angka itulah yang bisa dijadikan patokan untuk mengukur kekuatan masing-masing kontestan.

Dan berbicara kecendrungan sikap para pemilih di DKI menghadapi Pilgub DKI 2017 yang begitu keras persaingannya, kemungkinan besar angka Golput akan menjadi besar.  Ini yang saya kuatirkan akan terjadi.

Suhu Eskalasi Politik di Pilgub DKI sangat tinggi. Dan sebenarnya yang riuh ramai itu terjadi di media-media social saja. Dan itupun bukan dilakukan oleh warga DKI melainkan warga di luar DKI. Tapi semua itulah yang akhirnya membuat para pemilih menjadi muak. Imbasnya kemudian mereka menjadi enggan datang ke TPS.

Dan bila intensitas pemilih ke TPS  memang rendah maka yang paling berpeluang untuk menang adalah Kontestan yang memiliki massa fanatic. Dan bukan Ahok tentunya. Karena pendukung Ahok hanya kuat di media-media social.

Di sisi lain kecenderungan Pemilih DKI adalah mempertimbangkan gejolak politik yang sepertinya tak henti-hentinya berlangsung. Logika yang paling umum yang mungkin dipikirkan pemilih adalah :

Bila Ahok menang di Pilgub DKI maka kemungkinan gejolak politik tetap akan terjadi dan tidak ada berhenti-hentinya. Satu cara untuk menghentikan Gejolak Politik yang sangat tinggi tensinya adalah tidak memilih Ahok.

Inilah Psikologis Pemilih DKI yang mungkin terjadi. Dan inilah alasan ketiga saya yang membuat saya yakin Ahok pasti tumbang di Pilgub DKI.  Entah tumbang di Putaran Pertama atau Tumbang di Putaran Kedua.

Begicuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun