Lagi-lagi Lembaga Peradilan Tinggi kita tercoreng wajahnya akibat ulah nakal Hakim Senior. Mahkamah Konstitusi yang selama ini menjadi Pengadil Tertinggi dari Konstitusi kita kembali dirusak kredibilitasnya oleh Hakim-hakimnya. Hakim-hakim yang mana? Tentu saja hakim-hakim yang berasal dari kalangan politisi.
Ini adalah Pelajaran kesekian kalinya untuk masyarakat dan pemimpin yang ada. Bahwa sudah terbukti berkali-kali bahwa Integritas dan Indenpendensi itu adalah syarat utama bagi Pejabat-pejabat di Lembaga-lembaga Hukum Tinggi di negara ini.
Tidak boleh ada kekuatan manapun yang punya potensi untuk mengintervensi MA, MK, KPK, Kejaksaan Agung dan Polri. Ini yang harus dijaga. Dan ini adalah tanggung jawab Presiden untuk menjaga netralitas/ independensi Lembaga-lembaga Hukum Tinggi Negara.
Bagaimana mungkin Hukum bisa menjadi Panglima di negeri ini kalau salah satu dari MK,MA, KPK, Jaksa Agung dan Kapolri sudah disusupi oleh kepentingan politik?
Berkaca dari pengalaman SBY memang bisa dikatakan SBY sudah melakukan kesalahan besar dengan tidak menjaga integritas dan indenpendensi Mahkamah Konstitusi. SBY telah membiarkan “Mahkamah Suci” ini dirasuki ataupun diterobos kesuciannya oleh orang-orang yang berasal dari kalangan “kotor”.
“Kotor” disini tentu Politisi maksudnya. Tapi juga bukan semua Politisi itu pasti Kotor.
Prinsipnya disini adalah salah satu resiko menjadi Politisi itu pasti berteman dengan orang-orang yang suka bermain intrik kotor. Dan ketika teman-teman itu memohon bantuan yang tidak bisa ditolak maka politisi itupun akhirnya terinfeksi juga oleh intrik.
Dari prinsip itu memang harus dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, bahwa untuk mengurangi potensi Lembaga-lembaga Tinggi Hukum agar tidak tercemari oleh berbagai kepentingan, salah satu syarat untuk menduduki jabatan petinggi lembaga Hukum tertinggi adalah Pejabat itu tidak pernah /tidak boleh berafilitasi dengan Partai Politik.
DPR dan DPRD adalah Lembaga Politik, MPR dan DPD juga Lembaga Politik. Bupati, Gubernur hingga Presiden juga domainnya para Politisi. Cukup itu saja yang menjadi lingkaran kekuasaan mereka. Kalangan itu tidak boleh sama sekali menjamah Lembaga-lembaga Tinggi negara lainnya.
Lembaga Politik ya lembaga Politik, Lembaga Hukum ya lembaga Hukum. Jangan sampai terjadi ada perkawinan silang diantara keduanya.
Akil Mochtar itu politisi nakal. Patrialis Akbar juga diem-diem ngeruwek. Akil politisi Golkar, Patrialis politisi PAN. Akhirnya dua-duanya kena OTT KPK. Dan dua-duanya benar-benar merusak kehormatan Majelis Konstitusi.
Bukan salah Golkarnya dan bukan salah PAN nya. Yang salah adalah Oknumnya. Dan yang ikut dianggap bersalah tentunya juga Presidennya. Mengapa SBY ketika Akil Mochtar sudah kena kasus masih saja mengizinkan PA mengikuti seleksi Hakim Konstitusi?
Jadi mau tidak mau SBY harus menerima ini sebagai kesalahannya. Tidak perlu Curhat lagi di Twitter.
FAKTA : JOKOWI JUGA MEMBIARKAN LEMBAGA HUKUM TINGGI NEGARA LAINNYA TERINFEKSI
Berikutnya kita bahas sepintas Lembaga Hukum Tinggi lainnya. MK sedang disorot dan mau tidak mau kita harus menyoroti Lembaga Hukum Tinggi lainnya. Prioritas dalam artikel ini memang bukan MK nya tetapi apa peran Presiden menjaga lembaga hukum tinggi negara.
Ketika Patrialis Akbar mengikuti seleksi Hakim Konstitusi sudah cukup banyak masyarakat meminta SBY untuk melarangnya. Waktu itu Kasus Akil sudah terjadi dan seharusnya itu menjadi peringatan keras untuk SBY. Tapi SBY bandel ya akhirnya terjadi juga seperti sekarang ini.
Jokowi juga begitu. Pengangkatan HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung itu sudah berkali-kali diprotes keras masyarakat. Jauh hari sebelum pengangkatan Prasetyo, sudah banyak orang yang meminta Jokowi agar tidak mengangkat Jaksa Agung dari kalangan Politisi. Tapi Jokowi memang Kopig.
Entah Kopig entah tidak berdaya menuruti permintaan Surya Paloh dan Pemilik Metro TV.
Padahal di sisi lain sudah bagus itu Kapolri dipilih Jokowi. Permintaan PDIP untuk Kapolri bisa ditolak oleh Jokowi, tetapi kenapa untuk Jaksa Agung Jokowi tidak berdaya?
Meskipun sering kontroversial, sampai saat ini memang belum ada Kasus yang benar-benar meresahkan masyarakat dari Kejaksaan Agung. Kasus Mobil 8 memang kontroversi tapi itu tidak ngaruh ke masyarakat. Kita lihat saja ke depannya, jangan sampai ada Kehebohan yang terjadi di Kejagung.
Nah itu tadi tentang Kejaksaan Agung. Bagaimana dengan Lembaga Hukum lainnya? Bagaimana dengan KPK?
Siapa yang bisa menjamin KPK saat ini (KPK Jilid 4) kondisinya bebas dari Intervensi pihak manapun?
Dalam pandangan saya pribadi, KPK jilid 4 ini adalah KPK paling lemah dibanding KPK-KPK sebelumnya. KPK jilid 4 ini adalah KPK Hasil Negoisasi. KPK jilid 4 ini tadinya mau dibubarkan oleh Partai Pemerintah (Partai Pemenang Pemilu) tapi setelah dinegoisasi akhirnya tetap dilanjutkan. Hehehehehe.
Fakta yang paling buruk dan tidak terbantahkan adalah Pimpinan-pimpinan KPK ternyata dilahirkan/ dipilih oleh Lembaga Politik. Ini Poinnya dan inilah masalahnya. Dari situlah mucul beberapa keanehan.
Yang paling aneh dari KPK Jilid 4 ini salah satu Komisionernya berasal dari Polri atau tepatnya Perwira Menengah Polri. Siapa yang bisa menjamin KPK Jilid 4 ini bebas dari tekanan Polri? Siapa yang tahu.
Berikutnya yang paling aneh dari KPK Jilid 4 ini adalah pada Proses Seleksi Pimpinannya. Bagaimana mungkin 2 Komisioner Handal dan berintegritas sebelumnya (Johan Budi dan Zulkarnaen) bisa tersingkir dari Seleksi?
Makanya saya sebut sebagai KPK jilid 4 ini sebagai KPK Hasil Negoisasi. KPK yang dibentuk oleh Lembaga Politik. KPK yang dibentuk oleh Para Politisi yang sedang berkuasa.
Berikutnya,
Jokowi punya aturan tidak boleh ada Rangkap Jabatan. Faktanya Ketua DPR adalah Ketua Umum Golkar. Siapa yang bisa protes? Nggak ada tuh. Hehehehe.
Kembali ke KPK, sebenarnya tidak boleh terjadi rangkap jabatan di Lembaga Hukum Tinggi negara. Berbeda dengan KPK Jilid 1 yang memang merupakan KPK baru lahir dan harus dibina oleh yang lebih senior, KPK Jilid 1 sangat tepat bila Komisionernya diisi oleh Polri ataupun Kejaksaan Agung. Tetapi selanjutnya Jilid 2 dan seterusnya tidak boleh terjadi agar KPK bisa mandiri dan independen.
OTT KPK jilid 4 terhadap Patrialis Akbar ini hebat. Semua OTT KPK Jilid 4 memang hebat-hebat semua sehebat OTT KPK-KPK sebelumnya. Kenapa bisa begitu, karena OTT adalah Domainnya Penyidik. Komisioner memang tidak mengintervensi proses OTT. Dan Penyidik-penyidik KPK memang sudah terkenal hebat dan Profesional.
Akan tetapi bila Kasus yang menyangkut bukan OTT. Sekali lagi ya, Bila untuk Kasus yang bukan OTT, maka KPK jilid 4 ini terkesan kayak krupuk. Gampang masuk angin dan cepet melempem. Hahahaha.
Ketika ada Kasus yang sempat disebut Pimpinan KPK sebagai Grand Corruption tetapi ternyata Tersangka hanya 2 orang, maka masyarakat luas kan jadi bingung. Lah katanya Grand kok TSK nya cuman seupil? Dimana istilah grand nya ya? Hehehehe.
Ketika ada Kasus yang sudah terbukti ada kerugian negara ratusan milyar dan sudah dinyatakan secara resmi oleh BPK tetapi oleh para pemimpin KPK kok ternyata masih disebut belum ketemu Niat Jahatnya? Ya tentu saja masyarakat luas menjadi bingung.
Ketika KPK Jilid 3 menghajar telak Andi Malarangeng, Jero Wacik dan lainnya yang berasal dari Demokrat (Partai Pemerintah), tidak ada tuh para pimpinan KPK jilid 3 yang mempermasalahkan Niat Jahat. Tapi kenapa sekarang kalau ada Kasus Non OTT yang melibatkan orang-orang tertentu, Para Pimpinan KPK sangat membutuhkan Niat Jahat dan masih mencarinya kemana-mana? Hahahaha.
Intinya dari artikel ini adalah, Presiden Jokowi harus menyikapi penangkapan Hakim Konstitusi ini dengan arif, bijak dan konprehensif.
Sebenarnya kalau diperhatikan dengan seksama dan dicermati dengan teliti, tidak hanya MK saja yang bermasalah tetapi MA, KPK, Kejagung dan Polri juga punya masalah. Ada kekuatan-kekuatan politik yang terindikasi telah melakukan penetrasi kepada Lembaga-lembaga Hukum tersebut.
Dan semua itu memang PR yang sangat sulit bagi Presiden, siapapun Presidennya.
Begicuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H