Isi pesan itu begitu menjijikkan bagi Anin. Kata-kata bernada cabul dan deskripsi yang menjijikkan tentang hubungan antara Pak Een dan wanita simpanannya membuatnya merasa kesal dan jijik. Rasanya seolah-olah ada sesuatu yang rusak dalam kedamaian keluarga mereka, dan Anin tidak tahu bagaimana cara menangani rahasia gelap yang ia temukan.
"Air mata adalah kata-kata hati yang tak terucapkan, membawa beban yang tak terlihat oleh dunia."
Di sekolah, Anin sering menjadi sasaran bully dari teman-temannya. Mereka mengejeknya karena penampilannya yang lusuh dan barang-barang bekas yang ia gunakan. Setiap kali Anin melangkah masuk ke dalam ruang kelas, pandangan sinis dan komentar-komentar yang menyakitkan selalu menyertainya. Anin mencoba untuk tetap tegar dan menahan diri, tapi terkadang beban yang ia pikul terasa begitu berat. Kepalanya sering kali dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya merasa rendah diri.
Hari-hari di sekolah tidak menjadi lebih mudah bagi Anin. Guru-guru melihat perubahan pada dirinya, bagaimana dia sering termenung dan tidak seceria anak-anak lain. Bu Guru Maya, guru kelas Anin, memanggilnya suatu hari setelah jam pelajaran berakhir.
"Anin, boleh bicara sebentar dengan Ibu?" tanya Bu Maya dengan lembut. Anin mengangguk pelan dan mengikuti gurunya ke meja depan.
"Anin, Ibu melihat kamu sering kelihatan sedih. Ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan kepada Ibu?" Bu Maya bertanya dengan penuh perhatian.
Anin menggeleng pelan, tidak berani menceritakan apa yang terjadi di rumah. "Tidak apa-apa, Bu. Saya hanya lelah," jawabnya singkat.
"Kadang-kadang, luka terdalam tidak terlihat dari luar, namun terasa sangat menyakitkan di dalam."
Bu Maya menyadari bahwa Anin tidak siap untuk berbicara. "Kalau kamu butuh seseorang untuk bicara, Ibu selalu ada untukmu, Anin," katanya dengan senyum penuh pengertian. Anin hanya bisa mengangguk, merasa sedikit lebih baik karena tahu ada orang yang peduli padanya di luar rumah.
Pada suatu hari, saat mata pelajaran olahraga berlangsung di lapangan sekolah, Anin mendapat kunjungan tak terduga. Seorang teman sekelasnya, Wilda, mendekatinya dengan ekspresi prihatin di wajahnya. Wilda berbisik dengan lembut kepada Anin, "Anin, aku harus memberitahumu sesuatu."
Anin menoleh dengan tatapan bingung. "Ada apa, Wil?" tanyanya, mencoba menutupi kebingungannya dengan senyuman tipis.