Wilda menatap Anin dengan penuh empati, "Beberapa teman sekelas sedang mengolok-olokmu, Anin. Mereka bilang kamu terlihat sangat menyedihkan dengan sepatumu yang robek."
Hati Anin hancur mendengar kata-kata itu, tapi ia menahan diri untuk tidak menunjukkan rasa sakitnya di depan Wilda. Ia tersenyum dengan kepura-puraan, mencoba menyembunyikan betapa tersayatnya hatinya. "Ah, itu tidak masalah, Wil. Aku baik-baik saja," ucapnya dengan suara yang berusaha tetap stabil.
Namun, di dalam hatinya, Anin merasa hancur. Rasanya seperti segala sesuatu di sekitarnya runtuh. Tetapi ia bertekad untuk tidak membiarkan kelemahannya terlihat oleh orang lain. Ia tahu bahwa di saat seperti ini, ia harus tetap tegar dan mempertahankan senyumnya, meskipun hatinya hancur. Baginya, itu adalah bentuk perlawanan terhadap kekejaman yang dialaminya.
Anin melangkah pergi dengan langkah yang mantap, mencoba menutupi luka-lukanya dengan mantel ketegaran. Meskipun hatinya terluka, ia bertekad untuk tidak membiarkan cemooh orang lain mengalahkannya. Dengan setiap langkahnya, ia membangun kekuatan baru untuk tetap melangkah maju, meskipun dihantui oleh kekejaman yang tak terbayangkan.
Kesepian Tanpa Kakak
Awan, kakak Anin, adalah sosok yang periang dan memiliki banyak teman. Hari-harinya penuh dengan gelak tawa saat bertemu dengan teman-temannya. Berbeda dengan Anin yang pendiam dan tidak memiliki banyak orang di sekitarnya, Awan selalu dikelilingi oleh orang-orang yang membuatnya tertawa. Namun, Awan jarang sekali berada di rumah. Ia lebih memilih tinggal di rumah nenek mereka yang hanya berjarak beberapa rumah saja dari kontrakan mereka.
Alasannya bukan hanya karena Awan menyukai suasana di rumah nenek, tapi juga karena ia sering menjadi sasaran kemarahan ayah mereka. Awan pernah mengalami malam yang begitu kelam, di mana hanya karena ia terlambat pulang, ayah mereka, Pak Een, memukulinya dengan sepotong kayu hingga kayu itu patah. Pak Een melemparkan apa saja yang ada di sekitarnya untuk meluapkan amarahnya. Awan yang ketakutan hanya bisa menahan sakit tanpa berani melawan.
Malam itu, Anin melihat sendiri bagaimana Awan dipukuli dengan brutal. Ia tidak berdaya dan hanya bisa menangis diam-diam di sudut ruangan. Awan, dengan tubuh penuh luka, akhirnya memutuskan untuk lebih sering tinggal di rumah nenek, mencari perlindungan dari kekerasan yang ada di rumah mereka. Anin mengerti mengapa Awan memilih pergi, meskipun itu berarti ia harus menghadapi semuanya sendirian. Anin menyaksikan setiap kejadian kekerasan yang terjadi di rumah mereka. Setiap teriakan, setiap benturan benda, dan setiap kali ayahnya melampiaskan amarahnya pada ibu atau dirinya sendiri, Anin merasakan luka yang semakin dalam di hatinya. Ia selalu merasa takut setiap kali malam tiba, karena ia tahu, kekerasan itu bisa datang kapan saja, tanpa peringatan. "Ketakutan adalah teman setia yang tak pernah meninggalkanku," pikir Anin, setiap kali suara benturan terdengar dari ruang tamu.
Pada suatu hari, Anin mencoba mendekati Awan yang sedang bersama teman-temannya di pinggir lapangan. Dengan hati-hati, ia berkata, "Kak Awan, aku ingin bicara."
Awan yang sedang sibuk dengan teman-temannya hanya menjawab singkat, "Nanti ya, Anin. Kakak lagi sibuk." Awan kemudian kembali tertawa dan bercanda dengan teman-temannya, meninggalkan Anin dengan perasaan terluka.
"Kesepian terbesar adalah merasa tak terlihat oleh orang-orang yang kita cintai."