***
Di akhir minggu ke-empat, malam harinya Wini sedang packing, persiapan nanti subuh berangkat lagi ke jakarta untuk melajutkan kulaihnya. Mata Wini terlihat sembab, bibirnya rapat terkdang ia gigit sekeras-kerasnya. Pilu hatinya.... orang yang tiga tahun ini dicintainya tidak lulus dimata sang ayah. Ya memang, Subekti lahir dari keluarga yang sangat berada. Dulu segalanya ia punya, dimanja berlebihan oleh orang tuanya membuat ia tidak mandiri dan tidak mau melanjutkan sekolah. Merasa hidup sudah serba cukup dari kedua orang tuanya. Bahkan Subekti terbawa pergaulan teman-temannya yang kebanyakan preman.
Waktu subuh pun tiba, Wini pamit pada semua aggota keluarga. Ia menangis menatap adiknya sambil berbisik
“Tolong jaga rahasia kemarin hanya kamu yang tahu.” Safitri menganguk pelan. Safitri mengerti perasaan Kakak nya.
Sejak kepergian Wini, Subekti menyadari bahwa dirinya sangat mencintai Wini. Ia bertekad ingin merubah hidupnya demi cita-cita kait jari yang sudah dijanjikan.
***
Setahun kemudian.
Sebuah mobil sedan berwarna hitam meluncur menuruni jalan aspal yang hitam meski sesekali melindas lubang jalanan. Di dalam mobil sedan seorang perempuan duduk dengan kepala melihat ke arah luar kaca samping. Dilihatnya pesawahan, gunung-gunung, sungai... tatapan matanya kosong. Tiba-tiba ia melihat sebuah bangunan besar yang belum pernah dilihat sebelumnya. Terlihat gerbangnya terbuka dan beberapa mobil elf terparkir.
Mobil sedan itu terparkir dihalaman rumah Safitri. Dua orang penumpannya turun. Teryata Wini bersama seorang lelaki berbadan tegap. Wini mengetuk pintu. Pintu terbuka, ternyata ibunya Wini yang membuka.
Winiiii....????? “ wajah ibunya sumringah lalu memeluk Wini. Lalu ibunya menoleh ke arah lelaki yang berdiri dibelakang Wini. Belum sempat ibunya bertanya, Wini memperkenalkannya terlebih dahulu.
“Ini Hendri Bu, teman Wini”. Dengan senyum ramah ibu Wini mengajak bersalaman dan mempersilahkan masuk.