Suasanapun mendadak hening. Wini menggores-goreskan ibu jari kaki nya pada kaki meja sambil menundukkan kepalanya. Sesekali ia melihat ke arah adiknya yang tidak henti memainkan untaian karet gelang. Terdengar lagi ayah Wini menyambung pembicaraannya.
“Semua ayah lakukan karena semata Ayah sayang sama kamu. Semua orang tua tidak ingin anaknya hidup susah... ” tiba-tiba ayah Wini berdiri dan berlalu meninggalkan kedua putrinya yang masih duduk. Safitri bergeser duduknya menempelkan badannya ke Wini. Lalu ia bicara setengah berbisik-bisik.
“Aku bilang juga apaaaa? Ayah pasti marah kalo tau Kakak pacaran sama Kang Bekti. Biar dia ganteng tidak ketulungan, tapi kan dia pemabok, suka judi, disuruh orang tuanya kuliah juga ngak mau. Ya pastilah Ayah marah” nampak Wini kesal, sedih dan kecewa.
“Sama aku aja ayah sudah bilang, tidak akan pernah merestui hubungan Kakak sama Kang Bekti!!!” sambung Safitri. Nampak mata Wini berkaca-kaca tanpa sepatahpun kata yang terucap.
“Kalo ayah sudah bilang A yaa harus A! Tau kan sifat Ayah...lebih keras dari batu Bonir?” sambung Safitri lagi.
Wini kini sudah melewati masa remaja. Dua semester lagi kulianya selesai. Tapi, sampai detik ini dia belum punya calon, boro-boro..... pacar aja dia gak punya.
***
Sore hari di pinggir jalanan yang agak menanjak ,terlihat Wini bersama adiknya duduk disebuah bangku di bawah pohon. Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti tepat didepan mereka. Wini terperanjat, sontak ia berdiri dan terlihat wajahnya gugup.
“Kang Bekti...” sapa Wini pelan sambil matanya melihat sekeliling. Ia takut kalo ayahnya melihat kedatangan Subekti. Wini melanjutkan perkataannya.
“Kang, mau kemana?” tanya Wini pendek.
“Akang sengaja ke sini ingin ngobrol sama Wini” Wini semakin gugup.