Pagi itu, aku memainkan ponsel usangku kembali
Yang telah mati suri beberapa jam tadi
Aku mendapati kau, tersenyum lebar sungguh manisÂ
Bersama kekasihmu yang ternyata temanku dulu hingga juga sekarang
***
Aku terkoyak, terpental, perih rasanya lukaku ditiup angin
Dengan baju dan celana sederhana, ala orang kaya yang tak mau riya
Aku siap memenuhi undangan pernikahanmu
Padahal, misiku ingin mengajakmu bersama kembali seperti janji kita dulu kala sama-sama lebih bersiap
***
Gincu berwarna tidak menyala telah ku goreskan di bibirku
Kebaya hitam lagi dan tas hitam lagi, ku pakai hari ini
Senyum palsu kupaksa singgah sebagai hidangan yang basi
Aku tak kuasa menatap ke depan cermin yang sudah tertawa lepas
***
Sebutir air menetas dari dua mataku yang sudah tak tahan kepanasan
Argggrhh, terucap nada marah yang mengecewakan
Ini yang kau ucap cinta?Â
Siapa yang harusnya aku salahkan, Tuhan yang tidak adil?
***
Janjimu? Cintaku atau rencanaku? Ini memang salahku
Aku yang bodoh selalu menyalahkan Tuhan, karena ingin mati agar dipeluk?
Kalau tidak jodoh mau Tuhan lagi yang disalahkan?
Sudah tak perlu kau tanya lagi, aku sudah muak dengan jawabannya
***
Aku pasrah, tolonglah berhenti, aku tidak ingin gila karena mati rasa
Bukan suatu kesalahan namun telah menjadi takdir
Rintihan doa lancang telah kudemonstrasikan, demi aku dan kau bersama
Padahal kesejahteraan batin dan fisikku yang Tuhan utamakan
***
Banyak janji kau ucapkan yang kuyakini tempat berlabuh
Lalu aku masih berkata kau milikku selamanya?
Jangan buta, apalagi tuli
Jika kau saja dengan lancang berkhianat
***
Berandai saja tidak cukup apalagi membuat kenyang
Selama itu pula rasa lapar membuatku rakus
Masih memberontak di lambung naik ke hati, ledakan hebat sekali
Jangan tersenyum!
***
Kau suruhku sabar? Hahaha, sabar apanya? Ikhlas apanya?
Aku sudah bukan tujuanmu, kan?
Biarlah aku menemukan kebahagianku
Jangan kembali lagi, menetaplah dengan pilihan masing-masing
***
Puisi ini menggambarkan sepasang manusia yang berjanji saling kembali ketika sama-sama sudah siap untuk menjalani hubungan yang lebih serius yakni pernikahan.Â
Akan tetapi salah satu dari mereka berkhianat dan akhirnya seseorang tersebut memilih seseorang yang ternyata teman dekat sekaligus sahabat yang selama ini ia sayangi. Â Semua telah berubah, pandangannya terhadap manusia menjadi dingin dan tidak peduli akibat janji-janji yang ternyata sebuah omong kosong.Â
Selama ini begitu banyak orang lain yang ingin mendekatinya akan tetapi ia tetap memilih seseorang yang berjanji padanya untuk sama-sama suatu hari nanti untuk kembali saling melabuhkan tujuan yang lebih serius yakni pernikahan.Â
Semoga teman-teman yang membaca puisi ini tidak mengalami hal yang serupa karena bila dibayangkan saja rasanya pasti menyakitkan. Namun, apalah daya manusia yang hanya bisa berencana dengan segala proses yang ada namun pada akhirnya yang terbaik tetaplah didasari pada takdir yang Tuhan gariskan.Â
Semoga kamu menemukan seseorang yang selalu memegang janjinya dan menepati janjinya untuk sama-sama bersama saling melengkapi dengan tujuan yang selama ini sejak lama telah dibangun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H