Mohon tunggu...
Anggit Pujie Widodo
Anggit Pujie Widodo Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. ( Pramoedya Ananta Toer )

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kelana Kalis

7 Maret 2023   21:30 Diperbarui: 7 Maret 2023   21:58 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak tangga itu mengantarkannya pada sebuah kesadaran. Jika Lelaki itu memang belum sepenuhnya sadar. 

Dia sempat ikhlas, tapi ternyata itu bukan ikhlas, hanya mencoba untuk ikhlas dan bertengkar dengan isi kepala. 

Panas sinar matahari tak lagi dirasakan, puisi-puisi indah Chairil Anwar hanya dapat ia rasa namun tak dapat digapai. Sajak romantis yang tertulis untuk di kabarkan, kini hanya berupa arsip . 

Membukanya kembali bagai kembali masuk ke lubang yang sama. Kembali ke ranjang adalah pilihan tepat, berselimut kesendirian. 

Baginya tak mengapa, meskipun pijaknya masih tetap sama, juga akan biasa, sudah biasa dan akan terbiasa. 

Samar ..

Kata demi kata hanya tinggal coretan. Apa yang telah di semai tak terlihat tumbuh di depan mata. Rasanya hilang begitu saja, tanpa sebuah kepastian. 

Di sudut ruangan Lelaki itu bertatap jalan buntu. Tak ada orang lain selain dia. Semua hilang tapi tetap ada. 

Sedikit ia lontarkan kalimat penyesalan, lantunan setiap katanya menyayat dirinya sendiri. 

Ia sendiri, hanya sendiri, setiap kata yang keluar dari bibirnya ia ucapkan sendiri. 

'Bagaimana aku tahu kau mencintaiku, ketika aku sendiri tak tahu bagaimana mencintai diriku sendiri. Beribu pesan yang ku kirim, itu tak khayal hanya berupa sampah masa lalu yang kerap aku terima sendiri'

'Apa yang sekarang terjadi padaku, adalah tindakanku di masa lalu. Maaf kan aku yang tak memerhatikan, mempertahankan ego sendiri yang ujungnya hanya merusak harapan' 

'Aku yang berharap, aku pula yang menerima imbas harapan. Terlalu dalam aku terpaku pada harapku, hingga aku lupa, kau tak seserius itu padaku' 

'Ketika kau berpaling, aku sedih. Mencoba kuat hanya sehari, sisanya, aku mari terkapar sendiri. Kekasih, jika ruang dan waktu ini terbuka lagi, izinkan aku untuk menyapa dan menjabat tanganmu. Sembari ku ucapkan kata maaf padamu' 

'Maaf, 

Ruang dan waktu sudah terbuka kembali untuk Lelaki itu. Permintaan maaf atas apa yang telah terjadi dahulu ia sampaikan serang diri. Semua ya terlihat tidak nyata, namun itulah yang sedang terjadi. 

Lelaki itu terlalu berpangku tangan pada harap dan keyakinan nya sendiri. Peduli apa dia soal perasaan orang lain, dia merasa bisa tanpa harus berusaha lebih keras. 

Sampai pada akhirnya dia terlena, ketika kekasih hatinya berkelana membangun bahagia bersama orang lain. 

Tidak ada yang bisa ia perbuat, hanya sebongkah sesal dan ratapan. Sampai hari ini Lelaki itu masih belum percaya, melihatnya bukan seperti kenyataan. 

Lelaki itu memang belum sepenuhnya sadar, ada beberapa hal yang belum bisa ia terima dalam hidupnya. Tubuhnya berontak, walaupun isi kepala dan hatinya mencoba menerima. 

Yah, memang masa lalunya sedikit membuat dirinya mati kutu. Orang-orang di sekitarnya menganggapnya pandai, bahkan tak jarang beberapa dari mereka menumpahkan curahan hatinya ke lelaki itu. 

Dia bagai Robin Hood, selalu membantu orang lain, meskipun ia menyadari jika dirinya sendiri membutuhkan bantuan.

 Jika Robin mencuri harta orang kaya untuk dibagikan ke masyarakat kurang mampu, meskipun resiko yang akan diterima cukup besar, yakni ditangkap. 

Lelaki itu pun sama, dia rela membagikan seluruh pengalaman hidupnya, apa yang telah ia pelajari, buku yang ia baca, hanya untuk menjadi teman terbaik bagi orang sekitar, tanpa memperdulikan resiko yang akan diterimanya. 

Ia selalu terbuka dengan pemikiran orang lain, meskipun sulit buat orang lain mengerti jalan pikirannya. 

Tekanan dari atas tak membuat ia gentar, bahkan cenderung dilupakan. Tekanan dari kiri, membuatnya sedikit merasa was-was, apakah selama ini caranya memperlakukan sekitar sudah benar? 

Tekanan dari kanan, tidak berpengaruh apapun terhadapnya, segala nasihat yang datang hanya di 'Iya' kan saja, ia menganggap semua itu selalunia terima, bahkan sejak kecil. 

Tekanan dari bawah, sama sekali tak berbentuk, ia bisa mengatasi dengan pengetahuan yang ia miliki. 

Anak tangga itu, menghantarkannya ke gerbang masa lalu, perjalanan hidupnya kembali terungkap. 

Bukan hanya kisah asmara, namun segmen lainnya ikut terkuak. Berat baginya untuk kembali mengingat, seiring peluh berusaha melupakan. 

Lelaki itu mematung tanpa sepatah kata, ia berhadapan dengan sebuah pintu dalam lorong gelap tanpa pencahayaan.

Tak ada manusia lain disana, hanya dia seorang, menatap kosong kearah pintu yang terkunci rapat dengan gembok besar. 

Setelah beberapa waktu, Lelaki itu tersadar, jika ia tak bisa terus terbelenggu dalam hitamnya masa lalu. 

Pintu itu menggambarkan semuanya, lorong gelap, pintu terkunci, mengisyaratkan ia tidak boleh untuk berjalan ke masa depan. Cukup disini, berthanalah di masa lalu ! 

Dengan paksa, Lelaki itu menggedor pintu yang terkunci rapat, tiga kali ia mendobrak pintu itu namun hasilnya sia-sia. 

Ia hampir menyerah, tapi semua kenangannya mengajaknya untuk pergi menjauh. 

Ia terus mencoba, hingga pada dobrakan keenam pintu itu perlahan bisa terbuka. Dobrakannya begitu kencang, hingga membuat kunci gembok rusak, dan gagang pintu yang tak lagi utuh. 

Melihat itu, sedikit demi sedikit ia buka pintu tersebut. Dari ruang pintu yang terbuka sedikit itu, muncul cahaya, yang kemudian sedikit menerangi lorong gelap itu. 

Ngiiiieeeeek, brak ! 

Pintu itu terbuka seutuhnya. Lorong yang tadinya gelap, kini penuh cahaya seutuhnya. 

Bagian yang mulanya tak bisa ia raba, sekarang setiap sudutnya bisa terlihat begitu jelas. Lorong itu terlihat tidak utuh, ada beberapa bagian yang rusak, meskipun kebanyakan memang sudah rusak. 

Jika dilihat secara jelas, Lelaki itu percaya jika dulunya lorong itu bagus, terawat. Namun, karena tidak terawat semua menjadi tidak nikmat dipandang. Rusak, berdebu dan tak layak untuk disinggahi. 

Terlihat pula cat tembok berwarna kuning coklat yang sudah usang, tampaknya memang tidak pernah di cat ulang. 

Pintu terbuka, ia tak kunjung keluar, badannya menghadap kearah lorong, ia perhatikan setiap sudutnya. 

Beberapa menit, ia memutar badannya menuju kearsh pintu yang sudah terbuka, kaki kanannya berjalan, diiringi hentakan kaki kiri, hingga keduanya seirama berjalan menyusuri jalan keluar lorong. 

Seberkas cahaya menyilaukan pandangan. ia percaya jika itu ruang masa depan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun