"Benarkah Sus?"
Lalu suster itu meraba belakang telingan Miss Siska, dan menggeleng. Aku masih terbengong tak percaya. Sesaat sebelum berbicara berdua tadi, aku sempat berfikir tentang sakratul maut. Ternyata Tuhan mengatur sebuah sakratul maut guru tercintaku di hadapanku. Air mata meleleh perlahan di pipiku. Alangkah sedihnya, perempuan tua itu, pasti beliau sangat ingin ditunggui puterinya, Lavenia. Dan aku telah membohonginya, agar hatinya tenang.
Perawat itu menutup kepala Miss Siska dengan selimut.
"Anda puterinya?"
"Bukan, saya muridnya, murid TK-nya."
Pemakaman umum Tanah Kusir yang berangin. Yayasan telah mencatatkan nama Miss Siska untuk dimakamkan di pemakaman yang berlokasi di Jakarta Selatan itu. Aku mengajak Antariksa dan Elang untuk melayat.
Upacara Pemakaman sepi. Hanya beberapa saudara dan teman-temannya yang hadir termasuk puterinya Lavenia.
"Hallo Nia," sapaku kepadanya.
"Makasih Suzan, sudah menunggui Mama," katanya.
"Sama-sama," kataku.
"Sudah aku pikirkan sejak awal, jiwa Mama lebih menyatu dengan dirimu, daripada dengan aku, aku hanya anak yang terabaikan," katanya.