"Belum ada keluarga yang datang," katanya.
"Lho, puterinya?"
"Saya pikir, Mbak puterinya..."
"Bukankah puterinya Lavenia yang mengantarkannya ke sini?"
"Dia diantar pegawai yayasan, Mbak..."
"Pegawai yayasan?"
"Iya, panti jompo..."
Aku melompong. Tragisnya nasib guru TK ini. Tak terasa menggenang air mataku karena haru. Setelah pertemuan di kantor itu, Miss tidak memberitahu lagi bahwa dia sudah tinggal di panti jompo. Dan bukankah yang menghubungi teleponnya Lavenia. Ternyata selama ini puteri guru yang berkharisma itu, menitipkannya di sebuah panti jompo di Bandung. Dan sampai hari ini Lavenia belum menengoknya. Bahkan mungkin tak akan pernah menengoknya.
Kali ini benar-benar membuat aku ingin menangis. Aku kembali ke kamarnya. Dan aku lihat dia sudah membuka matanya. Ketika aku masuk, dia berkata:
"Nia, Nia sini nak..."
Pasti sudah berada di luar kesadaran. Jangan-jangan sudah mendekati harinya. Aku mendekatinya. Aku genggam tangannya. Matanya nanar memandangku. Aku balas dengan senyuman yang getir. Aku tahu, di saat seperti ini, pasti yang dirindukan adalah puterinya.