Aku Nania Margareth, kamu bisa memanggilku Nania. Aku mengagumimu dalam ketidak pedulian namun aku selalu memperhatikanmu dari kejauhan. Aku menyukaimu sejak saat itu......
Bruuukkkkk......Â
Semua kopi yang aku bawa untuk pelanggan mengotori jas hitammu yang mahal itu.Â
"Maaf, Maaf," Ucapku panik sembari mencoba membersihkan jasmu.
"Udah gak apa-apa kok," Balasmu lembut tanpa rasa marah sedikit pun kepadaku.
"Terus bagaimana Pak, Apa jas bapak saya bawa ke loundry pak, sebagai perminta maafan saya ke bapak." Aku masih merasa tidak enak saat itu.
"Udah, gak usah gak apa-apa. Nanti biar saya bersihkan sendiri di rumah."Â
"Tapi pak," tanyaku yang masih kaku dan merasa tidak enak.
"Ssst, udah gak apa-apa saya permisi, saya buru-buru." Laki-laki tampan berjas mahal itu meninggalkanku dengan perasaanku yang tidak enak dengannya.
Sampai ujung pintu Cafe lelaki itu membalik badannya ke arahku.
"Oh, ya, aku belum setua itu kau panggil bapak." Dia meninggalkan senyum yang membuatku merasa aneh.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan sejak kejadian itu. Hari ini aku akan pergi ke Dokter karena memang udah waktunya cek up bulanan.
"Oke, Nania kondisi kamu sudah sangat bagus dan membaik dari sebelumnya. Rajin-rajin happy ya dan jangan down mikirin ini semua." Ucap seorang dokter dengan senyum tipisnya.
"Siap dok, I will always happy. Kan, hidup terus berjalan gak mungkin aku habisin waktuku hanya untuk meratapi hal-hal yang sudah ditakdirkan kepadaku." Jawabku riang di depan dokter, padahal dibalik itu tersimpan banyak over thinking yang menyelimutiku.
"Good Grill"Â
cek Up pun sudah selesai aku berjalan keluar untuk menuju administrasi, tiba-tiba aku terdiam dan langkahku terhenti namun kedua mataku tertuju pada sepasang kekasih yang saling menguatkan.Â
"Aku tahu, bahwa rumah sakit adalah tempat paling tulus sekaligus menyakitkan, dimana aku bisa melihat orang-orang tulus yang mendampingi pasangan bahkan keluarganya saat mereka berjuang melawan penyakitnya, beruntunglah mereka yang harus melewatinya tidak sendiri, beda hal denganku." Ucapku lirih, sambil tersenyum tipis.
Usai segala urusan di rumah sakit, aku jalan-jalan di taman sembari melihat lampu-lampu jalanan yang indah, semua itu membuatku bahagia dan tidak kesepian, aku duduk di salah satu bangku taman diam sendiri dan menikmatinya, hatiku selalu berkata " Terimakasih Tuhan, atas takdir yang Kau takdirkan dalam hidupku, meski kadang agak menyakitkan tapi aku percaya Kau selalu punya rencana yang baik untukku."
"Merenung sendirian terkadang bisa membuat kita flashback ke hal-hal masalalu yang mungkin membuat kita sakit atau bahkan bisa membuat kita meratapi apa yang terjadi kepada kita sekarang, dan hanya diri kita sendiri yang tau." Terdengar suara laki-laki yang menurutku tidak asing, tapi aku tidak tahu namanya. Aku menolehkan kepala ke arahnya.
"Bapak yang waktu itu?" Tanyaku syok, ya orang ini adalah orang yang waktu itu tak sengaja aku tumpahin kopi.
"Kan, sudah aku bilang, aku belum setua itu untuk kamu panggil Bapak, kenalkan!" Ia mengulurkan tangan kanannya dan aku membalasnya.
"Edward, panggil aku edward!" Perintahnya kepadaku.
"Nania,"
"Nama yang cantik," Aku tersenyum.
"Oh ya, maaf ya untuk waktu itu!" Ucapku lembut.
"It's Okay... santai aja kok." jawabnya simpel.
"Btw, kamu ngapain disini?"
"Mungkin sama kayak kamu, melepas penat." Jawabnya datar kepadaku.
"O....., memang kamu suka ngelihatin lampu-lampu kota kayak gini juga?" tanyaku
"Enggak juga sih, sebenarnya aku lebih suka main ketempat bermain yang extream,kayak dufan gitu, lain kali boleh kita main bareng?"
"Of Course tentu,"
Sejak percakapan singkat saat itu, aku dan Edward menjadi teman dekat, kita banyak menghabiskan waktu untuk jalan-jalan berdua, bahkan deep talk bareng, hingga pada akhirnya kami pun saling jatuh cinta tapi enggan saling mengungkapkan satu sama lain. Dan tidak akan ada di kamusku rencana sama sekali untuk mengungkapkan perasaanku itu,  kenapa? karena pada saat itu aku merasa bahwa sakitku semakin parah, aku cuma takut akan menyusahkan dia, kadang aku ingin marah pada keadaan tapi aku selalu percaya bahwa Tuhan selalu punya rencana yang indah untukku. Dan benar, saat itu penyakitku bertambah parah dan aku harus stay sendirian di rumah sakit karena aku tak punya keluarga yang bisa aku percaya, ayah dan Ibu sudah pergi dan aku sendiri, bahkan sering kali aku meminta Tuhan untuk mengakhiri ini semua agar aku bisa sama-sama lagi dengan mereka.
Ting... Ting...
bunyi pesan masuk ke  Wa ku...
"Kamu kemana aja sih, aku cari ke rumahmu gak ada."
"Eh, sorry lupa kabarin Ward, aku lagi di rumah tanteku yang ada di Bogor untuk seminggu, udah gak usah kangen... hahaha" balas pesanku kepadanya.
"Gimana gak kangen, are you is the best girl in my life after my mom. Buruan balik sih kamu, ada yang mau sampaikan,"
"Iya, doain urusannya cepet selesai ya disini."
"Iya,"
Aku menaruh HPku di meja, air mataku jatuh dengan deras, aku mengingikan dia disini di saat - saat terakhirku, tapi aku sadar aku gak boleh seegois itu untuk melihat dia repot menjagaku, yang pada akhirnya aku akan melukainya dengan perpisahan paling menyakitkan. Kalau ditanya, aku sangat mencintaimu Edward, tapi aku tidak boleh egois kan.
"Hai, Bidadari." Sapa dokter yang masuk ke kamarku,
"Iya dok, bentar lagi bakalan jadi Bidadari surga." Jawabku sembari tertawa.
"Nania, kenapa sekarang kamu jadi pesimis seperti ini, setelah operasi ini kamu pasti bisa sembuh kok." Dokter mencoba menghiburku.
"Hmmm, apapun hasilnya nanti, aku sudah ikhlas akan takdir apapun yang akan aku terima Dok, ayok dok, mau operasi sekaran? aku sudah sangat siap."
Dokter hanya menganggukkan kepalanya, lalu tersenyum dan membawa aku ke Ruang Operasi.
"Oh ya dok, aku titip surat ini untuk seseorang laki-laki baik, yang bernama edward ya dok. Tapi, kasihnya kalau operasiku gagal, tapi kalau gak gagal ya gak usah."
"Saya, pasti tidak akan pernah kasih surat ini untuk Edward. Karena saya percaya kamu pasti bakalan sembuh." Entah kenapa dokter ini tiba-tiba menumpahkan air matanya.
Operasi akhirnya dimulai, setelah berjalan 2 jam lebih akhirnya operasi dinyatakan selesai. Dokter dengan perlahan menutup wajahku dengan selimut rumah sakit yang bewarna hijau. Ya, operasi ini pasti gagal. Dokter dan perawat membawa jenazah ke kamar jenazah, dan perjalanan mendorongku ke kamar jenazah, kain diwajahku terbuka. Ya saat itu Edward lewat dan menemukannku dalam keadaan yang tidak ingin dilihatnya, dia panik dan menangis sejadi-jadinya. Mungkin kalau aku masih hidup, aku akan bersykur bahwa aku bisa tahu dan hidup lebih lama dengan orang yang begitu sangat peduli denganku.
Aku Nania Margareth, ingin bilang apapun takdirmu, apapun yang harus kamu jalani, suka tidak suka tetap percayalah bahwa semua takdir adalah yang terbaik bagi kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H