Mohon tunggu...
Angger Firmansyah
Angger Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Relater

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selaksa Asa di Bawah Tudungan Gemintang

26 Oktober 2021   23:07 Diperbarui: 26 Oktober 2021   23:51 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara jangkrik dan burung hantu dengan penerangan seadanya dari dewi malam menemani Langkah amir malam ini. Hari ini sekaligus menjadi hari terakhirnya mendapatkan gaji bulanan dari tempatnya bekerja karena kondisi keuangan tempat amir bekerja yang terus menurun dan berujung pengurangan karyawan.

Amir tak sendiri. Ia Bersama Dayat yang kini juga tengah meratapi nasib. Terbiasa mengais nafkah bersama selama empat tahun terakhir membuat layaknya saudara serahim.

"Kalau saja aku memilih tawaran kawanku ke seberang waktu itu, mungkin hari ini aku masih duduk santai tanpa memikirkan uang beras mamakku besok pagi," gerutu Dayat sambil melemparkan sebuah kerikil.

"Kalau saja kau menerima tawaran kawanmu, entah sampai kapan mamakmu akan menunggumu. Bisa saja kau ditahan aparat di seberang sana karena tidak memiliki paspor. Sudahlah kawan! Jauh jauh hari Tuhan sudah tuliskan takdir untukmu," sahut Amir sembari tangannya sibuk menghitung pesangon dari sang tuan yang membuat raut mukanya semakin layu.

"Lalu, mau apa sekarang ? SPP mu harus dibayar minggu depan kan?" tanya Dayat. Amir pun hanya sanggup bergeming, lidahnya terlalu kaku untuk menjawab pertanyaan Dayat. Kenyataan bahwa ia hanya membawa uang pesangon sebagai gaji terakhir sangat menyayat baginya.

Rumah gubuk Amiir dan Dayat masik berjarak satu kilo dari warung Bang Bonar di perempatan. Rasa lapar yang cukup menyiksa membelokkan langkah mereka ke warung itu. Di dalam warung tersebut terdapat dua pemuda berkemeja biru dan merah tengah menyeruput kopinya.

"Bang Bonar Kopi satu!" seru Amir. Tangannya menyomot sebungkus nasi uduk di meja. Ia bagi nasi itu menjadi dua bagian beserta lauknya yang juga dibagi dua.

"Separuh separuh ya boy,' kata amir kepada Dayat yang hanya mengangguk tanda mengiyakan.

Gumpalan asap dari kopi yang masih panas terlihat sangat menggoda. Namun, mereka harus benar benar menghemat agar uang pesangon tak berkurang banyak. Terpaksa kopi dan nasi uduk pun mereka harus berbagi satu sama lain.

"Anak anak yang sudah remaja di jalanan itu biar kutampung dulu semasa pandemi. Nanti mereka ku bina biar bisa bantu bantu penyuluhan di beberapa tempat. Pastilah diantara mereka ada bakat bakat tersembunyi. Kalua kita buka pendaftaran online lagi, pengeluaran bakal lebih besar dari modal," tutur pemuda berkemeja biru.

"Atur saja,lah. Pusing aku," jawab pemuda berkemeja merah.

"Atau kamu mau aku sebar pamflet dijalan jalan sama seperti awal kita merintis?" tanya pemuda berkemeja biru.

"Terserah. Aku ikut saja, pening kepalaku." jawab pemuda berkemeja merah lagi.

"Bersyukurlah kamu berhadapan dengan orang sabar sepertiku. Kalua tidak, sudah kutoyor kepalamu dari tadi. Ini kan sudah masuk new normal. Semuanya mulai beranjak seperti semula. Kalua kita diam saja, apa gunanya dulu kita dirikan komunitas ini? Visi kita kan melakukan aksi untuk membantu, bukan malah berpangku tangan menunggu bantuan dari pemerintah. Sekali kali kita yang harus memulai." Tutur pemuda berkemeja biru menasehati rekannya.

"Masalahnya, memang ada dana? Kalua bergerak tapi tidak ada sepeser pun dana , ya bisa apa!" jawab pemuda berkemeja merah dengan nada tinggi.

"Alah, dari awal yang kamu pikirkan selalu saja soal dana. Coba ingat lagi! Berapa kali kita terpaksa ambil pinjaman di bank? Berapa kali kita harus menjual barang pribadi untuk menutup kekurangan yang ada? Tapi nyatanya kita bisa bertahan. Bahkan, sudah tujuh tahun komunitas ini berdiri sejak awal kita masuk SMA. Masalah dana selalu berhasi kita atasi. Lalu, sekarang kamu mau berhenti bergerak begitu saja?" kata pemuda berkemeja biru.

"Bang, kepalaku makin pening dengar celotehanmu. Tak hanya kau yang susah. Lihat, aku dan kawanku hanya membawa uang pesangon yang tak seberapa! Selepas ini, uang ini akan dipakai beli beras, gula, dan lauk pauk lainnya. Lalu, habis tak bersisa. Entah sampai kapan aku akan tersiksa melihat mamak menangis karena hanya bisa beli garam sebagai lauk untuk hari hari berikutnya," sela Dayat di tengah perdebatan kedua pemuda itu.

"Ayo boy! Bapakku pasti sudah menunggu sambal bertolak pinggang di depan gubuk reyotnya sekarang. Bisa bisa besok aku tak bisa menemuimu karena memar sekujur tubuh," ajak amir pulang.

"Jangan berdebat lagi ya bang! Kasihan tetangga sekitar," kata Dayat kepada kedua pemuda tadi sembari membayar kepada Bang Bonar.

Dayat dan Amir bergegas melanjutkan perjalanan. Mereka masih membutuhkan sekitar lima belas menit lagi untuk merebahkan badan dan pikiran di gubuknya masing masing.

"Pulang kemana?" Tanya pemuda berkemeja biru dengan ramah.

"Kampung pelita, bang. Tepat di tepi sungai," jawab amir dengan pandangan risih terhadap pemuda berkemeja merah yang terlihat tak bersahabat.

"Oh ya, maafkan temanku ini yang agak ketus ya. Biasalah, pikirannya sedang penuh oleh berbagai permasalahan hidup. Kaku dia, semua dipikirkan," imbuh pemuda berkemeja biru.

Akhirnya mereka berjalan Bersama sembari bersenda gurau serta bercerita sepanjang perjalanan. Kedua pemuda tersebut ternyata pendiri sebuah komunitas yang Bernama Komunitas Pemuda Peduli. 

Karena pandemi yang tak kunjung usai, semua anggotanya memutuskan rehat dan melakukan pekerjaan lain yang lebih menghasilkan. Alhasil, hanya tinggal mereka berdua yang kini sedang kebingungan berbuat apa dengan dana yang terbatas. Mereka harus tetap melakukan sesuatu agar dunia segera pulih. 

Apalagi di era new normal dimana beberapa kegiatan sudah mulai berjalan seperti semula. Pemuda berkemeja biru merasa bertanggung jawab untuk tetap mengembangkan serta menjaga komunitasnya dan membantu orang orang yang membutuhkan.

"Sifatnya memang relevan. Tak ada uang banyak yang akan kalian bawa pulang. Justru mungkin Lelah dan penat yang akan dirasakan. Kalau soal pengalaman, inilah keuntungan paling menjanjikan. Kami bukannya komunitas ecek ecek yang akan menelantarkan kalian tanpa bekal apapun,kok. Ketika kalian memutuskan bergabung, sepenuhnya kalian jadi tanggung jawab kami." Ungkap pemuda berkemeja merah yang mulai mencair.

"Memangnya kegiatan seperti apa yang abang rencanakan? Apa pantas kami bergabung dengan komunitas abang yang terlihat elit?" Amir merasa tak enak hati jika nantinya hanya menyusahkan mereka berdua karena ia merasa tak memiliki skill apapun.

"Penyuluhan. Kita datang ke daerah daerah dan melakukan pendekatan persuasif agar masyarakat mau berkegiatan dengan tetap mematuhi protokol Kesehatan. Nanti kita juga akan menjangkau khalayak yang lebih luas dengan menyebarkan poster poster imbauan di media sosial. Oh ya, soal pertanyaanmu yang kedua, kami merasa tak enak hati jika menolak kalian. Komunitas kami merangkul semua kalangan. Satu lagi, kalian akan dibekali dengan berbagai kemampuan seperti yang aku bilang tadi," jawab pemuda berkemeja merah yang semakin akrab.

"Kalian baru dipecat kan? Masih daring juga kan sekolahnya?" tanya pemuda berkemeja biru yang dibalas oleh anggukan Amir dan Dayat.

"Ya, mungkin kami nggak bisa menjamin uang bulanan seperti yang kalian dapat kemarin. Tapi setidaknya kami bisa pastikan kalian nggak akan makan nasi pakai garam," tegas pemuda berkemeja biru meyakinkan.

Mereka pun berpisah dijalan masuk kampung dengan saling mengucapkan selamat tinggal. Amir dan Dayat pulang membawa harapan baru. Uang pesangon di saku kini terasa lebih berat karena semangat baru yang dibawa kedua pemuda itu yang tak sempat mereka tanya namanya.

Tak lama kemudian, tiba tiba Amir menggigit batu kecil di nasi uduknya. Sontak, ia seperti disadarkan akan sesuatu. Amir menoleh ke kanan dan kiri yang kemudian dibarengi dengan saling pandang dengan Dayat yang juga kebingunan. Mereka mencari pemuda yang tadi berbincang dengan mereka. Namun kenyataannya adalah mereka masih di warung Bang Bonar.

"Bang, dari tadi Cuma ada kita berdua?" tanya Amir penasaran.

"Iya mir, hanya ada kau dan Dayat yang beli," jawab Bang Bonar yang juga menjadi kebingungan dengan wajah Amir dan Dayat.

Amir dan Dayat pun bergegas membayar dan segera pergi dari warung tersebut. Ribuan pertanyaan mengitari kepala mereka. Rasanya mereka ingin menampik fakta bahwa mereka berdua berhalusinasi.

Dalam perjalanan pulang menyusuri jalan berbatu dan dipayungi rimbunnya pohon bambu. Tak lama kemudian mereka tertawa terbahak bahak menyadari apa yang telah terjadi tadi ternyata halusinasi mereka berdua.

Melalui pencerminan dua pemuda tadi dan semua kemiripan sifat mereka dengan Amir dan Dayat, seolah menunjukkan cara baru dalam menghadapi masalah yang ada. Begitulah hebatnya kuasa tuhan pada hamba hambanya.

"Kau sudah seperti saudara kandungku , boy. Bahkan kita seperti bertelepati melalui halusinasi yang sama,' kata Amir sambil tertawa, ia tak menyangka akan membayangkan hal yang sama dengan Dayat.

"Sudah mir, sudah. Sakit perutku mengingatnya. Lucu ya bagaimana cara tuhan mengingatkan dan menyadarkan kita. Ayolah! Setelah ini kita susun rencana yang hebat, pandemi bukan jadi alasan untuk putus asa bukan, temanku?" balas dayat dengan senyuman lebar.

Dua bocah tadi yang awalnya putus asa, kini pulang dengan membawa harapan baru. Uang pesangon yang tak seberapa terasa penuh dengan semangat mereka. Bedanya, kali ini semangat itu nyata, bukan halusinasi.

Kini justru kepala mereka penuh dengan ide ide hebat. Keluar dari zona nyaman sebagai karyawan. Mulai membantu orang yang membutuhkan dengan bakat mereka yang selama ini terpendam. Kedua pemuda dalam halusinasi tadi mengajarkan mereka cara untuk tetap beraksi di situasi sulit.

Malam tiba dengan langit berbintang, Dayat yang sedang di pintu belakang berbincang dengan Amir yang berada di kamar mandi belakang rumahnya.

"Esok, biar aku yang mulai mendesain poster di warnetnya opung togar. Tak usah kau pikirkan masalah duitnya, biar itu jadi urusanku, Mir." Dayat berseru di pintu rumah nya.

"Bagus, boy. Biar aku yang berkeliling ke kampung kampung, biarkan si jenius ini berjalan pada alur yang seharusnya." Jawab Amir berteriak dari Kamar mandi rumahnya"

Kau yang harus memulai mir, batin Amir menunjukkan tekad yang kuat dan merasa segar setelah membersihkan diri.

Mata Amir berbinar memandang gemintang, sejenak menghirup udara malam. Lalu menutup pintu dan mempersiapkan diri untuk menyambut pagi yang baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun