"Oh ya, maafkan temanku ini yang agak ketus ya. Biasalah, pikirannya sedang penuh oleh berbagai permasalahan hidup. Kaku dia, semua dipikirkan," imbuh pemuda berkemeja biru.
Akhirnya mereka berjalan Bersama sembari bersenda gurau serta bercerita sepanjang perjalanan. Kedua pemuda tersebut ternyata pendiri sebuah komunitas yang Bernama Komunitas Pemuda Peduli.Â
Karena pandemi yang tak kunjung usai, semua anggotanya memutuskan rehat dan melakukan pekerjaan lain yang lebih menghasilkan. Alhasil, hanya tinggal mereka berdua yang kini sedang kebingungan berbuat apa dengan dana yang terbatas. Mereka harus tetap melakukan sesuatu agar dunia segera pulih.Â
Apalagi di era new normal dimana beberapa kegiatan sudah mulai berjalan seperti semula. Pemuda berkemeja biru merasa bertanggung jawab untuk tetap mengembangkan serta menjaga komunitasnya dan membantu orang orang yang membutuhkan.
"Sifatnya memang relevan. Tak ada uang banyak yang akan kalian bawa pulang. Justru mungkin Lelah dan penat yang akan dirasakan. Kalau soal pengalaman, inilah keuntungan paling menjanjikan. Kami bukannya komunitas ecek ecek yang akan menelantarkan kalian tanpa bekal apapun,kok. Ketika kalian memutuskan bergabung, sepenuhnya kalian jadi tanggung jawab kami." Ungkap pemuda berkemeja merah yang mulai mencair.
"Memangnya kegiatan seperti apa yang abang rencanakan? Apa pantas kami bergabung dengan komunitas abang yang terlihat elit?" Amir merasa tak enak hati jika nantinya hanya menyusahkan mereka berdua karena ia merasa tak memiliki skill apapun.
"Penyuluhan. Kita datang ke daerah daerah dan melakukan pendekatan persuasif agar masyarakat mau berkegiatan dengan tetap mematuhi protokol Kesehatan. Nanti kita juga akan menjangkau khalayak yang lebih luas dengan menyebarkan poster poster imbauan di media sosial. Oh ya, soal pertanyaanmu yang kedua, kami merasa tak enak hati jika menolak kalian. Komunitas kami merangkul semua kalangan. Satu lagi, kalian akan dibekali dengan berbagai kemampuan seperti yang aku bilang tadi," jawab pemuda berkemeja merah yang semakin akrab.
"Kalian baru dipecat kan? Masih daring juga kan sekolahnya?" tanya pemuda berkemeja biru yang dibalas oleh anggukan Amir dan Dayat.
"Ya, mungkin kami nggak bisa menjamin uang bulanan seperti yang kalian dapat kemarin. Tapi setidaknya kami bisa pastikan kalian nggak akan makan nasi pakai garam," tegas pemuda berkemeja biru meyakinkan.
Mereka pun berpisah dijalan masuk kampung dengan saling mengucapkan selamat tinggal. Amir dan Dayat pulang membawa harapan baru. Uang pesangon di saku kini terasa lebih berat karena semangat baru yang dibawa kedua pemuda itu yang tak sempat mereka tanya namanya.
Tak lama kemudian, tiba tiba Amir menggigit batu kecil di nasi uduknya. Sontak, ia seperti disadarkan akan sesuatu. Amir menoleh ke kanan dan kiri yang kemudian dibarengi dengan saling pandang dengan Dayat yang juga kebingunan. Mereka mencari pemuda yang tadi berbincang dengan mereka. Namun kenyataannya adalah mereka masih di warung Bang Bonar.