"Atau kamu mau aku sebar pamflet dijalan jalan sama seperti awal kita merintis?" tanya pemuda berkemeja biru.
"Terserah. Aku ikut saja, pening kepalaku." jawab pemuda berkemeja merah lagi.
"Bersyukurlah kamu berhadapan dengan orang sabar sepertiku. Kalua tidak, sudah kutoyor kepalamu dari tadi. Ini kan sudah masuk new normal. Semuanya mulai beranjak seperti semula. Kalua kita diam saja, apa gunanya dulu kita dirikan komunitas ini? Visi kita kan melakukan aksi untuk membantu, bukan malah berpangku tangan menunggu bantuan dari pemerintah. Sekali kali kita yang harus memulai." Tutur pemuda berkemeja biru menasehati rekannya.
"Masalahnya, memang ada dana? Kalua bergerak tapi tidak ada sepeser pun dana , ya bisa apa!" jawab pemuda berkemeja merah dengan nada tinggi.
"Alah, dari awal yang kamu pikirkan selalu saja soal dana. Coba ingat lagi! Berapa kali kita terpaksa ambil pinjaman di bank? Berapa kali kita harus menjual barang pribadi untuk menutup kekurangan yang ada? Tapi nyatanya kita bisa bertahan. Bahkan, sudah tujuh tahun komunitas ini berdiri sejak awal kita masuk SMA. Masalah dana selalu berhasi kita atasi. Lalu, sekarang kamu mau berhenti bergerak begitu saja?" kata pemuda berkemeja biru.
"Bang, kepalaku makin pening dengar celotehanmu. Tak hanya kau yang susah. Lihat, aku dan kawanku hanya membawa uang pesangon yang tak seberapa! Selepas ini, uang ini akan dipakai beli beras, gula, dan lauk pauk lainnya. Lalu, habis tak bersisa. Entah sampai kapan aku akan tersiksa melihat mamak menangis karena hanya bisa beli garam sebagai lauk untuk hari hari berikutnya," sela Dayat di tengah perdebatan kedua pemuda itu.
"Ayo boy! Bapakku pasti sudah menunggu sambal bertolak pinggang di depan gubuk reyotnya sekarang. Bisa bisa besok aku tak bisa menemuimu karena memar sekujur tubuh," ajak amir pulang.
"Jangan berdebat lagi ya bang! Kasihan tetangga sekitar," kata Dayat kepada kedua pemuda tadi sembari membayar kepada Bang Bonar.
Dayat dan Amir bergegas melanjutkan perjalanan. Mereka masih membutuhkan sekitar lima belas menit lagi untuk merebahkan badan dan pikiran di gubuknya masing masing.
"Pulang kemana?" Tanya pemuda berkemeja biru dengan ramah.
"Kampung pelita, bang. Tepat di tepi sungai," jawab amir dengan pandangan risih terhadap pemuda berkemeja merah yang terlihat tak bersahabat.