Di Jakarta…
“Kelapa Gading… Kelapa Gading… Terakhir…terakhir…” terdengar teriakan kernet bus yang Tono tumpangi. “Mau kemana mas? Ini pemberhentian bus terakhir.” lagi si kernet berbicara kepada Tono.
“Belum tau sih mas, saya turun sini saja,” sahut tono sambil beranjak dari kursinya. "Terima kasih."
Wahhh… rame yo tibak e jakarta iki! Aku bingung iki mesti mlaku nang endhi³. Ujar tono dalam hati.
Ada yang melihat Tono sedang bingung rupanya, tapi sepertinya dia bukan orang baik-baik. Dan ternyata benar. Orang itu menipu Tono, bukannya mengantar Tono ke tempat yang Tono ingini seperti yang orang itu janjikan. Justru, dia membawa Tono ke tempat yang sepi, jauh dari keramaian. Lalu, dia meminta semua uang yang dibawa Tono, dengan cara mengancamnya menggunakan pisau.
“Waduhhh… yang begini ini tak pikir cuman ada di film-film,” kata Tono dalam hati dengan suasana mencekam. Dia berteriak minta tolong! Tapi tak ada yang mendengar, tak ada yang peduli. Jakarta… oh Jakarta…!
Kepala tertunduk, masuk dalam lutut yang tertekuk. Tono menangis.
Bapak! Aku takut! Aku mau pulang! jerit Tono dalam hati. Semalaman ia di tempat itu, sendiri, takut, dan lapar.
Keesokan hari, pagi-pagi benar, Tono terbangun. Untunglah, masih ada orang baik yang lewat. Seorang ibu paruh baya berwajah ramah. Dia menghampiri Tono. Akan tetapi, Tono masih takut kalau ibu itu akan melukainya seperti yang terjadi semalam.
“Tidak apa-apa nak,” hibur ibu itu sambil mengelus rambut Tono. “Kamu kenapa ketakutan seperti itu?”
Meski pada awalnya Tono ragu dengan sikap ibu tersebut, akhirnya Tono menjelaskan semua kejadian ketika ia dibegal bahkan mengenai niat nikah ayahnya dengan bercucuran air mata. Ini air matanya yang pertama keluar setelah sepuluh tahun lalu sudah dihabiskannya untuk menangisi ibunda tercintanya. Dia tertunduk malu.