Mohon tunggu...
Angelline Kezia
Angelline Kezia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Suka bernyanyi walau suara sumbang, suka traveling walau kantong kering, suka masak apalagi makan. Tapi paling enak itu indomi rasa mi aceh dan makan es krim waktu hujan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ternyata

7 Juli 2022   13:33 Diperbarui: 7 Juli 2022   13:37 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Byuurr…

Tono menceburkan tubuhnya ke dalam sungai. Bening, dingin, nan segar. Namun, tak sama dengan apa yang ada di pikiran Tono. Keruh, kacau plus galau. Rupanya aliran sungai yang lembut itu tak jua dapat menghanyutkan gundah gulana hati Tono. Terlalu banyak ketakutan, keraguan, praduga yang berkecamuk dalam pikirannya. Sejenak lamunan Tono buyar tatkala mendengar alunan lagu “…nanging yen waktune uwes teko… Ku pengen kowe dadi bojo ku…. Mlaku bebarengan neng srengenge lan udan… Mlayu-mlayu mrono-mrene karo ngguya-ngguyu¹” (Akad-Payung Teduh dalam bahasa Jawa: https://youtu.be/8ZRiyouqVQs). Ya, maklum saja, lagu itu sedang jadi trend di kampung Tono, bahkan lebih ngetrend dari lagu dalam bahasa aslinya. Rupanya, Saidlah yang membawa lagu itu sampai ke telinga Tono. Sambil melepas sarungnya, Said meletakkan radionya di atas bebatuan di pinggir sungai, lalu segera menyusul Tono berendam dalam air sungai. 

Tono dan Said bersahabat, mereka tinggal di suatu desa yang begitu indah, tenang dan bersahaja. 

“Kamu kenapa Ton? Dari raut mu kelihatan kalau kamu sedang banyak pikiran” tanya Said. “Ono masalah oposeh? Yen pingin crita, crita wae!”

Tono tersenyum lalu menggeleng. 

Jane mung siji sing dadi pikirku, bapakku kuwi. Nanging ngalahi mikir ne wong sak kampung, puyeng aku Id!²” 

Ayah tono seorang petani yang sukses, sawahnya luas, punya banyak pegawai. Juga menguasai dan memiliki alat-alat pertanian yang modern. Tak heran jika beliau menjadi orang terpandang di kampung. Bukan hanya karena kekayaannya, tapi juga karena beliau dermawan. Tono adalah anak satu-satunya. Sudah hampir sepuluh tahun ibunda Tono meninggal, ketika itu Tono baru berusia tujuh tahun. Selama itu Tono sudah cukup bahagia hanya hidup bersama ayahnya.

Namun, kini semua sepertinya akan berubah, sang ayah ingin menikah lagi. 

“Tono, kenalkan ini calon ibu kamu,” kata ayah Tono kala itu. 

Wahhh…, kaget setengah mati Tono dibuatnya, seketika bibirnya kelu, tak ada jawaban apapun yang keluar darinya. Tono takut kalau ia akan menjadi seperti Cinderella yang diperbudak oleh ibu tirinya. Seketika bayangan-bayangan ibu tiri yang kejam yang ia lihat di layar kaca memenuhi pikirannya. Membayangkan saja sudah membuat Tono kacau, bagaimana saat dia menjalani kehidupan seperti itu? 

Dari sinilah cerita ini bermula.

“Pak, nanti setelah bapak menikah, aku mau pindah sekolah!” ujar Tono.

“Baik, kamu mau pindah sekolah dimana nak?” sang ayah merespon. 

“Di jakarta pak…”

Kagetnya ayah, jantungnya serasa melompat keluar dari rongga dada. 

“Untuk apa kamu pindah sekolah jauh-jauh?” tanya ayah Tono dengan sedih. “Lagipula, kamu tidak punya siapa-siapa di sana. Kita tidak punya sanak saudara di Jakarta.” nada ayah agak meninggi. 

“Yang penting bawa uang pak, saudara bisa dicari kalau banyak uang,” kata Tono seperti sangat yakin dengan ucapannya. 

Sebenarnya, Tono tak suka meninggalkan kampungnya yang tentram, tapi untuk apa jika hatinya tak lagi bisa merasa tentram ada di situ. Dia takut ibu tirinya jahat!

Akhirnya, dengan berat hati, bapak melepas juga kepergian Tono ke Jakarta. Berbekal uang dan juga salinan surat-surat pribadinya, Tono nekat berangkat sendiri. 

“Biar bapak antar kamu sampai Jakarta, lalu bapak carikan sekolah dan tempat tinggalmu,” desak ayah. 

Ndak pak, aku sudah besar, bisa aku atur sendiri semua. Asal ada uang.” tangan Tono bergetar menahan rasa sedihny.

Sungguh sakit hati Tono mengatakan hal itu pada sang ayah, dia terpaksa mengatakan hal itu, sebenarnya, dia tak suka menyakiti hati ayahnya, dia bukan anak durhaka.

Di Jakarta…

“Kelapa Gading… Kelapa Gading… Terakhir…terakhir…” terdengar teriakan kernet bus yang Tono tumpangi. “Mau kemana mas? Ini pemberhentian bus terakhir.” lagi si kernet berbicara kepada Tono. 

“Belum tau sih mas, saya turun sini saja,” sahut tono sambil beranjak dari kursinya. "Terima kasih."

Wahhh… rame yo tibak e jakarta iki! Aku bingung iki mesti mlaku nang endhi³. Ujar tono dalam hati.

 Ada yang melihat Tono sedang bingung rupanya, tapi sepertinya dia bukan orang baik-baik. Dan ternyata benar. Orang itu menipu Tono, bukannya mengantar Tono ke tempat yang Tono ingini seperti yang orang itu janjikan. Justru, dia membawa Tono ke tempat yang sepi, jauh dari keramaian. Lalu, dia meminta semua uang yang dibawa Tono, dengan cara mengancamnya menggunakan pisau. 

“Waduhhh… yang begini ini tak pikir cuman ada di film-film,” kata Tono dalam hati dengan suasana mencekam. Dia berteriak minta tolong! Tapi tak ada yang mendengar, tak ada yang peduli. Jakarta… oh Jakarta…!

Kepala tertunduk, masuk dalam lutut yang tertekuk. Tono menangis. 

Bapak! Aku takut! Aku mau pulang! jerit Tono dalam hati. Semalaman ia di tempat itu, sendiri, takut, dan lapar.

Keesokan hari, pagi-pagi benar, Tono terbangun. Untunglah, masih ada orang baik yang lewat. Seorang ibu paruh baya berwajah ramah. Dia menghampiri Tono. Akan tetapi, Tono masih takut kalau ibu itu akan melukainya seperti yang terjadi semalam. 

“Tidak apa-apa nak,” hibur ibu itu sambil mengelus rambut Tono. “Kamu kenapa ketakutan seperti itu?”

Meski pada awalnya Tono ragu dengan sikap ibu tersebut, akhirnya Tono menjelaskan semua kejadian ketika ia dibegal bahkan mengenai niat nikah ayahnya dengan bercucuran air mata. Ini air matanya yang pertama keluar setelah sepuluh tahun lalu sudah dihabiskannya untuk menangisi ibunda tercintanya. Dia tertunduk malu.

Mendengar semua penjelasan Tono, ibu itu menangis. Sambil memegang tangan Tono, membantunya berdiri, ibu itu berkata, “Mari nak, ikut ibu. Kau ingin pulang sekarang?” 

"Lembut sekali suara ibu ini," pikir Tono. 

“Iya bu, aku ingin pulang.”

Wanita berhati baik itu menaikkan Tono ke atas bus yang akan membawa Tono pulang, ia membayar semua ongkos perjalanan Tono. Tidak lupa, ibu itu berpesan kepada sopir supaya mengantar Tono sampai ke kampungnya. 

“Terimakasih banyak bu,” kata Tono sambil terus mengusap air matanya.

Sampai juga Tono di depan rumahnya. Tono langsung disambut oleh ayahnya.

“Bapak, aku pulang!” teriak Tono sambil menghambur ke pelukan ayahnya. Lagi-lagi, dia menangis. 

“Maafkan aku pak!” katanya setengah berteriak.

Sang ibu tiri pun bergegas keluar dari dalam rumah, menyambut Tono, dan memeluk Tono. Mengusap rambutnya, air matanya dan sepertinya juga menghapus ketakukan Tono. 

“Ibu senang nak kamu pulang, semalaman kami tidak tidur karena memikirkanmu, kami terus berdoa untukmu,” kata ibu tirinya perlahan sambil terus mengusap rambut Tono. 

Entah mengapa Tono merasa nyaman dalam pelukan ibu tirinya, dia aman. Sudah lama dia tak merasa pelukan seperti ini, pelukan seorang ibu. 

“Maafkan aku ibu, ku kira, ibu adalah ibu tiri yang jahat,” ujar Tono sambil menangis di pelukan ibu tirinya. “Ternyata, ibu sangat peduli padaku.”  

Ternyata, tak semua ibu tiri itu jahat. Lagi-lagi ternyata, ibu kota lebih kejam dari ibu tiri.

Terjemahan bahasa Jawa.

1 : “…bila nanti saatnya tlah tiba, ku ingin kau menjadi istriku, berjalan bersamamu dalam terik dan hujan, berlarian ke sana kemari dan tertawa…”

2 : “Sebenarnya hanya satu yang jadi pikiranku, ayahku. Memikirkan beliau lebih dari memikirkan orang satu kampung. Pusing aku!”

3 : “Ternyata, Jakarta itu ramai. Aku bingung mau kemana.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun