Tadi malam, Bang Je datang dalam mimpiku.
Ukh….
Kali ini Dia nggak make jubah putih seperti sering Dia kenakan. Entah karena emang udah nggak ada lagi baju serupa atau lagi ingin ada variasi, dengan senyumNya yang emang aduhai itu, Bang Je datang dengan riang gembira.
“Apa kabar, anakKu?” sapaNya ramah. Dia duduk berhadap-hadapan denganku.
“Baik,” jawabku nggak kalah riang. “Tumben make baju ijo? Kayak warna daun aja.”
“Hmm…,” Dia memegangi ujung jubahnya seperti ingin memastikan warna hijau pupus layaknya warna daun seperti yang barusan aku katakan. “Bukan ijo warna kesukaanmu?”
Aku mengangguk-angguk. “Iya sih. Cuma, kalo Abang yang make, aneh aja.”
“Kenapa? Apa karena kamu biasa melihatKu mengenakan jubah putih atau krem, begitu?”
“Bisa jadi. Hijau kan juga bukan kebanggaan pengikutMu. Bukannya kuning?”
Bang Je memegang ujung daguNya. Kali ini jenggot yang jadi salah satu trade marknya rada dicukur dikit. Lebih rapi. Sementara rambutNya tetap gondrong, tapi rapi deh. Agak curiga aku, jangan-jangan Dia sempat ke salon dulu tadi. Abis, kok rambutNya itu jadi terlihat kemilau, memukau gitulah. Jarang-jarang kan cowok sampe segitunya merhatiin rambut. O ya, selain rapi, rambut Bang Je juga wangi… uuuhhhh…. Mirip iklan sampo dah.
“Aku nggak ngerti,” Bang Je mulai bicara lagi, “sejak Aku menciptakan kamu, Aku telah memberi mu kehendak bebas. Memberimu akal budi untuk berkreativitas. Tapi, kadang-kadang kok kamu ini seneng dengan keadaan yang itu-itu aja. Tidak mencoba cari hal baru, tidak melulu hal yang sama setiap hari. Contohnya, saat Aku pakai baju ini. Pandanganmu mendadak aneh.”
“Abis, Bang Je jadi aneh. Beda. Rada kinclong. Mata sampe nggak berkedip melihatMu,” belaku.
“Tapi, tetap ganteng kan?” goda Bang Je rada genit. Dia mengedipkan sebelah mataNya. Achhhh…., bisa aja abang ne…
“Kenapa kamu nggak berani melepas baju lamamu dan mencoba yang baru?”
Aku nggak langsung menjawab. PertanyaanNya yang gampang, tapi kok masih mikir juga menjawabnya.
“Malas aja kale.”
“malas apa keenakan?’
“Mmm…, bisa dua-duanya.”
“Nggak pengen ketika kamu bangun pagi, kamu seperti hidup baru, melepas semua masa lalu?”
Keningku berkerut. Beneran mikir, mengolah kalimatNya barusan.
“Aku menciptakan pagi berbeda-beda tiap harinya. Saat kau embus udara pagi yang segar, itu bukan lagi udara kemarin yang kau hirup. Langkah-langkah kaki menuju tempat menggapai citamu, itu tidak lagi langkah kaki kemarin. Biar jalur yang kau tempuh sama, tapi debu kemarin telah terbang jauh. Keringat yang bercucuran, itu adalah keringat hasil kerjamu hari ini saja. Lalu, kenapa kamu masih ingin menyimpan masa lalu itu dlam ingatanmu? Kenapa tidak dibiarkan hilang bersama angin dan detik waktu? Bukanlah kesusahan hari lalu sudah cukup untuk hari lalu?”
Hhh….
Bang Je menggelitik hatiku lagi.
Entah keberapa kali omonganNya menohok sanubari terdalam. Aku menatapNya lekat-lekat. Kayaknya memang nggak ada satupun dariku yang bisa tersembunyi dariNya.
Mendadak telingaku awas mendengarkan sebentuk bait yang syairnya akhir-akhir ini begitu mengena di kalbu. “Tuhan bila masih ku diberi kesempatan, izinkan aku untuk mencintanya. Namun, bila waktuku telah habis dengannya, biarkan cinta hidup sekali ini saja.”
Entah kenapa, tiap kali dengar lagu itu, kok aku mendadak cengeng ya?
Hiks…
Kurasakan tangan kekar Bang Je menepuk bahuku pelan. Ia menghapus sebulir air mata yang jatuh pelan di pipiku. “Nggak usah meminta anakKu, Aku selalu memberimu kesempatan. Pada apapun dalam kehidupanmu. Tidak harus masalah cinta. Maka, beranilah untuk putuskan masa lalumu yang tak menyenangkan. Buatlah itu bekal untuk masa depanmu yang lebih menyenangkan.”
Aku menutup sebentar kelopak mataku sejenak.
“Tapi, aku takut, Tuhan.”
“Takut apa?”
“Takut keputusanku bisa membuatku kembali menyesal seperti masa lalu.”
Bang Je lebih merapatkan dudukNya. Dia mengambil sebatang ranting, dimain-mainkanNya ranting itu sebentar, lalu ditunjukkanNya kepadaku.
“kamu tahu dari mana asal ranting ini?” tanyaNya serius.
Tanganku menunjuk ke atas tepat di atas pohon dekat kami duduk.
“Hari-hari seperti sekarang, biasanya banyak pohon meranggas. Daun-daun atau rantingnya banyak yang menua lalu jatuh ke tanah. Hei, bukankah kamu suka dengan pemandangan itu?”
Kepalaku mengangguk-angguk.
Ya, aku suka dengan pemandangan dedaunan yang jatuh ke tanah, satu-satu…. Indah sekali….
“Tapi, coba kamu lihat beberapa bulan kedepan. Akan ada pucuk dan ranting baru bermunculan. Pohon kembali penuh dengan daun dan ranting baru. Dan, jika saatnya kembali harus meranggas, kita akan mendapatkan pemandangan seperti sekarang ini kembali. Begitu terus.” Bang Je mematahkan ranting kering yang tadi Ia pegang lalu membuangnya jauh.
“kamu adalah pohon itu, anakKu,” tangan Bang je menunjuk pohon di dekat kami, “ranting dan daun tadi adalah hari-hari dan kesempatan hiodup yang Ku beri. Adalah saatnya terlihat indah dan dipelihara, tetapi adalah saatnya dibiarkan jatuh kembali ke bumi dan menghilang. Percayalah, kamu akan tetap kuat menopang diri karena ada akar kokoh yang akan selalu menjagamu. Akar itu adalah…. Aku.”
Aku menunduk.
Oohh…
Bayang-bayang ketakutan akan kegagalan itu menghalangi pucuk baru dalam hidupku untuk mencoba tumbuh. Bayang-bayang ketidaknyamanan atas apa yang pernah terjadi seperti mengharuskanku (tanpa ada yang mengharuskan) untuk tidak mencoba bergerak dari diamku selama ini. Hal-hal baru yang selalu diberi seolah angin saja, tanpa arti.
“Besok ada matahari pagi lagi menyambutmu. Sambut dia dengan harapan baru akan masa depanmu. Jamgan ragu, anakKu. Ambil pagi barumu dengan sepenuh cinta. Kamu selalu tahu…, Aku selalu bersamamu.”
Aku nggak berkomentar.
Mulutku terkunci. Sama sekali nggak ada suara yang keluar. Mulutku saja mengetap sementara Bang Je menepuk-nepuk bahuku seolah memberikan keteguhan.
Mendadak aku mendengar Ia bersenandung pelan. Telingaku mencoba mendengarkan baik-baik laguNya…
“When I am down and, oh my soul, so weary. When troubles come and my heart burdened be. Then, I am still and wait here in the silence. Until you come and sit a while with me. You rise me up, so I can stand on mountains. You rise me up, to walk on stormy seas. I am strong, when I am on your shoulders. You rise me up… to more than I can be.”
Mulutku rada menganga.
Nggak nyangka aja Bang Je hafal lagu itu. Kirain Cuma lagu gregorian doang.
“Kalo itu, baru lagu favorit Ku,” komentarnya seperti tau kebingunganku.
“Wah, hebat. Up to date juga ya, Bang?
Kepalanya mengangguk-angguk setuju sambil terus bersenandung. Rasanya…, Josh Groban kalah deh kalo dengar suara Bang Je ini. Masuk Indonesian Idol pun, dijamin nggak termasuk yang dieliminasi. Langsung menang.
“Sekarang cepat bangun, anakKu. Sebentar lagi matahari akan memanggilmu…”
“Ok dech Bang Je....”
“Berkati aku sepanjang hari ini ya Bang Je….”
“Iya, anakKu. Aku akan selalu memberkati n menyertaimu….”
Bang Je pun tersenyum dan perlahan-lahan pergi...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H