“kamu tahu dari mana asal ranting ini?” tanyaNya serius.
Tanganku menunjuk ke atas tepat di atas pohon dekat kami duduk.
“Hari-hari seperti sekarang, biasanya banyak pohon meranggas. Daun-daun atau rantingnya banyak yang menua lalu jatuh ke tanah. Hei, bukankah kamu suka dengan pemandangan itu?”
Kepalaku mengangguk-angguk.
Ya, aku suka dengan pemandangan dedaunan yang jatuh ke tanah, satu-satu…. Indah sekali….
“Tapi, coba kamu lihat beberapa bulan kedepan. Akan ada pucuk dan ranting baru bermunculan. Pohon kembali penuh dengan daun dan ranting baru. Dan, jika saatnya kembali harus meranggas, kita akan mendapatkan pemandangan seperti sekarang ini kembali. Begitu terus.” Bang Je mematahkan ranting kering yang tadi Ia pegang lalu membuangnya jauh.
“kamu adalah pohon itu, anakKu,” tangan Bang je menunjuk pohon di dekat kami, “ranting dan daun tadi adalah hari-hari dan kesempatan hiodup yang Ku beri. Adalah saatnya terlihat indah dan dipelihara, tetapi adalah saatnya dibiarkan jatuh kembali ke bumi dan menghilang. Percayalah, kamu akan tetap kuat menopang diri karena ada akar kokoh yang akan selalu menjagamu. Akar itu adalah…. Aku.”
Aku menunduk.
Oohh…
Bayang-bayang ketakutan akan kegagalan itu menghalangi pucuk baru dalam hidupku untuk mencoba tumbuh. Bayang-bayang ketidaknyamanan atas apa yang pernah terjadi seperti mengharuskanku (tanpa ada yang mengharuskan) untuk tidak mencoba bergerak dari diamku selama ini. Hal-hal baru yang selalu diberi seolah angin saja, tanpa arti.
“Besok ada matahari pagi lagi menyambutmu. Sambut dia dengan harapan baru akan masa depanmu. Jamgan ragu, anakKu. Ambil pagi barumu dengan sepenuh cinta. Kamu selalu tahu…, Aku selalu bersamamu.”